Dear Rodovidians, please, help us cover the costs of Rodovid.org web hosting until the end of 2025.
Ratu Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Свадба: <1> ♂ Prabu Siliwangi III / Raden Ranggamantri (Parunggangsa) [Pajajaran]
2
Pemerintahan Sunan Wanaperih
Sunan Wanaperih seperti orang tuanya sudah memeluk agama Islam. Hampir seluruh rakyat di kerajaan ini juga telah memeluk agama Islam. Beliau berputera 6 orang, yaitu : (1) Dalem Cageur, (2) Dalem Kulanata, (3) Apun Surawijaya atau Sunan Kidul, (4) Ratu Radeya, (5) Ratu Putri, (6) Dalem Wangsa Goparana.
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager. Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, dan kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul.
Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji. Ketika beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, pusat pemerintahan kembali ke Talaga (“Sangiang Talaga”–atau Parung alias “Curug Campaga”?–Pen.).
https://tatangmanguny.wordpress.com/kontroversi/kerajaan-talaga-silsilah-yang-tumpang-tindih/
SUNAN WANAPERIH
( RADEN ARIA KIKIS ATAU SUNAN CIBURANG ) Sang penyebar agama Islam di Majalengka
( 1550-1590 M)
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung ( Ratu Sunyalarang ), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis ( Sunan Wanaperih ) putera kedua Ratu Parung ( Ratu Sunyalarang ). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Beliau mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu beliau adalah Raja Muda Cianjur, Raden Aria Wiratanu I atau yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah ( lagi susah ), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak.
Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan. Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga.
Kesepakatan Keraton Ciburang Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala.
Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah. Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak.
Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban ) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu.Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih ( Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis ) . Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”
Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengijinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat ( riyadhah dan mujahadah ) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakekat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati. Sunan Wanaperih mempunyai enam orang putra, empat putera dan dua puteri, Diantaranya :
- Dalem Cageur Darma
- Dalem Kulanata Maja
- Sang Senapati Raden Apun Surawijaya
- Ny. Ratu Radeya
- Ny. Ratu Putri
- Pangeran Ngabehi Aria Wangsa Goparana
Diceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning
Makam Pangeran Aria Saringsingan putra Prabu Haur Kuning, Desa Banjaran Kec. Banjaran Kab. Majalengka
sedangkan Ratu Putri menikah dengan Syekh Sayid Faqih Ibrahim ( Sunan Cipager ) putra Syech Abu Muchyi dari PamijahanСахрана: Darma, Kuningan
Berdasarkan Sejarah Limbangan, bahwa Sejarah Keluarga Besar Limbangan ( Garut ) dimulai sejak keberadaan Kerajaan Rumenggong atau Keprabuan Kerta Rahayu, yang rajanya bernama Prabu Rakean Layaran Wangi atau Prabu Jayakusumah.
Bila dikaitkan dengan nama Limbangan, Sejarah Keluarga Besar Limbangan ( Garut ) dimulai sejak Keprabuan Galeuh Pakuan ( pecahan dari Kerajaan/ Keprabuan Rumenggong ) yang dirubah namanya, menjadi Kabupaten Limbangan oleh Adipati Limansenjaya atau Prabu Wjayakusumah atas perintah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati di Cirebon pada tahun 1525 M.
Menurut Sajarah Silsilah Asal Usul Limbangan, bahwa Sunan Rumenggong adalah masih keturunan Prabu Jaya Dewata ( Prabu Siliwangi ) dari Nyi Putri Inten Dewata ( putra Dalem Pasehan Timbanganten ) dan masih saudara dari Sunan Ranggalawe ( Ratu Timbanganten ).
Sunan Rumenggong mempunyai 3 putra, yaitu :
- Prabu Mundingwangi atau Sunan Cisorok
- Nyi Putri Buniwangi/ Nyi Rambut Kasih Lh. + 1470
- Dalem emas ( dari isteri keduanya ).
Nyi Putri Buniwangi atau Nyi Putri Rambut Kasih menikah dengan Prabu Layakusumah putra Sri Baduga Maharaja dari Ratu Anten. Prabu Layakusumah adalah raja di Keprabuan Pakuan Raharja ( Cicurug Sukabumi ) sebagai vazal Kerajaan Pakuan Pajajaran ( Bogor ).
Pada sebagian rundayan silsilah Limbangan, Nyi Rambut Kasih sering dirancukan dengan Nyi Ambet Kasih putra Ki Gedeng Sindangkasih ( Cirebon ). Nyi Ambet Kasih adalah isteri dan saudara sepupu dari Prabu Jaya Dewata, yang saat itu masih bernama Raden Pamanahrasa putra Prabu Dewa Niskala. Prabu Dewa Niskala saat itu masih sebagai putra mahkota Kerajaan Sunda Galuh, yang rajanya adalah Maharaja Linggawastu Kancana ( 1371 – 1475 M ) yang berkedudukan di Kawali ( Ciamis ).
Di daerah Sindangkasih Majalengka, adapula seorang putri yang menjadi Ratu Sindangkasih benama Nyi Putri Rambut Kasih ( petilasannya “Pasir Lenggik “di daerah Sindangkasih Majalengka ). Menurut sesepuh di daerah Sindangkasih ( Majalengka ), dia itu adalah putra Prabu Jaya Dewata, yang ketika agama Islam mulai memasuki daerah Majalengka , dia menolak untuk menganut agama Islam. Ratu Sindangkasih bagi masyarakat di Majalengka, terkenal dalam cerita legenda “ Majalengka “.
Menurut riwayat lain, disebutkan bahwa bahwa Sunan Rumenggong dari isteri pertama tidak mempunyai putra, tetapi memelihara Putri Ambetkasih/Nyi Putri Buniwangi putra Sunan Patinggi Buniwangi.
Dari isteri keduanya Sunan Rumenggong dikaruniai 6 orang putra,yaitu
- Dalem Mangunharja ( Sunan Galunggung )
- Dalem Singaharja
- Nagaparana
- Dalem Singaharja
- Dalem Manggunrembung/Prabu Mundingwangi ( Sunan Cisorok )
- Dalem Mangunreksa ( Sunan Manglayang )
- Dalem Manguntaruna ( Purbalingga Jawa Tengah )
- Dalem Emas ( Sunan Bunikasih )
- Dalem Mangunkusumah ( Lemah putih Depok )
Menurut riwayat, bahwa pada + tahun 1600 M Nagaparana pernah mengadakan pemberontakan, yang menyebabkan tewasnya Tumenggung Wangsanagara (Sunan Kareseda ) putra Prabu Wijayakusumah ( Sunan Cipancar ) di suatu tempat yang sekarang disebut Ragahiyang di Gunung Sadakeling. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Dalem Santowaan cucu Prabu Mundingwangi ( Dalem Cibolerang Wanaraja ).
Setelah wafat Sunan Rumenggong dimakamkan di Kampung Poronggol ( sekarang termasuk Desa Ciwangi Kecamatan Limbangan ). Sedangkan saudaranya, Sunan Patinggi makamnya ada di Kampung Nangkujajar Limbangan.3
91/3 <2> ♂ 2. Sunan Girilaya [Talaga]
Nyi Putri Buniwangi atau Nyi Putri Rambut Kasih menikah dengan Prabu Layakusumah putra Sri Baduga Maharaja dari Ratu Anten. Prabu Layakusumah adalah raja di Keprabuan Pakuan Raharja ( Cicurug Sukabumi ) sebagai vazal Kerajaan Pakuan Pajajaran ( Bogor ).
Pada sebagian rundayan silsilah Limbangan, Nyi Rambut Kasih sering dirancukan dengan Nyi Ambet Kasih putra Ki Gedeng Sindangkasih ( Cirebon ). Nyi Ambet Kasih adalah isteri dan saudara sepupu dari Prabu Jaya Dewata, yang saat itu masih bernama Raden Pamanahrasa putra Prabu Dewa Niskala. Prabu Dewa Niskala saat itu masih sebagai putra mahkota Kerajaan Sunda Galuh, yang rajanya adalah Maharaja Linggawastu Kancana ( 1371 – 1475 M ) yang berkedudukan di Kawali ( Ciamis ).
Di daerah Sindangkasih Majalengka, adapula seorang putri yang menjadi Ratu Sindangkasih benama Nyi Putri Rambut Kasih ( petilasannya “Pasir Lenggik “di daerah Sindangkasih Majalengka ). Menurut sesepuh di daerah Sindangkasih ( Majalengka ), dia itu adalah putra Prabu Jaya Dewata, yang ketika agama Islam mulai memasuki daerah Majalengka , dia menolak untuk menganut agama Islam. Ratu Sindangkasih bagi masyarakat di Majalengka, terkenal dalam cerita legenda “ Majalengka “.
Menurut riwayat lain, disebutkan bahwa bahwa Sunan Rumenggong dari isteri pertama tidak mempunyai putra, tetapi memelihara Putri Ambetkasih/Nyi Putri Buniwangi putra Sunan Patinggi Buniwangi.
Dari isteri keduanya Sunan Rumenggong dikaruniai 6 orang putra,yaitu
Pemerintahan Apun Surawijaya
Apun Surawijaya (pengeran Surawijaya) bergelar Pangeran Ciburuy atau Sunan Ciburuy. Beliau menikah dengan putri Cirebon yang bernama Ratu Raja Kertadiningrat, saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon. Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak, yaitu: (1) Dipati Suwarga, (2) Mangunjaya, (3) Jaya Wirya, (4) Dipati Kusumayuda, (5) Mangun Nagara [dalam tulisan lain disebut Raden Barzah Mangunnagara bergelar Mangkubumi—diperkirakan dimakamkan di bukit Mangkubumi, Maja), (6) Ratu Tilarnagara.
Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu (Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning.
https://tatangmanguny.wordpress.com/kontroversi/kerajaan-talaga-silsilah-yang-tumpang-tindih/
RADEN ARYA WANGSA GOPARANA
Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber – sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kekuasaan di tanah nusantara. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru ke pinggiran sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk Hindu.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Berdasarkan sumber dari Wikipedia, Kabupaten Cianjur memiliki 36 orang yang pernah menjadi Bupati/Dalem dari tahun 1677 sampai 2011. Berikut daftar nama Bupati/Dalem Kabupaten Cianjur sampai tahun 2011:
1.R.A. Wira Tanu I (1677-1691) 2.R.A. Wira Tanu II (1691-1707) 3.R.A. Wira Tanu III (1707-1727) 4.R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761) 5.R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776) 6.R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813) 7.R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833) 8.R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834) 9.R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862) 10.R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910) 11.R. Demang Nata Kusumah (1910-1912) 12.R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920) 13.R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932) 14.R. Sunarya (1932-1934) 15.R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943) 16.R. Adiwikarta (1943-1945) 17.R. Yasin Partadiredja (1945-1945) 18.R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946) 19.R. Abas Wilagasomantri (1946-1948) 20.R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950) 21.R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952) 22.R. Akhyad Penna (1952-1956) 23.R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957) 24.R. Muryani Nataatmadja (1957-1959) 25.R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966) 26.Letkol R. Rakhmat (1966-1966) 27.Letkol Sarmada (1966-1969) 28.R. Gadjali Gandawidura (1969-1970) 29.Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978) 30.Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983) 31.Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988) 32.Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996) 33.Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001) 34.Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006) 35.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)36.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2011-2016)
Nama beliau pun sering dirancukan dengan Prabu Mundingwangi atau Prabu Munding Surya Ageung ( Raja Maja ) putra Prabu Jaya Dewata, saudaranya Ratu Sindangkasih, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Kembali kepada Prabu Mundingwangi putra Sunan Rumenggong, bahwa beliau menggantikan ayahnya menjadi Prabu di Keprabuan Rumenggong atau Kerta Rahayu. Menurut Rd. Soemarna, ada kemungkinan beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Kertarahayu ke Dayeuhmanggung (Desa Selaawi ) dan menikahi putri Sunan Dayeuhmanggung saudaranya Sunan Gordah dan mempunyai putra : Prabu Salalangu Layakusumah
Setelah wafat Prabu Mundingwangi dimakamkan di daerah Cisorok – Selaawi dan terkenal dengan sebutan Sunan Cisorok. Kerajaan Rumenggong dilanjutkan oleh Prabu Salalangu Layakusumah.Свадба:
4
Титуле : Bupati Cianjur Ke I (1681 - 1691), Dalem mandiri (Explorer), tanpa diangkat oleh sultan, raja atau pemerintahan lainnya.
Свадба:
Смрт: ~ 1706
BIOGRAFI
Rd. Kj. Aria Wiratanudatar yang dikenal sebagai Kj. Dalem Cikundul Beliau adalah penyebar Islam sekaligus Bupati Cianjur pertama, di Kp.Cijagang Ds.Majalaya Kec.Cikalong Kulon Kab. Cianjur
Dari kejauhan nampak di atas sebuah bukit yang sekelilingnya menghijau ditumbuhi pepohonan yang rin-dang. berdiri sebuah bangunan cukup megah dan kokoh.Bangunan yang sangat artistik dengan nuansa Islam itu. tiada lain makam tempat dimakamkannya Bupati Cianjur Pertama, R Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Gopa-rana periode (1681-1691)yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.
Areal makam yang luasnya sekitar 300 meter itu. berada di atas tanah seluas 4 hektar puncak Bukit Cijagang. Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalong-kulon. Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 17 Km kearah utara dari pusat kota Cianjur.Makam Dalem Cikundul, sudah sejak lama dikenal sebagai obyek wisata ziarah. Dalem Cikundul. konon tergolong kepada syuhada sholihiin yang ketika masih hidup dan kemudian menjadi dalem dikenal luas sebagai pemeluk agama Islam yang taat dan penyebar agama Islam.
Catatan sejarah dan cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, tahun 1529 kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam, yang sejak itu, sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.Tetapi raja-raja Talaga. yaitu Prabu Siliwangi. Mun-dingsari. Mundingsari Leutik, Pucuk Umum. Sunan Parung Gangsa. Sunan Wanapri, dan Sunan Ciburang, masih menganut agama lama, yaitu agama Hindu.Sunan Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana. dan ia merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam, namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga. dan pergi menuju Sagalaherang.
Di Sagalaherang, mendirikan Negara dan pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Pada akhir abad 17. ia meninggal dunia di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang dengan meninggalkan dua orang putra-putri, yaitu. DJayasasana, Candramang-gala, Santaan Kumbang. Yu-danagara. Nawing Candradi-rana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti.Aria Wangsa Goparana, menurunkan para Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para keturunannya. Putra sulungnya Djayasasana dikenal sangat taqwa terhadap Allah SWT. tekun mempelajari agama Islam dan rajin bertapa.
Setelah dewasa Djayasasana meninggalkan Sagalaherang. diikuti sejumlah rakyatnya. Kemudian bermukim di Kampung Cijagang, Cikalong-kulon. Cianjur, bersama .pengikutnya dengan bermukim di sepanjang pinggir-pingir sungai.Djayasasana yang bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur Pertama periode (1681-1691). meninggal dunia antara tahun -1706 meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang , masing-masing
- . Dalem Aria wiramanggala.
- . Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad).
- . Dalem Aria Tirta (Di Karawang).
- . Dalem Aria natamanggala (Dalem aria kidul/gunung jati cjr),
- . R.Aria Wiradimanggala(Dalem Aria Cikondang)
- . Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong),
- . Nyai Mas Kaluntar .
- . Nyai Mas Bogem
- . Nyai R. Mas Karangan.
- . Nyi R.mas KAra
- . Nyai Mas Djenggot
Beliau Juga memiliki seorang istri dari bangsa jin Islam, dan memiliki tiga orang putra-putri, yaitu
- . Raden Eyang Surya-kancana. yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin.
- . Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai,
- . R. Andaka Warusaja-gad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).
Bertitik tolak dari situlah, Dalem Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman (kabupaten) Cianjur. Maka Makam Dalem Cikundul dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari pelbagai daerah.Selain dari daerah-daerah yang ada di P Jawa, banyak juga penziarah dari luar P Jawa seperti dari Bali. Sumatra. Kalimantan, banyak juga wisatawan mancanegara. Penziarah setiap bulan rata-rata mencapai 30.000 lebih pengunjung, mulai dari kalangan masyarakat bawah, menengah, hingga kelas atas, dan ada pula dari kalangan artis.
Maksud ziarah itu sendiri sebagaimana diajarkan dalam Islam, supaya orangeling akan kematian. Disamping itu, ziarah kepada syuhada solihin selain mandoakanya juga untuk tawasul memohon kepada Allah SWT melalui syuhada solihin sebagai perantara terhadap Allah SWT. Karena syuhada solihin lebih dekat dengan Allah SWT. umumnya yang berziarah antara lain ada yang ingin memperoleh kelancaran dalam kegiatan usahanya, dipercaya atasan, cepat memperoleh jodoh, dan lainnya. Sebelum melaksanakan ziarah di pintu masuk makam harusnya diberi nasehat-nasehat oleh juru kunci, dimaksudkan agar tidak sesat(tidakmenyimpang dari akidah dan tidak terjerumus kedalam jurang kemusyrikan
Makam Dalem Cikundul. semula kondisinya sangat sederhana. Tahun 1985 diperbaiki oleh Ny Hajjah Yuyun Muslim Taher istrinya Prof Dr Muslim Taher (Alm) Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta. Biaya perbaikannya menghabiskan sekitar Rp 125 juta.Sekarang ini, biaya perawatannya Selain dari para donator tetap juga hasil infaq so-dakoh dari para pengunjung. Belum lama ini telah selesai dilakukan perbaikan atap bangunan gedung utama ber ukuran 16x20 meter, perbaikan masjid untuk wanita berukuran 7x7 meter. Menyusul akan dibangun lantai II tempat peristirahatan bagi para peziarah.
Di tempat berziarah Makam Dalem Cikundul ini. banyak disediakan Fasilitas untuk para penziarah mulai dari masjid untuk wanita dan laki-laki serta tempat peristirahatan. Dan sebelum memasuki areal tempat berziarah ada pula penginapan yang dikelola Dipenda Kabupaten Cianjur.Sebagai penziarah ada yang memiliki anggapan bila berziarah ke Makam Dalem Cikundul menghitung jumlah tangga sesuai dengan jumlah tangga sebenarnya, dapat diartikan maksud atau tujuan hidupnya akan tercapai. Itu sebabnya, tidak heran para penziarah ketika naik tangga untuk menuju sebuah bukit tempat Makam Dalem Cikundul. sambil menghitung jumlah tangga.jumlah tangga yang menuju lokasi makam yaitu tangga tahap pertama Jumlahnya 170 tangga. Kenapa tangga itu dibuat 170 buah. Dikemukakan bahwa jumlah itu diambil dari bilangan atau hitungan membaca ayat kursi yang sering dilakukan orang, yang juga sering dilakukan Dalem Cikundul. dan jumlah tangga tahap kedua sebanyak 34 buah."Mengenai ada anggapan apabila menghitung tangga sama Jumlahnya sama dengan jumlah tangga yang sebenarnya,insyaallah konon do'anya bakal dikabul segala maksud atau keinginan, tergantung kepercayaan masing-masing atau hanya sugesti saja." karena hal ini tergantung kebersihan niat dari para peziarah.
Rundayan Para Bupati Cianjur Dari periode 1940-2011
- . R.A. Wira Tanu I /Rd Djayasasana (1681-1691)
- . R.A. Wira Tanu II / Rd.Aria Wiramanggala)(1691-1707)
- . R.A. Wira Tanu III /RA. Astra Manggala(1707-1727)
- . R.A. Wira Tanu Datar IV/ Rd. Sabirudin(1727-1761)
- . R.A. Wira Tanu Datar V /Dalem Muhyidin(1761-1776)
- . R.A. Wira Tanu Datar VI/Dalem Aria Enoh (1776-1813)
- . R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
- . R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
- . R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
- . R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
- . R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
- . R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
- . R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
- . R. Sunarya (1932-1934)
- . R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
- . R. Adiwikarta (1943-1945)
- . R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
- . R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
- . R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
- . R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
- . R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
- . R. Akhyad Penna (1952-1956)
- . R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
- . R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
- . R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
- . Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
- . Letkol Sarmada (1966-1969)
- . R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
- . Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
- . Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
- . Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
- . Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996)
- . Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
- . Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006)
- . Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)
SILSILAH EYANG DALEM CIKUNDUL
SILSILAH NA : ======================== 1. Nabi Adam As. 2. Nabi Syis As. 3. Anwar ( Nur cahya ) 4. Sangyang Nurasa 5. Sangyang Wenang 6. Sangyang Tunggal 7. Sangyang Manikmaya 8. Brahma 9. Bramasada 10. Bramasatapa 11. Parikenan 12. Manumayasa 13. Sekutrem 14. Sakri 15. Palasara 16. Abiyasa 17. Pandu Dewanata 18. Arjuna 19. Abimanyu 20. Parikesit 21. Yudayana 22. Yudayaka 23. Jaya Amijaya 24. Kendrayana 25. Sumawicitra 26. Citrasoma 27. Pancadriya 28. Prabu Suwela 29. Sri Mahapunggung 30. Resi Kandihawan 31. Resi Gentayu 32. Lembu Amiluhur 33. Panji Asmarabangun 34. Rawisrengga 35. Prabu Lelea ( maha raja adi mulya ) 36. Prabu Ciung Wanara 37. Sri Ratu Dewi Purbasari 38. Prabu Lingga Hyang 39. Prabu Lingga Wesi 40. Prabu Susuk Tunggal 41. Prabu Banyak Larang 42. Prabu Banyak Wangi / Munding sari I 43. ( a ) Prabu Mundingkawati / Prabu Lingga Buana / Munding wangi (Raja yang tewas di Bubat) ( b ) Prabu boros ngora / Buni sora suradipati / Prabu Kuda lelean berputra : Ki Gedeng Kasmaya 44. Prabu Wastu Kencana / Prabu Niskala wastu kancana / Prabu Siliwangi I 45. Prabu Anggalarang / Prabu Dewata Niskala /Jaka Suruh ( Raja Galuh / Kawali ) 46. Prabu Siliwangi II / Prabu Jaya dewata / Raden Pamanah rasa / Sri Baduga Maha Raja 47. Munding sari ageung / Munding sari II 48. Munding sari leutik / Munding sari III 49. Prabu Siliwangi V / Prabu Pucuk Umum ( Rd. Ragamantri ) 50. Sunan Parung Gangsa 51. Sunan Wanaperih ( Rd.Arya Kikis ) 52. Sunan Ciburang ( Rd.Arya Goparana ) 53. Sunan Sagala herang ( Rd. Dalem Arya Wangsa Goparna )54. Eyang Dalem Cikundul ( Pangeran Ngabehi Jayasasana )
Dalem Lumaju Wastu Nagara Puputra Dalem Lumaju Nyilih Nagara Puputra Dalem Natamanggala I (Dalem Cikadu) Puputra Dalem Natamanggala II (Dalem Kebon) Puputra Dalem Natamanggala III (Dalem Jamban) PuputraDalem Natamanggala IV (Dalem Pulo)
5
602/5 <35> ♂ Dalem Lumaju Wastu Nagara [Goparana]Runtuhnya Pajajaran menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim wilayah bekas Pajajaran termasuk kerajaan Sumedang Larang di bawah Prabu Geusan Ulun yang menurut klaimnya bahwa seluruh bekas wilayah Pajajaran adalah wilayah Sumedang Larang. Dalam rangka menegakkan klaimnya, Prabu Geusan Ulun kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Sumedang Larang, Cirebon kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu wilayah Cimapag termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Cirebon kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya Panglima atau Senapati).
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu :
- Cipamingkis dibawah pimpinan Nalamerta;
- Cimapag dibawah pimpinan Nyiuh Nagara;
- Cikalong dibawah pimpinan Wangsa Kusumah;
- Cibalagung dibawah pimpinan Natamanggala;
- Cihea dibawah pimpinan Wastu Nagara; dan
- Cikundul dibawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu
Титуле : Wanaraja, Raja di Kadaleman Cibolerang Wanaraja
Kaprabuan Galeuh Pakuan, dipimpin oleh Dalem Adipati Limansenjaya atau Prabu Wijayakusumah ( Sunan Cipancar ), yang menggantikan ayahnya Prabu Hande Limansenjaya. Wilayahnya meliputi yang sekarang termasuk Kecamatan Limbangan, Cibiuk, Leuwigoong, Selaawi, Malangbong, Karangtengah, Cibatu , Wanaraja dan Karangpawitan.
Kaprabuan Sudalarang, dipimpin oleh Dalem Singadipati I, yang menggantikan ayahnya Prabu Wastu Dewa. Wilayahnya meliputi yang sekarang termasuk Kecamatan Sukawening dan Karangtengah Kab. Garut.
Dan Dalem Santowaan memimpin Kadaleman Cibolerang Wanaraja. Pusat Kadalemannya, adalah di suatu tempat antara Cibolerang dan Bojongsari ( arah sebelah Barat Daya Kp.Cinunuk Hilir Wanaraja ). Wilayah Kadaleman Cibolerang meliputi yang sekarang termasuk wilayah Cipicung (Banyuresmi), Cinunuk ( Wanaraja ), Cimurah, Calingcing dan Suci Karangpawitan.
Ada kemungkinan makam yang berada disana, adalah makam Dalem Santowaan dan isterinya. Makam tersebut sampai sekarang tidak ada yang memelihara atau mengurusnya.Титуле : од 1654, Galuh, Bupati Galuh Kertabhumi Terakhir / Kanduruan Singaperbangsa IV
RADEN ADIPATI SINGAPERBANGSA (1633-1677)
Raden Adipati Singaperbangsa putra Wiraperbangsa dari Galuh (Wilayah Kerjaaan Sumedanglarang) Bergelar Adipati Kertabumi IV. Pada masa pemerintahan Raden Adipati Singaperbangsa, pusat pemerintahan Kabupaten Karawang berada di Bunut Kertayasa. Sekarang termasuk wilayah Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat. Dalam melaksanakan tugasnya Raden Adipati Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba, yang pada saat itu oleh kompeni disebut sebagai “ HET TWEEDE REGENT “, sedangkan Raden Adipati Singaperbangsa sebagai “HOOFD REGENT”. Raden Adipati Singaperbangsa, wafat pada tahun 1677, dimakamkan di Manggung Ciparage, Desa Manggung Jaya Kecamatan Cilamaya Kulon. Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebuatn Kiai Panembahan Singaperbangsa, atau Dalem Kalidaon atau disebut juga Eyang Manggung.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal. Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”.Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.
Hal itu tersirat dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : “ Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi “. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :
“Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat. Piagan ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah anggaprana, selesai. Tanggal yang tercantum dalam piagam pelat kuningan kandang sapi gede ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Karawang berdasarkan hasil penelitian panitia sejarah yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Karawang nomor : 170/PEM/H/SK/1968 tanggal 1 Juni 1968 yang telah mengadakan penelitian dari pengkajian terhadap tulisan :
- Dr. Brandes dalam “ Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII Halaman 352,355, menetapkan tahun 1633;
- Dr. R Asikin Wijayakusumah dalam ‘ Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII 1937 AFL, 2 halaman 188-200 (Tyds Batavissc Genot Schap DL.77, 1037 halaman 178-205) menetapkan tahun 1633;
- Batu nisan makam panembahan Kiyai Singaperbangsa di Manggungjaya Kecamatan Cilamaya tertulis huruf latin 1633-1677;
- Babad Karawang yang ditulis oleh Mas Sutakarya menulis tahun 1633.
Hasil Penelitian dan pengkajian panitia tersebut menetapkan bahwa hari jadi Kabupaten Karawang pada tanggal 10 rabi’ul awal tahun 1043 H, atau bertepatan dengan tanggal 14 September 1633 M atau Rabu tanggak 10 Mulud 1555 tahun jawa/saka.
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA (PECAHAN DARI SILSILAH PANGERAN KUSUMADINATA 1 / PANGERAN SANTRI-SUMEDANG LARANG)
Generasi ke-1
1 Panembahan Singaperbangsa (Kiyai Raden Adipati Kertabumi IV, Dalem Kalidaun, Dalem Ciparage, Eyang Manggu). 1.1 RAA. Panatayuda I1.2 NM Noermala or Sara
Титуле : Bupati Cianjur Ke II (1691 – 1707), Dalem mandiri, tapi kemudian diakui regent oleh VOC
Свадба: <9> ♀ Ratu Losari [Pajajaran]
Титуле : од 1675, Adipati Talaga
6
791/6 <60> ♂ Dalem Lumaju Nyilih Nagara [Goparana]Runtuhnya Pajajaran menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim wilayah bekas Pajajaran termasuk kerajaan Sumedang Larang di bawah Prabu Geusan Ulun yang menurut klaimnya bahwa seluruh bekas wilayah Pajajaran adalah wilayah Sumedang Larang. Dalam rangka menegakkan klaimnya, Prabu Geusan Ulun kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Sumedang Larang, Cirebon kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu wilayah Cimapag termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Cirebon kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya Panglima atau Senapati).
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu :
- Cipamingkis dibawah pimpinan Nalamerta;
- Cimapag dibawah pimpinan Nyiuh Nagara;
- Cikalong dibawah pimpinan Wangsa Kusumah;
- Cibalagung dibawah pimpinan Natamanggala;
- Cihea dibawah pimpinan Wastu Nagara; dan
- Cikundul dibawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu
Професија : од 1618, Wedana Mataram / Bupati Galuh ke 1
Galuh Sebagai Kawedanaan Mataram / Kabupaten
Periode keemasan kerajaan Galuh dicapai pada masa pemerintahan putra Prabu Maharaja yang bernama Niskala Wastu Kancana (1371-1475). Abad XIV, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran oleh cucunya yang bernama Sri Baduga Maharaja Dewata Prana (Prabu Siliwangi). Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas tahta kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan Galuh ke dalam kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan Pajajaran (Menurut keterangan beberapa naskah kuno, alasan pemindahan pusat kekuasaan itu karena Kawali telah tercemar oleh ulah Dewa Niskala (ayah Prabu Siliwangi) yang menikahi istri larangan, yaitu perempuan yang berasal dari Majapahit). Peristiwa itu sekaligus mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali
Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah kerajaan mandiri yang berpusat di Panaekan. Panaekan adalah sebuah tempat yang berada di sisi selatan sungai Citanduy (berseberangan dengan Karangkamulian). Tempat ini sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan Cimaragas, sekitar 20 km di sebelah selatan ibu kota kabupaten Ciamis. Bersama dengan Sumedang Larang, Galuh menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten. Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana, Mataram Islam berhasil menanamkan pengaruh politiknya di Galuh.(F. de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1818, (Batavia: BGKW.1941), hlm. 161).
Pengganti Panembahan Senapati yang bernama Sultan Agung mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh. Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah 960 cacah. Tidak berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester Ommelanden van Mataram (Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68).
Langkah awal Adipati Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Panaekan ke Gara Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati Kertabumi. Adipati Kertabumi yang bergelar Singaperbangsa I adalah penguasa kabupaten Bojong Lopang yang dibentuk oleh Mataram tahun 1641 sebagai kelanjutan dari penanganan pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga daerah yang paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.
Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi rencana penyerangan terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panaekan berpendapat lebih baik menyerang Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC tidak semakin berkembang. Singaperbangsa I sependapat dengan Rangga Gempol I, yaitu menginginkan Galuh memperkuat pasukannya dahulu sebelum menyerang Batavia. Adipati Panaekan dituduh membantu Adipati Ukur yang memberontak kepada Mataram karena ingin melepaskan Priangan dari kekuasaan raja Jawa. Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati Imbanagara (1625-1636)
Menurut keterangan beberapa naskah kuno, alasan pemindahan pusat kekuasaan itu karena Kawali telah tercemar oleh ulah Dewa Niskala (ayah Prabu Siliwangi) yang menikahi istri larangan, yaitu perempuan yang berasal dari Majapahit.Свадба: <135!> ♀ Nyi Raden Ayu Kuningan [Sudalarang]
Титуле : од 1660, Bupati Limbangan Ke-1
Смрт: 1678
Dalem Nayawangsa diangkat sebagai Bupati Limbangan yang pertama ( 1660 – 1678 M ) oleh Pangeran Rangga Gempol III Bupati Sumedang ( 1656 – 1705 ). Setelah wafat pada pada tahun 1678 M, beliau digantikan oleh Dalem Mertasinga (1678 – 1726 ) putra Dalem Adipati Rangga Megatsari.
Kabupaten Limbangan, oleh karena saat itu penduduknya hanya 200 keluarga, maka berdasarkan Keputusan VOC tanggal 15 Nopember 1684 statusnya menjadi Distrik ( Kawadanaan ) Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1705 statusnya dikembalikan menjadi Kabupaten di bawah Kesultanan Cirebon.
Dalem Nayawangsa menikah dengan Ny Rd. Ayu Kuningan putra Dalem Sanggadipati II ( Ragadiyem ) cucu Prabu Wastu Dewa ( Keprabuan Sudalarang ).Титуле : Bupati Cianjur III (1707- 1726), Mengajukan gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar ke VOC
Raden Aria Wira Tanu III
Adalah regent Cianjur yang memerintah dari tahun 1707 s.d. 1726
Kehidupan Awal
Nama asli Raden Aria Wira Tanu III adalah Raden Astramanggala. Ia diangkat regent pada tahun 1707 ketika ayahnya yaitu R.A. Wira Tanu II meninggal. Saat Wira Tanu III naik tahta, ibu kota Cianjur yang berada di Pamoyanan sudah mulai mundur. Maka langkah pertama Wira Tanu III adalah memindahkan ibu kota yang asalnya dari Pamoyanan ke kampung Cianjur sampai dengan saat ini. Perlu diperhatikan bahwa kampung Cianjur merupakan salah satu wilayah yang berada di Kabupaten Cianjur sehingga Wira Tanu III tidak berperan sebagai pendiri Cianjur.[1]
Regent Cianjur[sunting | sunting sumber]
Pada masa pemerintahan Wira Tanu III, VOC mulai mengolah wilayah-wilayah yang diserahkan Mataram seperti menetapkan batas tiap kabupaten, dan memperbaiki tata kota dan desa. Pada tahun 1711, VOC menetapkan bahwa wilayah pantai selatan dimasukan ke wilayah Cianjur. Selanjutnya pada 1715 Jampang pun dimasukan ke wilayah Cianjur.[1]
Wira Tanu III sering mengajukan klaim ke VOC mengenai wilayah-wilayah yang ada di kekuasaan kabupaten tetangga. Hal ini mengakibatkan Residen Cirebon merasa kewalahan karena tentunya hal ini akan mengurangi wilayah kabupaten lain. Residen Cirebon menyampaikan laporan pada pemerintahan Batavia sebagai berikut : 1.Rakyat Cianjur membuat gapura yang sangat besar dan menyamai gapura kesultanan untuk menghormat Wira Tanu III. Gapura yang dibuat lebih menyerupai benteng dan tidak sesuai dengan status Cianjur yang hanya berstatus kabupaten. Hal ini meningkatkan kewaspadaan VOC. 2.Wira Tanu III meminta gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar (Belanda:Pangerang Aria Depatty Amangcoerat in Dator). Gelar ini menyatakan bahwa Wira Tanu III menyamakan dirinya dengan Amangkurat dan berkuasa di Datar. Belanda merasa sangat gentar ketika regent nya meminta gelar ini. VOC merasa bahwa Wira Tanu III sudah berbahaya dan takut ingin berkuasa seperti layaknya Amangkurat sultan Mataram. Maka VOC hanya mengbulkn gelar Datar nya saja. Itu pun terlambat karena pengukuhan gelar Datar dilakukan setelah meninggalnya Wira Tanu III dan gelar itu akhirnya diberikan ke Wira Tanu IV. 3.Wira Tanu III minta ke VOC supaya Citarum menjadi batas Cianjur. Hal ini dapat memperluas wilayah Cianjur dengan mengambil sebagian Bandung dan Karawang serta seperempat wilayah Parakanmuncang. Wira Tanu III ngotot pada VOC untuk menggeser batas wilayah Cianjur dengan Kampung Baru, Bandung, Karawang dan Parakanmuncang sedemikian luas sehingga akan membuat kabupaten lain berkurang wilayahnya. Hal ini membuat VOC bingung karena tidak berani untuk menolak dan tidak mau untuk memberikan. Atas berbagai klaim ini, wilayah Cianjur zaman Wira Tanu III sudah hampir menyamai wilayah Cianjur sekarang.[1]
Wira Tanu III termasuk regent yang berprestasi dalam pandangan VOC, karena Wira Tanu III selalu berhasil menyetor kopi yang terbesar ke VOC.
Kematian[sunting | sunting sumber]
Wira Tanu III meninggal pada tahu 1726 karena ditusuk condre. Karena inilah Wira Tanu III setelah kematiannya disebut sebagai Dalem Dicondre. Ada dua versi ditusuknya Wira Tanu III[1]
Pemberontakan[sunting | sunting sumber]
Wira Tanu III adalah bupati yang tegas dalam hal menerapkan hukum tanam paksa. Ketegasan ini menguntungkan pihak VOC tapi merugikan rakyat. Rakyat merasa menderita karena sistem tanam paksa ini. Suatu waktu ada kasus bahwa bayaran kopi pada VOC yang seharusnya 17,5 gulden hanya dibayar 12,5 gulden sedangkan yang 5 gulden dipakai oleh Wira Tanu III sendiri. Hal ini mengakibatkan kemarahan rakyat dan berakhir dengan ditusuknya Wira Tanu III oleh senjata condre.[1]
Masalah cinta[sunting | sunting sumber]
Suatu waktu Wira Tanu III mendengar bahwa di Cikembar ada gadis cantik yang bernama Apun Gentay. Karena kecantikannya sangat pantas jika Apun Gentay dinikahi oleh Wira Tanu III. Apun Gentay sendiri sebenarnya sudah memiliki kekasih orang Citeureup, Bogor.[1]
Apun Gentay kemudian dipanggil ke Pendopo. Apun Gentay tiba di pendopo pukul 4 sore bersama kekasihnya. Keadaan di pendopo ketika itu tidak ada siapa-siapa yang ada hanya Wira Tanu III dengan saudaranya yaitu Mas Purwa. Semua yang ada di pendopo menyangka bahwa Apun Gentay bersama pengiringnya bukan bersama kekasihnya. Ketika Apun Gentay dipanggil untuk mendekat, kekasihnya ikut mendekat dan dengan cepat menusuk Wira Tanu III dengan condre sebanyak tiga kali. Wira Tanu III kemudian roboh dengan isi perut keluar.
Mas Purwa kemudian mengejar si penusuk. Di alun-alun mereka bertarung dan karena kesaktian Mas Purwa, si penusuk berhasil dipenggal kepalanya. Wira Tanu III pingsan di singgasana dengan keadaan isi perut keluar. Pukul 7 malam Wira Tanu III akhirnya meninggal.[1]
Sekilas Mengenai Gelar Yang Digunakan[sunting | sunting sumber]
Gelar bangsawan zaman feodalisme di daerah Sunda tidak terlalu berbeda dengan gelar di Jawa. Gelar digunakan untuk menunjukan derajat seorang bangsawan. Pada umumnya gelar yang dipakai adalah Ngabehi, Tumenggung, Aria dan Adipati. Gelar-gelar ini didapat dengan berbagai cara, diantaranya : 1.Gelar digunakan sendiri tanpa ada yang memberi. Hal ini berlaku bagi bangsawan yang mendirikan wilayah sendiri tanpa diangkat oleh orang lain. Contohnya adalah R.A. Wira Tanu I. 2.Gelar digunakan karena warisan dari ayahnya. 3.Gelar dianugerahkan oleh penguasa yang lebih tinggi derajatnya (atasannya) seperti Raja/Sultan yang memberikan gelar Aria/Adipati pada seorang bangsawan 4.Pada zaman VOC, gelar didapat dengan cara dibeli.
Di wilayah kekuasaan VOC, para penguasa lokal yang merupakan bangsawan. Diperbolehkan memakai gelar dengan cara membeli dari VOC. Gelar-gelar ini harganya sangat mahal, sehingga beberapa bangsawan miskin memiliki jabatan pun banyak yang tidak bergelar dan hanya menyandang Raden saja. Gelar yang paling mahal adalah gelar Pangeran karena gelar ini sangat istimewa dan harus mendapat izin dulu dari Raja/Ratu Belanda.[
RADEN ANOM WIRASUTA (1677-1721)
Raden Anom Wirasuta Putra raden Adipati Singaperbangsa bergelar Adipati Panatayudha I.Beliau dilantik menjadi Bupati di Citaman Pangkalan. Beliau setelah wafat, dimakamkam di Bojongmanggu Pangkalan, Karena beliau dikenal pula dengan sebutan Panembahan Manggu.
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA
Generasi ke-2
1.1 RAA. Panatayuda I (Rd. Anom Wirasuta, Rd. Pager Gunung, RAA Wirasuta) 1.1X1 NM. Galuh 1.1.1 RAA. Panatayuda II 1.1X2 Nyi Gurende 1.1.2 NR. Kertayuda
1.2 NM Noermala or Sara 1.2X Rd. Wiraradja II 1.2.1 Rd. Joedanegara1.2.2 Rd. Raksanegara
Титуле : од 1749, Bupati Bogor ke 6
Dikutip dari Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M). Yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, "Uyut Kampung Baru Bogor"; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: Pangeran Ngabehi Jayasasana / Jayalalana / Raja Gagang / H Rd Aria Wira Tanu Datar I / Mbah Dalem Cikundul Cianjur / Bupati Cianjur I. Mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- Pangeran Wiramanggala / H Rd Aria Wira Tanu Datar II / Mbah Dalem Tarikolot Cianjur / Bupati Cianjur II.
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Pangeran Wiramanggala / H Rd Aria Wira Tanu Datar II / Mbah Dalem Tarikolot Cianjur / Bupati Cianjur II. Mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanu III (Dalem Dicondre),
- H Rd Tumenggung Wiradinata / Bupati Bogor I jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1749-1754 M).
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
WIRADINATA H Rd Tumenggung Wiradinata / Bupati Bogor I jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1749-1754 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja H Rd Tumenggung Wiradiredja / Bupati Bogor II jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1758-1769 M).
- R.Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja, Bupati Bogor (1754-1758)
- Nyi R. Gandanegara menikah dengan RTA. Natanagara, Bupati Bogor (1769-1788)
H Rd Tumenggung Wiradiredja / Bupati Bogor II jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1758-1769 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 14 orang terdiri dari :
- R. Abdul,
- R. Brajamanggala,
- R. Tanjung Anom,
- Nyi R. Satmakara,
- Nyi R. Entang,
- R. Wiramanggala (Leluhur Abdullah bin Nuh),
- Nyi R. Bonggang,
- Nyi R. Aleja,
- H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M).
- R. Dja'far,
- R. Komar,
- Nyi R. Demas,
- Nyi R. Permas,
- R. Husein,
Adapun H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 21 orang dari tiga istri, dari istri ke 1, 10 orang putra-putri, dari isteri ke 2, 8 orang putra-putri dan dari istri ke 3, 3 orang putra-putri. H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri itu keturunan BANGSAWAN PAJAJARAN, dan seorang cucunya yang bernama H. Rd. Adipati Aria Suriawinata / H. Rd. Muhammad Sirodz / Mbah Dalem Sholawat (Pun Jangga Wareng) / Bupati Bogor ke 11 jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Soeka Ati Empang Bogor (1849-1872 M), ahli wirid SHOLAWAT. Adapun H Rd Tumenggung Wiradinata, Ayah H Rd Muhammad Thohir itu, adalah dari jihat ayahnya, keturunan Pangeran Aria Wangsa Goparana, seorang bangsawan Pajajaran yang meninggalkan kedudukannya yang tinggi karena memeluk agama 'Islam' Pangeran inilah yang menurunkan keluarga Aria Wiratanu (Dalam cikundul) dan Wiratanudatar."
Dalam bukunya, De Haan menulis : "WlRANATA (Wiradinata) ditunjuk sebagai pengganti Martawangsa. Menurut catatan, Bupati yang baru ini "Sudah Tua"; dalam daftar bupati Tjandjoer tertulis bahwa ia adalah saudara lelaki dari (Bupati yang) terbunuh pada tahun 1726 (Dalem Dicondre), dan Paman dari Bupati Tjiandjoer yang meerintah pada tahun 1727 - 1761 (RAA. Wiratanudatar IV/Ki Sabiruddin), sedangkan catatan 10 Desember 1751 diketahui bahwa ia, selain Kepala Kampongbaru, juga Patih dari Tjiandjoer (dan jika demikian Trah Tjiandjoer sedang bersaing dengan Trah Banten). Ini menjelaskan mengapa kedua kabupaten ini sekarang semakin dianggap sebagai satu kesatuan, setidaknya ini menyangkut budaya. The Staml. menyebut Bupati ini: Aria Wiriadinata, menurut laporan Freijer tanggal 22 Mei 1755 menyebutkan dia sebagai "Radeen Tua Wiera", dan itulah yang disebutnya dalam surat 26 Juni 1753"
H Rd Tumenggung Wiradinata, pada sebagian masa pemerintahannya berdomisili di Kampung Baru, tepatnya di Kampung Sukaraja (menurut catatan, pindah ke kampung Sukahati/Empang pada tahun 1754). Dikampung inilah kelak keturunannya terjadi perkawinan silang antara keturunan Trah Cianjur, Trah Banten, Trah Diponegoro, Trah Sumedang, Trah Karawang, Trah Sukapura, Trah Arab dan Trah China yang kesemuanya menetap di Kampung Baru yang berubah nama menjadi Buitenzorg dan Bogor.Menurut Sajarah Silsilah Asal Usul Limbangan, Kyai Pande Gede Papandak mempunyai seorang putra yang bernama :
- Dalem Wangsayuda
Dalem Wangsayuda adalah Sekretaris Keraton Mataram ( asal Cilegong Papandak ). Dalem Wangsayuda dikaruniai 5 orang putra, yaitu :
- Rd. Patrawangsa
- Rd. Partadiriya
- Rd. Paranajibja al Ilyas
- Rd.Natawiria
- Rd. Wra Sasatero
7
1281/7 <96> ♂ Dalem Wangsayuda [Pajajaran]Професија : од 1625, Wedana Mataram / Bupati Galuh ke 2
Runtuhnya Pajajaran menyebabkan beberapa daerah merdeka dan menyebabkan beberapa kerajaan berusaha mengklaim wilayah bekas Pajajaran termasuk kerajaan Sumedang Larang di bawah Prabu Geusan Ulun yang menurut klaimnya bahwa seluruh bekas wilayah Pajajaran adalah wilayah Sumedang Larang. Dalam rangka menegakkan klaimnya, Prabu Geusan Ulun kemudian menyelenggarakan serangkaian kampanye militer untuk menaklukan wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada klaimnya. Untuk mengatasi kampanye militer Sumedang Larang, Cirebon kemudian memperkuat pertahanan, diantaranya adalah di wilayah Cimapag yang saat itu wilayah Cimapag termasuk ke dalam wilayah tanggungjawab Jayasasana. Maka Cirebon kemudian mengangkat Jayasasana sebagai senapati atau panglima dengan gelar Wira Tanu (Wira Tanu artinya Panglima atau Senapati).
Dalam masa genting seperti itu, beberapa kesatuan masyarakat yaitu :
- Cipamingkis dibawah pimpinan Nalamerta;
- Cimapag dibawah pimpinan Nyiuh Nagara;
- Cikalong dibawah pimpinan Wangsa Kusumah;
- Cibalagung dibawah pimpinan Natamanggala;
- Cihea dibawah pimpinan Wastu Nagara; dan
- Cikundul dibawah pimpinan Jayasasana dengan gelar Wira Tanu
Титуле : од 1758, Bupati Bogor ke 7
RADEN JAYANEGARA (1721-1731)
Raden Jayanegara adalah putra Anom Wirasuta, bergelar Adipati Panatayudha II. Setela wafat beliau dimakamkan di Waru Tengah Pangkalan. Karena itu beliau dikenal juga sebagai Panembahan Waru Tengah
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA
Generasi ke-3
1.1.1 RAA. Panatayuda II (Rd. Jayanagara, Panembahan Waru Tengah) 1.1.1X Nyi Djadini 1.1.1.1 RAA. Panatayuda III 1.1.1.2 Dlm. Wirabaya 1.1.1.3 Dlm. Wirasuta 1.1.1.4 NR. Panggungnagara 1.1.1.5 NR. Surengrana 1.1.1.6 Rd. Martanagara
1.1.2 NR. Kertayuda 1.1.2X Dlm. Kertayuda 1.1.2.1 Nyi Lor
1.2.1 Rd. Joedanegara1.2.2 Rd. Raksanegara
Титуле : 28 јануар 1727, Pelantikan Bupati Cianjur IV (1727).
Титуле : 13 јануар 1728, Mendapatkan Gelar ARIA WIRAMANGGALA
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV
Adalah bupati Cianjur keempat yang memerintah pada tahun 1727 s.d. 1761
Kehidupan Awal
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV nama aslinya adalah Raden Sabirudin. Penetapan Raden Sabirudin sebagai regent VOC ditetapkan pada tanggal 27 Juli 1726. Namun pengangkatannya dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 1727. [1]
Regent Cianjur
Raden Sabirudin diangkat oleh VOC sebagai regent dengan gelar Raden Aria Wira Tanu IV. Namun karena Raden Aria Wira Tanu III sebelumnya telah mengajukan gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar. Maka VOC kemudian menganugerahkan gelar Adipati dan penambahan Datar bagi Raden Sabirudin. Sehingga Raden Sabirudin lebih dikenal dengan nama Raden Adipati Wira Tanu Datar IV.
Wira Tanu Datar IV memerintah dengan sangat baik dengan dibantu oleh seorang patih yang bernama Wira Nata yang juga merupakan seorang umbul di Jampang. Jabatan Patih Cianjur tetap dipegang oleh Wira Nata meskipun ia telah diangkat sebagai bupati Kampung Baru (Bogor sekarang).
Kematian[sunting | sunting sumber]
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV meninggal pada tahun 1761 dengan meninggalkan 11 putra. Putra pertamanya adalah Raden Muhyidin yang menjadi penerusnya sebagai Raden Adipati Wira Tanu V.[1]Dalam buku Dr. F. DE HAAN, 1910, 139-40 : "Blijkens zijn testament (Levier 28 Jan. 1757 no.18659) had hij drie zoons: Wiradiredja, Natadiredja en Natapraja, waarvan de laatste minderjarig. Van deze drie werd de middelste, Natadiredja, tegelijk met de benoeming zijns vaders tot Regent, aangesteld tot diens Patih. Deze zoon sluit onder den naam „Tommogon Nata Diraidja, woonende tot Buijtenzorg".
Menurut surat wasiat (Levier 28 Januari 1757 no.18659) ia (RA. Wiradinata) memiliki tiga orang putra, yaitu : 1). Wiradiredja, 2). Natadiredja dan 3). si bungsu Natapraja. Dari ketiganya, yang tengah, Natadiredja, bersamaan dengan pengangkatan ayahnya sebagai Bupati, ia diangkat menjadi Patih-nya, dengan gelar "Tumenggung Natadiredja"
Sedangkan kalau mengutip Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"Raden Haji Muhammad Tohir, yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, Uyut Kampung Baru Bogor; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: R. Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- R. Aria Wiratanudatar II,
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Adapun R. Aria Wiratanudatar II (Dalem Tarikolot) mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanudatar III (Dalem Dicondre),
- R.Tmg.Wirdinata (Dalem Kampung Baru Sukaraja),
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
R.Tmg. WIRADINATA (Dalem Kampung Baru Sukaraja I) mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja (Dalem Sukaraja)
- Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja,
- Nyi R. Gandanegara
ASAL-OESOEL NAMA BOGOR
"Eene acte van 7 April 1752 (Van Girssen) vermeldt Raden Nata Drieja „hoofd van de negorij Campong Baroe en Nga biraxa (lees: Ngabehi Raksa) Tjandra, hoofd van de negorij Bogor, nevens Wangsa Tjandra, mandor van eerstgenoemde negorij”. (Dalam akte Van Girssen tertanggal 7 April 1752 disebutkan bahwa Raden Nata Drieja sebagai "kepala Kampung Baru" dan Ngabehi Raksa Tjandra, Kepala kampung/negeri Bogor, sementara Wangsa Tjandra, adalah mantan mandor kampung (Bogor)").
Catatan diatas, dikutip dari buku karangan Frederik De Haan, 1910 yang berjudul "PRIANGAN De Preanger Regentschappen Onder Het Nederlandsch Bestuur tot 1811". Sedangkan F. De Haan juga mengutip dari referensi pengarang lainnya seperti Freijers, Erfbrief, Riesz, dll). Dari catatan tersebut dapat dianalisa bahwa Kampung Bogor terbentuk setelah Kampung Baru (Buitenzorg) dibuka oleh Tanoedjiwa (1689-1705), dan Van Imhoff menyatukan perkampungan (sembilan perdikan) yang ada di “wilayah Pakuan” dan wilayah Istana Peristirahatan Gubernur dalam satu kesatuan administratif yang diberinya nama Buitenzorg, yang berarti “beyond care” atau “outside care”. Penyatuan sembilan perdikan dan Istana Peristirahatan Gubernur Jendral dalam satu wilayah itu terjadi pada tahun 1746. Nama Buitenzorg resmi dipakai sejak saat itu. Meski demikian, dalam sebuah catatan administratif resmi bertanggal 7 April 1752 (sepeninggal van Imhoff – 1750), muncul nama Bogor yang menunjuk kepada wilayah Buitenzorg di luar istana.
Pada 7 April 1752 ketika Ngabehi Raksatjandra menjadi kepala kampung BOGOR, Kampung Baru pusat kotanya masih berada didaerah Parung Angsana (Tanah Baru sekarang), sedangkan Kampung Bogor pada tahun 1752 terletak di seberang Kampung Baranangsiang yang berdiri sejak 1704 (Danasasmita, 1983:87) berdekatan dengan Pasar Bogor.
Masalah nomenklatur "Bogor" berasal dari kata "Bokor" Kawung (Aren/Enau) cukup beralasan, mengingat kampung Bogor yang letaknya di seberang Kampung Baranangsiang, lokasi sekarang adalah area kebun raya Bogor sekitar sungai Ciliwung, dimana dulunya di lokasi ini banyak tumbuh pohon Kawung atau Enau atau Aren. Tanaman Aren/Enau lebih menyukai tempat dengan ketinggian 500-1.200 m (Lutony, 1993) dan bila dibudidayakan pada tempat-tempat dengan ketinggian 500-700 m dpl. akan memberikan hasil yang memuaskan (Soeseno, 1992). Kondisi tanah yang cukup sarang atau bisa meneruskan kelebihan air, seperti tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah yang berpasir disekitar tepian sungai merupakan lahan yang ideal untuk pertumbuhan aren. Suhu lingkungan yang terbaik rata-rata 25 derajat Celcius dengan curah hujan setiap tahun rata-rata 1.200 mm
Sementara itu, penamaan "Buitenzorg" hanya digunakan pada daerah inti sekitar Istana (Peristirahatan Gubernur Van Imhof), akan tetapi dengan penyatuan 9 distrik di bawah Buitenzorg akhirnya dapat diketahui perbedaannya dengan penamaan "Bogor" yang hanya di sebut "negorij / negeri / kota" dengan kata lain Bogor disini adalah "Kota Bogor", dan Buitenzorg adalah "Kabupaten Bogor".
Siapakah Ngabehi Raksatjandra dan Raden Nata Diredja?
Menurut Reisz dalam bukunya "Geschiedenis van Buitenzorg, 1864, 1884" disebutkan bahwa RA. Wiradinata mempunyai 5 orang anak yaitu :
- Rd. Wiradiredja
- Rd. Natadiredja
- Nyi Rd. Gandanagara
- Ngabehi Raksatjandra
- Rd. Wangsatjandra.
Sedangkan De Haan menyanggahnya, dianggap salah dan tidak berdasar. Dia hanya menyebut 3 nama, yaitu:
- Rd. Wiradiredja
- Rd. Pandji (berubah nama menjadi Rd. Natadiredja, setelah diangkat menjadi patih ayahnya RA. Wiradinata)
- Nyi Rd. Gandanagara (yang menikah dengan RT. Nanatagara putra Dalem Aria Wiratanu III alias Dalem dicondre)
Terlepas dari yang mana yang paling benar, yang pasti adalah RA. Wiradinata pada saat diangkat menjadi Regent Kampung Baru (Bogor), pihak VOC memberikan syarat dan kriteria, antara lain :
- Keturunan Ningrat;
- Membayar biaya konsesi;
- Memiliki pekerja/penduduk;
- Berwibawa atau disegani rakyatnya.
- kriteria lainnya sesuai kebutuhan
Титуле : од 22 јун 1761, Bupati Bogor ke 8
Catatan VOC
- Aug. 25, 1769 De Aria van Tjikalon Radeeng Nata Nagara word den titul van Temangong gehonoreert, 25 Augustus 1769. file 1049, folios 1077-1101 Batavia en Batavias Ressort
- Feb. 23, 1759 De Regent van Inkarta Nagara of Isikalong in de Bovenlanden Aria Wangsa Coesoema genaamt, om zijn onvermogen ontslagen en Aria Nata Nagara onder beding daartoe weder benoemd, 23 Februari 1759. file 1023, folios 39-58 Bovenlanden
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.

Adapun putra bungsu Dalem Santowaan, yaitu Kyai Rd. Nawawi. Menurut riwayat, karena beliau ahli dalam bidang llmu Nahwu ( cabang ilmu tata bahasa Arab ), maka beliau terkenal dengan sebutan Kyai Rd.Nawu.
Kyai Rd. Nawu tinggal dan menetap di daerah Cibeureum Wanaraja, yang sekarang termasuk wilayah Kec. Pangatikan Kab. Garut. Kyai Rd.Nawawi ( Kyai Rd.Nawu ) mempunyai putra yang bernama :
- I. Kyai Lembang ( Syekh Abdul Jabar )
Beliau adalah Kyai di daerah Cikukuk Leles ( sekarang termasuk wilayah Kec. Leuwigoong ). Makam Kyai Lembang ( Syekh Abdul Jabar ) satu kompleks dengan makam cucunya, yaitu Kyai Rd. Jafar Sidik, berada di sebuah bukit Gunung Haruman di Desa Cipareuan Kec. Cibiuk Kab. Garut. Kyai Lembang atau Syekh Abdul Jabar mempunyai beberapa orang putra, diantaranya :
- Kyai Rd. Ketib, Beliau adalah seorang Kyai di daerah Ciceuri ( sekarang temasuk Kec. Kersamanah Kab. Garut ). Makam Kyai Rd. Ketib putra Kyai Lembang berada di sebelah Selatan pemakaman Astana Gede di Kampung Pasir Astana Desa Pasirwaru Kec. Limbangan. Karena Kyai Rd. Ketib memegang jabatan Khotib pertama di Limbangan, maka selanjutnya beliau pindah dari daerah Ciceuri Malangbong (sekarang termasuk wilayah Kec.Kersamanah Kab. Garut ) ke Limbangan dan seterusnya tinggal dan menetap di Limbangan.
Kyai Rd.Ketib dkaruniai 7 orang putra,diantaranya :
- Nyimas Ayu Subah, menikah dengan Kyai Rd.Mas’ud putra Rd. Arsawiguna ( Patih Limbangan ) dan melahirkan 5 orang putra, diantaranya yaitu :
- Kyai Rd. Jafar Sidik
- Kyai Rd. Fakih Ibrahim.
- Nyimas Ayu Subah, menikah dengan Kyai Rd.Mas’ud putra Rd. Arsawiguna ( Patih Limbangan ) dan melahirkan 5 orang putra, diantaranya yaitu :
Kedua putra Kyai Rd. Mas’ud dengan Nyimas Ayu Syu’bah ini akan djelaskan pada Bagian 4.
- Kyai Musta’mil, Berputra satu, yaitu :
- Nyi Rd. Ajeng Kawibun, menikah dengan saudara sepupunya, yaitu Kyai Rd. Jafar Shidik putra Kyai Rd.Mas’ud.
- Kyai Mas Panengah, Berputra beberapa orang,diantaranya :
- Ny. Rd.Pangulu Cicadas, menikah dengan saudara sepupunya, yaitu Kyai Rd.Fakih Ibrahim putra Kyai Rd.Mas’ud.
- II. Kyai Rd. Sulaeman ( Banyumas )
Dua diantara beberapa putranya, yaitu :
- Kyai Mas Winata
- Kya Abdullah
Dikutip dari Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"Raden Haji Muhammad Tohir, yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, Uyut Kampung Baru Bogor; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: R. Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- R. Aria Wiratanudatar II,
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Adapun R. Aria Wiratanudatar II (Dalem Tarikolot) mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanudatar III (Dalem Dicondre),
- R.Tmg.Wirdinata (Dalem Kampung Baru Sukaraja),
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
R.Tmg. WIRADINATA (Dalem Kampung Baru Sukaraja I) mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja (Dalem Sukaraja)
- R. Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja,
- Nyi R. Gandanegara
R. Tmg. Wiradireja mempunyai putra-putri sebanyak 14 orang terdiri dari :
- R. Abdul,
- R. Brajamanggala,
- R. Tanjung Anom,
- Nyi R. Satmakara,
- Nyi R. Entang,
- R. Wiramanggala (Leluhur Abdullah bin Nuh),
- Nyi R. Bonggang,
- Nyi R. Aleja,
- R. Haji Muhammad TOHIR alias Uyut Kampung Baru,
- R. Dja'far,
- R. Komar,
- Nyi R. Demas,
- Nyi R. Permas,
- R. Husein,
Adapun R.H. Muhammad Tohir alias Uyut Kampung Baru mempunyai putra-putri sebanyak 21 orang dari tiga istri, dari istri ke 1, 10 orang putra-putri, dari isteri ke 2, 8 orang putra-putri dan dari istri ke 3, 3 orang putra-putri. R.H.M. TOHIR alia'Uyut Kampung Baru itu keturunan BANGSAWAN PAJAJARAN, dan seorang cucunya yang bernama R. Haji Muhammad Sirod SURIAWINATA terkenal dengan sebutan DALEM SHOLAWAT' beliau seorang Bupati (Bogo) ahli wirid SOLAWAT, menjadi Bupati di Bogor, wafat th. 1879. Adapun Raden Wiradinata, Ayah R.H. Muh. Tohir itu, adalah dari jihat ayahnya, keturunan Pangeran Aria Wangsa Goparana, seorang bangsawan Pajajaran yang meninggalkan kedudukannya yang tinggi karena memeluk agama 'Islam' Pangeran inilah yang menurunkan keluarga Aria Wiratanudatar (Dalam cikundul) *)
Menurut Buku F. De Haan, dalam (PRIANGAN, hal ....), Nyi Rd. Gandanagara adalah saudara perempuan RT. Wiradiredja, menikah dengan RT. Natanagara (Aria Natanagara, die blijkens eene acte Garrisson 29 Dec. 1761 no. 9092 gehuwd was met Wiradiredja’s te Buitenzorg wonende zuster Gandanagara), sedangkan dalam buku yang sama De Haan menyebutkan bahwa RA. Wiradinata mempunyai 3 orang putra yaitu 1) RT Wiradiredja, 2) R. Pandji/Natadiredja dan 3) R. Natapraja.
Sedangkan kalau menurut Riesz dalam (History of Buitenzorg, halaman 11), bahwa Ngabey Raksa Tjandra dan Wangsa Tjandra juga putra RA Wiradinata, walaupun keterangan Riesz ini dibantah oleh De Haan dan dinyatakan tidak benar.8
2021/8 <144> ♂ Kyai Gedeng Kili Managgis [Galuh]Титуле : 12 јун 1642
Pengganti Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati Panji Aria Jayanagara (1636-1642). Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan raja Mataram. Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5 Rabi’ul Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja Mataram, ia mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh Imbanagara. Nama Galuh akan tetap dipakai dalam tulisan ini untuk mengidentifikasi kabupaten Galuh.Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke Barunay. Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten Ciamis. Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai kebijakan reorganisasi Priangan oleh raja Mataram. Tahun 1641 Mataram membentuk kabupaten-kabupaten baru di sekitar Galuh, yaitu Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas.(F. de Haan, op. cit, hlm. 73.)
Silsilah Keluarga Sumedang Larang
1.1.1.5.29 NM. Ajoe or RA Mariah or Nyi Gedeng Muda . 1.1.1.5.29X Knj Dlm Kiai Adp Bpt Galuh IV Imbanagara / Bupati Galuh ke 3 : Raden Panji Aria Jayanegara / Mas Bongsar ( 1636-1678 ) ., 1.1.1.5.29.1 Knj Dlm Aria Bpt Imbanagara Anggapradja / Bupati Galuh ke 4 : Anggapraja ( 1678- 1679 ) . . 1.1.1.5.29.2 Knj Dlm Adp Bpt Imbanagara Angganaja / Bupati Galuh ke-5 : Angganaya ( 1679-1693 ) . . 1.1.1.5.29.3 NM. Galuh .1.1.1.5.29.4 R. Adp. Anggamadja Bupati Imbanagara ke 3 (Added by Alvin, Misplaced?, Not in Diagram. Not include in PS book) .
Титуле : од 1726, Limbangan, Garut, Bupati Limbangan Ke-3
Смрт: 1740, Limbangan, Garut
Di Bab terdahulu telah diterangkan bahwa ketika Dalem Nayawangsa wafat,cucunya bernama Wangsadita masih belum dewasa.oleh karena itu Dalem Nayawangsa diganti oleh Dalem Mertasinga.meskipun demikian,Wangsadita tetap memegang hak sebagai bupati.menurut Silsilah Limbangan Dalem Wangsadita adalah putera Dalem Kudawireksa,yang tidak sempat menjadi bupati mungkin karena wafat mendahului Dalem Nayawangsa.
Didalam “Resulutie” VOC disingkat “R”tertanggal 23 Oktober 1710 ditetapkan bahwa Wangsadita (1) akan menjadi bupati Limbangan mengganti Dalem Mertasinga bila Dalem Mertasinga wafat,padahal Dalem Mertasinga mempunyai pula putera Dalem Sutamerta,dan ketika itu Dalem Mertasinga belum wafat.Dalem Mertasinga wafat pada tahun 1727 sebagaimana diberitakan didalam D.14 Januari 1726.
Menurut Jongsbloet tahun 1714 Dalem Mertasinga memiliki 160 umpi dan Raden Wangsadita (1) hanya 40 umpi,hal mana menunjukan bahwa Dalem Wangsadita (1) ketika itu menjadi kepala Distrik di Limbangan.setelah Dalem Mertasinga wafat,1726 Dalem Wangsadita (1) mengajukan permohonan untuk menjadi bupati menggantikan Dalem Mertasinga pada bulan Desember 1726 juga.nampaknya permohonan Dalem Wangsadita (1) dikabulkan oleh VOC dan menurut D.28 November 1730 Dalem Wangsadita (1) menyebut dirinya sebagai Raden Rangga Limbangan.
Dalem Wangsadita (1) alias Raden Rangga Limbangan mempunyai putera 10 orang :
- Dalem Surianagara
- Dalem Wangsadita ( II )
- Dalem Suriapraja atau Suriadipraja
- Nyi Raden Natakaraton
- Nyi Raden Rajakaraton
- Raden Panghulu Limbangan
- Nyi Raden Purba
- Raden Wangsapraja
- Raden Wangsadinata
- Nyi Raden Pandon
Raden Surianagara,putera sulung Dalem Wangsadita (1) menikah dengan Ratupanganten,yang terkenal dengan nama Nyi Raden Rajaningrat,puteri dari pangeran Adipati Kusumadinata
9. NRA. Radjanagara, suami : Ki Dlm.Rd Rangga Wangsadita dikaruniai 13 putra putri : (Sumber : https://www.facebook.com/SalakanagaraFansPage/posts/671778476200963)
- Kd. Adipati Soerianagara
- Kd. Rangga Wangsadireja .
- Kd. Surapraja .
- Rd. Aria Wiradireja .
- Kd. Adipati Wangsareja .
- Rd. Aria H. Kusumah .
- RM. Aria Tjakrayuda .
- RM. Natapraja .
- NRA. Natakaraton .
- NR. Ratnanagara .
- NR. Rajakaraton .
- NRA. Siti Gede .
- Dlm. Rangga Bungsu
RADEN SINGANAGARA (1731-1752)
Raden Singanagara, putra Jayanegara, bergelar Raden Aria Panatyudha III. Raden Singanagara dikenal juga dengan nama Raden Martanegara. Setalh wafat dimakamkan di Waru Hilir, Pangkalan. Karena itu beliau dikenal dengan Panembahan Waru Hilir. Pada tanggal 28 November 1994, makam Raden Anom Wirasuta (Bupati Karawang ke-2), makam Raden Jayanegara (Bupati Karawang ke-3) dan Raden Singanagara (Bupati Karawang ke-4) dipindahkan ke Areal dekat makam Raden Adipati Singaperbangsa di Manggung Ciparage, Desa Manggungjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon.
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA
Generasi ke-4
1.1.1.1 RAA. Panatayuda III (Rd. Singanagara alias Rd. Martanagara, Panembahan Waru Hilir) 1.1.1.1.1 RAA. Panatayuda IV 1.1.1.1.2 Rd. Aria Hasan SINGANAGARA 1.1.1.1.3 NR. Sujinah 1.1.1.1.4 Dlm. Judadipura 1.1.1.1.5 Dlm. Sumanagara 1.1.1.1.6 Dlm. Gandaseli 1.1.1.1.7 Rd. Sastrawinata
1.1.1.2 Dlm. Wirabaya 1.1.1.2.1 Nyi Armun
1.1.1.3 Dlm. Wirasuta 1.1.1.3.1 Dlm. Wirajasa 1.1.1.3.2 Dlm. Cakrasedana
1.1.1.4 NR. Panggungnagara
1.1.1.5 NR. Surengrana 1.1.1.5X Dlm. Citrayudamanggala 1.1.1.5.1 Dlm. Mar'i SINGADERPA II
1.1.1.6 Rd. Martanagara 1.1.1.6X Nyi Seda 1.1.1.6.1 Rd. Badrasuta
1.1.2.1 Nyi Lor 1.1.2.1X Singanagara 1.1.2.1.1 Dlm. Anom Sacanapura
Raden Adipati Wira Tanu Datar V
Raden Adipati Wira Tanu Datar V adalah bupati kelima Cianjur (regent keempat VOC di Cianjur)
Kehidupan Awal
Nama asli Wira Tanu Datar V adalah Raden Muhyidin. Ia merupakan anak pertama Adipati Wira Tanu Datar IV. Ia naik tahta ketika ayahnya meninggal dunia
Regent Cianjur Tidak terlalu banyak catatan mengenai masa pemerintahannya sebagai regent. Karena Cianjur saat itu ada dalam kategori tenang karena jasa-jasa Wira Tanu III yang telah menanamkan pengaruh Cianjur di mata Belanda. Masa pemerintahannya ditandai dengan majunya Pencak Silat. Bahkan salah satu aliran silat terkenal yaitu Kari Madi berkembang saat masa pemerintahan Wira Tanu Datar V.
Kematian
Wira Tanu Datar V meninggal pada tahun 1776 dan dimakamkan di Pasarean Agung kota Cianjur. Ia meninggalkan 17 putra
Keturunan
Dalem Muhidin (Wiratanu V) PUPUTRA:17
- Dalem Aria Enoh (Wiratanu VI)
- Nyi Rd. Tanjungnagara
- Nyi Rd. Bentang
- Rd. Wiramanggala
- R.A. Wastireja
- Nyi Rd. Purba
- Nyi Rd. Emul
- R.A. Jayanagara
- Rd. Tisnadilaga
- Rd. Natadigja
- Rd. Ardikusuman
- Nyi Rd. Kandran
- Nyi. Rd. Siti Murtala
- Nyi. Rd. Hamsyah
- Rd. Natadireja
- Rd. H. Muhyidin (R.Natapraja)
- Rd. Purantareja
Свадба: <14> ♀ 5. Ratu Syarifah [Kasultanan Banten] b. 1725проц
Професија : 13 април 1826, Aulia / Penghulu Kampung Baru (Buitenzorg/Bogor)
Сахрана: 1849, Empang, Bogor
Титуле : 1806, Bupati Talaga
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.
