6. Pangeran Aria Wangsa Goparana (Sunan Sagalaherang) b. 1573изр - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
RADEN ARYA WANGSA GOPARANA
Tiga abad silam merupakan saat bersejarah bagi Cianjur. Karena berdasarkan sumber – sumber tertulis , sejak tahun 1614 daerah Gunung Gede dan Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram. Tersebutlah sekitar tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang mengemban tugas untuk mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kekuasaan di tanah nusantara. Upaya Wiratanu untuk mempertahankan daerah ini juga erat kaitannya dengan desakan Belanda / VOC saat itu yang ingin mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Namun sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda / VOC mengakibatkan ia harus rela meninggalkan keraton tanggal 12 Juli 1677. Kejadian ini memberi arti bahwa setelah itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru ke pinggiran sungai untuk bertani dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Islam, sedangkan para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk Hindu.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan menantang investasi.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Berdasarkan sumber dari Wikipedia, Kabupaten Cianjur memiliki 36 orang yang pernah menjadi Bupati/Dalem dari tahun 1677 sampai 2011. Berikut daftar nama Bupati/Dalem Kabupaten Cianjur sampai tahun 2011:
1.R.A. Wira Tanu I (1677-1691) 2.R.A. Wira Tanu II (1691-1707) 3.R.A. Wira Tanu III (1707-1727) 4.R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761) 5.R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776) 6.R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813) 7.R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833) 8.R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834) 9.R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862) 10.R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910) 11.R. Demang Nata Kusumah (1910-1912) 12.R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920) 13.R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932) 14.R. Sunarya (1932-1934) 15.R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943) 16.R. Adiwikarta (1943-1945) 17.R. Yasin Partadiredja (1945-1945) 18.R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946) 19.R. Abas Wilagasomantri (1946-1948) 20.R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950) 21.R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952) 22.R. Akhyad Penna (1952-1956) 23.R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957) 24.R. Muryani Nataatmadja (1957-1959) 25.R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966) 26.Letkol R. Rakhmat (1966-1966) 27.Letkol Sarmada (1966-1969) 28.R. Gadjali Gandawidura (1969-1970) 29.Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978) 30.Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983) 31.Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988) 32.Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996) 33.Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001) 34.Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006) 35.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)36.Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2011-2016)
2
Титуле : Bupati Cianjur Ke I (1681 - 1691), Dalem mandiri (Explorer), tanpa diangkat oleh sultan, raja atau pemerintahan lainnya.
Свадба:
Смрт: ~ 1706
BIOGRAFI
Rd. Kj. Aria Wiratanudatar yang dikenal sebagai Kj. Dalem Cikundul Beliau adalah penyebar Islam sekaligus Bupati Cianjur pertama, di Kp.Cijagang Ds.Majalaya Kec.Cikalong Kulon Kab. Cianjur
Dari kejauhan nampak di atas sebuah bukit yang sekelilingnya menghijau ditumbuhi pepohonan yang rin-dang. berdiri sebuah bangunan cukup megah dan kokoh.Bangunan yang sangat artistik dengan nuansa Islam itu. tiada lain makam tempat dimakamkannya Bupati Cianjur Pertama, R Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Gopa-rana periode (1681-1691)yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.
Areal makam yang luasnya sekitar 300 meter itu. berada di atas tanah seluas 4 hektar puncak Bukit Cijagang. Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalong-kulon. Cianjur, Jawa Barat atau sekitar 17 Km kearah utara dari pusat kota Cianjur.Makam Dalem Cikundul, sudah sejak lama dikenal sebagai obyek wisata ziarah. Dalem Cikundul. konon tergolong kepada syuhada sholihiin yang ketika masih hidup dan kemudian menjadi dalem dikenal luas sebagai pemeluk agama Islam yang taat dan penyebar agama Islam.
Catatan sejarah dan cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, tahun 1529 kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam, yang sejak itu, sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam.Tetapi raja-raja Talaga. yaitu Prabu Siliwangi. Mun-dingsari. Mundingsari Leutik, Pucuk Umum. Sunan Parung Gangsa. Sunan Wanapri, dan Sunan Ciburang, masih menganut agama lama, yaitu agama Hindu.Sunan Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana. dan ia merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam, namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga. dan pergi menuju Sagalaherang.
Di Sagalaherang, mendirikan Negara dan pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Pada akhir abad 17. ia meninggal dunia di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang dengan meninggalkan dua orang putra-putri, yaitu. DJayasasana, Candramang-gala, Santaan Kumbang. Yu-danagara. Nawing Candradi-rana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti.Aria Wangsa Goparana, menurunkan para Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para keturunannya. Putra sulungnya Djayasasana dikenal sangat taqwa terhadap Allah SWT. tekun mempelajari agama Islam dan rajin bertapa.
Setelah dewasa Djayasasana meninggalkan Sagalaherang. diikuti sejumlah rakyatnya. Kemudian bermukim di Kampung Cijagang, Cikalong-kulon. Cianjur, bersama .pengikutnya dengan bermukim di sepanjang pinggir-pingir sungai.Djayasasana yang bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur Pertama periode (1681-1691). meninggal dunia antara tahun -1706 meninggalkan putra-puteri sebanyak 11 orang , masing-masing
- . Dalem Aria wiramanggala.
- . Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad).
- . Dalem Aria Tirta (Di Karawang).
- . Dalem Aria natamanggala (Dalem aria kidul/gunung jati cjr),
- . R.Aria Wiradimanggala(Dalem Aria Cikondang)
- . Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong),
- . Nyai Mas Kaluntar .
- . Nyai Mas Bogem
- . Nyai R. Mas Karangan.
- . Nyi R.mas KAra
- . Nyai Mas Djenggot
Beliau Juga memiliki seorang istri dari bangsa jin Islam, dan memiliki tiga orang putra-putri, yaitu
- . Raden Eyang Surya-kancana. yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin.
- . Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai,
- . R. Andaka Warusaja-gad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang).
Bertitik tolak dari situlah, Dalem Cikundul sebagai leluhurnya sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman (kabupaten) Cianjur. Maka Makam Dalem Cikundul dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari pelbagai daerah.Selain dari daerah-daerah yang ada di P Jawa, banyak juga penziarah dari luar P Jawa seperti dari Bali. Sumatra. Kalimantan, banyak juga wisatawan mancanegara. Penziarah setiap bulan rata-rata mencapai 30.000 lebih pengunjung, mulai dari kalangan masyarakat bawah, menengah, hingga kelas atas, dan ada pula dari kalangan artis.
Maksud ziarah itu sendiri sebagaimana diajarkan dalam Islam, supaya orangeling akan kematian. Disamping itu, ziarah kepada syuhada solihin selain mandoakanya juga untuk tawasul memohon kepada Allah SWT melalui syuhada solihin sebagai perantara terhadap Allah SWT. Karena syuhada solihin lebih dekat dengan Allah SWT. umumnya yang berziarah antara lain ada yang ingin memperoleh kelancaran dalam kegiatan usahanya, dipercaya atasan, cepat memperoleh jodoh, dan lainnya. Sebelum melaksanakan ziarah di pintu masuk makam harusnya diberi nasehat-nasehat oleh juru kunci, dimaksudkan agar tidak sesat(tidakmenyimpang dari akidah dan tidak terjerumus kedalam jurang kemusyrikan
Makam Dalem Cikundul. semula kondisinya sangat sederhana. Tahun 1985 diperbaiki oleh Ny Hajjah Yuyun Muslim Taher istrinya Prof Dr Muslim Taher (Alm) Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta. Biaya perbaikannya menghabiskan sekitar Rp 125 juta.Sekarang ini, biaya perawatannya Selain dari para donator tetap juga hasil infaq so-dakoh dari para pengunjung. Belum lama ini telah selesai dilakukan perbaikan atap bangunan gedung utama ber ukuran 16x20 meter, perbaikan masjid untuk wanita berukuran 7x7 meter. Menyusul akan dibangun lantai II tempat peristirahatan bagi para peziarah.
Di tempat berziarah Makam Dalem Cikundul ini. banyak disediakan Fasilitas untuk para penziarah mulai dari masjid untuk wanita dan laki-laki serta tempat peristirahatan. Dan sebelum memasuki areal tempat berziarah ada pula penginapan yang dikelola Dipenda Kabupaten Cianjur.Sebagai penziarah ada yang memiliki anggapan bila berziarah ke Makam Dalem Cikundul menghitung jumlah tangga sesuai dengan jumlah tangga sebenarnya, dapat diartikan maksud atau tujuan hidupnya akan tercapai. Itu sebabnya, tidak heran para penziarah ketika naik tangga untuk menuju sebuah bukit tempat Makam Dalem Cikundul. sambil menghitung jumlah tangga.jumlah tangga yang menuju lokasi makam yaitu tangga tahap pertama Jumlahnya 170 tangga. Kenapa tangga itu dibuat 170 buah. Dikemukakan bahwa jumlah itu diambil dari bilangan atau hitungan membaca ayat kursi yang sering dilakukan orang, yang juga sering dilakukan Dalem Cikundul. dan jumlah tangga tahap kedua sebanyak 34 buah."Mengenai ada anggapan apabila menghitung tangga sama Jumlahnya sama dengan jumlah tangga yang sebenarnya,insyaallah konon do'anya bakal dikabul segala maksud atau keinginan, tergantung kepercayaan masing-masing atau hanya sugesti saja." karena hal ini tergantung kebersihan niat dari para peziarah.
Rundayan Para Bupati Cianjur Dari periode 1940-2011
- . R.A. Wira Tanu I /Rd Djayasasana (1681-1691)
- . R.A. Wira Tanu II / Rd.Aria Wiramanggala)(1691-1707)
- . R.A. Wira Tanu III /RA. Astra Manggala(1707-1727)
- . R.A. Wira Tanu Datar IV/ Rd. Sabirudin(1727-1761)
- . R.A. Wira Tanu Datar V /Dalem Muhyidin(1761-1776)
- . R.A. Wira Tanu Datar VI/Dalem Aria Enoh (1776-1813)
- . R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
- . R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
- . R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
- . R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
- . R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
- . R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
- . R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
- . R. Sunarya (1932-1934)
- . R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
- . R. Adiwikarta (1943-1945)
- . R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
- . R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
- . R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
- . R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
- . R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
- . R. Akhyad Penna (1952-1956)
- . R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
- . R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
- . R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
- . Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
- . Letkol Sarmada (1966-1969)
- . R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
- . Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
- . Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
- . Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
- . Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996)
- . Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
- . Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006)
- . Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)
SILSILAH EYANG DALEM CIKUNDUL
SILSILAH NA : ======================== 1. Nabi Adam As. 2. Nabi Syis As. 3. Anwar ( Nur cahya ) 4. Sangyang Nurasa 5. Sangyang Wenang 6. Sangyang Tunggal 7. Sangyang Manikmaya 8. Brahma 9. Bramasada 10. Bramasatapa 11. Parikenan 12. Manumayasa 13. Sekutrem 14. Sakri 15. Palasara 16. Abiyasa 17. Pandu Dewanata 18. Arjuna 19. Abimanyu 20. Parikesit 21. Yudayana 22. Yudayaka 23. Jaya Amijaya 24. Kendrayana 25. Sumawicitra 26. Citrasoma 27. Pancadriya 28. Prabu Suwela 29. Sri Mahapunggung 30. Resi Kandihawan 31. Resi Gentayu 32. Lembu Amiluhur 33. Panji Asmarabangun 34. Rawisrengga 35. Prabu Lelea ( maha raja adi mulya ) 36. Prabu Ciung Wanara 37. Sri Ratu Dewi Purbasari 38. Prabu Lingga Hyang 39. Prabu Lingga Wesi 40. Prabu Susuk Tunggal 41. Prabu Banyak Larang 42. Prabu Banyak Wangi / Munding sari I 43. ( a ) Prabu Mundingkawati / Prabu Lingga Buana / Munding wangi (Raja yang tewas di Bubat) ( b ) Prabu boros ngora / Buni sora suradipati / Prabu Kuda lelean berputra : Ki Gedeng Kasmaya 44. Prabu Wastu Kencana / Prabu Niskala wastu kancana / Prabu Siliwangi I 45. Prabu Anggalarang / Prabu Dewata Niskala /Jaka Suruh ( Raja Galuh / Kawali ) 46. Prabu Siliwangi II / Prabu Jaya dewata / Raden Pamanah rasa / Sri Baduga Maha Raja 47. Munding sari ageung / Munding sari II 48. Munding sari leutik / Munding sari III 49. Prabu Siliwangi V / Prabu Pucuk Umum ( Rd. Ragamantri ) 50. Sunan Parung Gangsa 51. Sunan Wanaperih ( Rd.Arya Kikis ) 52. Sunan Ciburang ( Rd.Arya Goparana ) 53. Sunan Sagala herang ( Rd. Dalem Arya Wangsa Goparna )54. Eyang Dalem Cikundul ( Pangeran Ngabehi Jayasasana )
3
Титуле : Bupati Cianjur Ke II (1691 – 1707), Dalem mandiri, tapi kemudian diakui regent oleh VOC
4
Титуле : Bupati Cianjur III (1707- 1726), Mengajukan gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar ke VOC
Raden Aria Wira Tanu III
Adalah regent Cianjur yang memerintah dari tahun 1707 s.d. 1726
Kehidupan Awal
Nama asli Raden Aria Wira Tanu III adalah Raden Astramanggala. Ia diangkat regent pada tahun 1707 ketika ayahnya yaitu R.A. Wira Tanu II meninggal. Saat Wira Tanu III naik tahta, ibu kota Cianjur yang berada di Pamoyanan sudah mulai mundur. Maka langkah pertama Wira Tanu III adalah memindahkan ibu kota yang asalnya dari Pamoyanan ke kampung Cianjur sampai dengan saat ini. Perlu diperhatikan bahwa kampung Cianjur merupakan salah satu wilayah yang berada di Kabupaten Cianjur sehingga Wira Tanu III tidak berperan sebagai pendiri Cianjur.[1]
Regent Cianjur[sunting | sunting sumber]
Pada masa pemerintahan Wira Tanu III, VOC mulai mengolah wilayah-wilayah yang diserahkan Mataram seperti menetapkan batas tiap kabupaten, dan memperbaiki tata kota dan desa. Pada tahun 1711, VOC menetapkan bahwa wilayah pantai selatan dimasukan ke wilayah Cianjur. Selanjutnya pada 1715 Jampang pun dimasukan ke wilayah Cianjur.[1]
Wira Tanu III sering mengajukan klaim ke VOC mengenai wilayah-wilayah yang ada di kekuasaan kabupaten tetangga. Hal ini mengakibatkan Residen Cirebon merasa kewalahan karena tentunya hal ini akan mengurangi wilayah kabupaten lain. Residen Cirebon menyampaikan laporan pada pemerintahan Batavia sebagai berikut : 1.Rakyat Cianjur membuat gapura yang sangat besar dan menyamai gapura kesultanan untuk menghormat Wira Tanu III. Gapura yang dibuat lebih menyerupai benteng dan tidak sesuai dengan status Cianjur yang hanya berstatus kabupaten. Hal ini meningkatkan kewaspadaan VOC. 2.Wira Tanu III meminta gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar (Belanda:Pangerang Aria Depatty Amangcoerat in Dator). Gelar ini menyatakan bahwa Wira Tanu III menyamakan dirinya dengan Amangkurat dan berkuasa di Datar. Belanda merasa sangat gentar ketika regent nya meminta gelar ini. VOC merasa bahwa Wira Tanu III sudah berbahaya dan takut ingin berkuasa seperti layaknya Amangkurat sultan Mataram. Maka VOC hanya mengbulkn gelar Datar nya saja. Itu pun terlambat karena pengukuhan gelar Datar dilakukan setelah meninggalnya Wira Tanu III dan gelar itu akhirnya diberikan ke Wira Tanu IV. 3.Wira Tanu III minta ke VOC supaya Citarum menjadi batas Cianjur. Hal ini dapat memperluas wilayah Cianjur dengan mengambil sebagian Bandung dan Karawang serta seperempat wilayah Parakanmuncang. Wira Tanu III ngotot pada VOC untuk menggeser batas wilayah Cianjur dengan Kampung Baru, Bandung, Karawang dan Parakanmuncang sedemikian luas sehingga akan membuat kabupaten lain berkurang wilayahnya. Hal ini membuat VOC bingung karena tidak berani untuk menolak dan tidak mau untuk memberikan. Atas berbagai klaim ini, wilayah Cianjur zaman Wira Tanu III sudah hampir menyamai wilayah Cianjur sekarang.[1]
Wira Tanu III termasuk regent yang berprestasi dalam pandangan VOC, karena Wira Tanu III selalu berhasil menyetor kopi yang terbesar ke VOC.
Kematian[sunting | sunting sumber]
Wira Tanu III meninggal pada tahu 1726 karena ditusuk condre. Karena inilah Wira Tanu III setelah kematiannya disebut sebagai Dalem Dicondre. Ada dua versi ditusuknya Wira Tanu III[1]
Pemberontakan[sunting | sunting sumber]
Wira Tanu III adalah bupati yang tegas dalam hal menerapkan hukum tanam paksa. Ketegasan ini menguntungkan pihak VOC tapi merugikan rakyat. Rakyat merasa menderita karena sistem tanam paksa ini. Suatu waktu ada kasus bahwa bayaran kopi pada VOC yang seharusnya 17,5 gulden hanya dibayar 12,5 gulden sedangkan yang 5 gulden dipakai oleh Wira Tanu III sendiri. Hal ini mengakibatkan kemarahan rakyat dan berakhir dengan ditusuknya Wira Tanu III oleh senjata condre.[1]
Masalah cinta[sunting | sunting sumber]
Suatu waktu Wira Tanu III mendengar bahwa di Cikembar ada gadis cantik yang bernama Apun Gentay. Karena kecantikannya sangat pantas jika Apun Gentay dinikahi oleh Wira Tanu III. Apun Gentay sendiri sebenarnya sudah memiliki kekasih orang Citeureup, Bogor.[1]
Apun Gentay kemudian dipanggil ke Pendopo. Apun Gentay tiba di pendopo pukul 4 sore bersama kekasihnya. Keadaan di pendopo ketika itu tidak ada siapa-siapa yang ada hanya Wira Tanu III dengan saudaranya yaitu Mas Purwa. Semua yang ada di pendopo menyangka bahwa Apun Gentay bersama pengiringnya bukan bersama kekasihnya. Ketika Apun Gentay dipanggil untuk mendekat, kekasihnya ikut mendekat dan dengan cepat menusuk Wira Tanu III dengan condre sebanyak tiga kali. Wira Tanu III kemudian roboh dengan isi perut keluar.
Mas Purwa kemudian mengejar si penusuk. Di alun-alun mereka bertarung dan karena kesaktian Mas Purwa, si penusuk berhasil dipenggal kepalanya. Wira Tanu III pingsan di singgasana dengan keadaan isi perut keluar. Pukul 7 malam Wira Tanu III akhirnya meninggal.[1]
Sekilas Mengenai Gelar Yang Digunakan[sunting | sunting sumber]
Gelar bangsawan zaman feodalisme di daerah Sunda tidak terlalu berbeda dengan gelar di Jawa. Gelar digunakan untuk menunjukan derajat seorang bangsawan. Pada umumnya gelar yang dipakai adalah Ngabehi, Tumenggung, Aria dan Adipati. Gelar-gelar ini didapat dengan berbagai cara, diantaranya : 1.Gelar digunakan sendiri tanpa ada yang memberi. Hal ini berlaku bagi bangsawan yang mendirikan wilayah sendiri tanpa diangkat oleh orang lain. Contohnya adalah R.A. Wira Tanu I. 2.Gelar digunakan karena warisan dari ayahnya. 3.Gelar dianugerahkan oleh penguasa yang lebih tinggi derajatnya (atasannya) seperti Raja/Sultan yang memberikan gelar Aria/Adipati pada seorang bangsawan 4.Pada zaman VOC, gelar didapat dengan cara dibeli.
Di wilayah kekuasaan VOC, para penguasa lokal yang merupakan bangsawan. Diperbolehkan memakai gelar dengan cara membeli dari VOC. Gelar-gelar ini harganya sangat mahal, sehingga beberapa bangsawan miskin memiliki jabatan pun banyak yang tidak bergelar dan hanya menyandang Raden saja. Gelar yang paling mahal adalah gelar Pangeran karena gelar ini sangat istimewa dan harus mendapat izin dulu dari Raja/Ratu Belanda.[Титуле : од 1749, Bupati Bogor ke 6
Dikutip dari Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M). Yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, "Uyut Kampung Baru Bogor"; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: Pangeran Ngabehi Jayasasana / Jayalalana / Raja Gagang / H Rd Aria Wira Tanu Datar I / Mbah Dalem Cikundul Cianjur / Bupati Cianjur I. Mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- Pangeran Wiramanggala / H Rd Aria Wira Tanu Datar II / Mbah Dalem Tarikolot Cianjur / Bupati Cianjur II.
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Pangeran Wiramanggala / H Rd Aria Wira Tanu Datar II / Mbah Dalem Tarikolot Cianjur / Bupati Cianjur II. Mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanu III (Dalem Dicondre),
- H Rd Tumenggung Wiradinata / Bupati Bogor I jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1749-1754 M).
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
WIRADINATA H Rd Tumenggung Wiradinata / Bupati Bogor I jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1749-1754 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja H Rd Tumenggung Wiradiredja / Bupati Bogor II jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1758-1769 M).
- R.Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja, Bupati Bogor (1754-1758)
- Nyi R. Gandanegara menikah dengan RTA. Natanagara, Bupati Bogor (1769-1788)
H Rd Tumenggung Wiradiredja / Bupati Bogor II jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Sukaraja Bogor (1758-1769 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 14 orang terdiri dari :
- R. Abdul,
- R. Brajamanggala,
- R. Tanjung Anom,
- Nyi R. Satmakara,
- Nyi R. Entang,
- R. Wiramanggala (Leluhur Abdullah bin Nuh),
- Nyi R. Bonggang,
- Nyi R. Aleja,
- H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M).
- R. Dja'far,
- R. Komar,
- Nyi R. Demas,
- Nyi R. Permas,
- R. Husein,
Adapun H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri (1826-1849 M). Mempunyai putra-putri sebanyak 21 orang dari tiga istri, dari istri ke 1, 10 orang putra-putri, dari isteri ke 2, 8 orang putra-putri dan dari istri ke 3, 3 orang putra-putri. H Rd Muhammad Thohir / Auliya Thohir Al Bughuri itu keturunan BANGSAWAN PAJAJARAN, dan seorang cucunya yang bernama H. Rd. Adipati Aria Suriawinata / H. Rd. Muhammad Sirodz / Mbah Dalem Sholawat (Pun Jangga Wareng) / Bupati Bogor ke 11 jaman Hindia Belanda, Kantor Pemerintahan di Soeka Ati Empang Bogor (1849-1872 M), ahli wirid SHOLAWAT. Adapun H Rd Tumenggung Wiradinata, Ayah H Rd Muhammad Thohir itu, adalah dari jihat ayahnya, keturunan Pangeran Aria Wangsa Goparana, seorang bangsawan Pajajaran yang meninggalkan kedudukannya yang tinggi karena memeluk agama 'Islam' Pangeran inilah yang menurunkan keluarga Aria Wiratanu (Dalam cikundul) dan Wiratanudatar."
Dalam bukunya, De Haan menulis : "WlRANATA (Wiradinata) ditunjuk sebagai pengganti Martawangsa. Menurut catatan, Bupati yang baru ini "Sudah Tua"; dalam daftar bupati Tjandjoer tertulis bahwa ia adalah saudara lelaki dari (Bupati yang) terbunuh pada tahun 1726 (Dalem Dicondre), dan Paman dari Bupati Tjiandjoer yang meerintah pada tahun 1727 - 1761 (RAA. Wiratanudatar IV/Ki Sabiruddin), sedangkan catatan 10 Desember 1751 diketahui bahwa ia, selain Kepala Kampongbaru, juga Patih dari Tjiandjoer (dan jika demikian Trah Tjiandjoer sedang bersaing dengan Trah Banten). Ini menjelaskan mengapa kedua kabupaten ini sekarang semakin dianggap sebagai satu kesatuan, setidaknya ini menyangkut budaya. The Staml. menyebut Bupati ini: Aria Wiriadinata, menurut laporan Freijer tanggal 22 Mei 1755 menyebutkan dia sebagai "Radeen Tua Wiera", dan itulah yang disebutnya dalam surat 26 Juni 1753"
H Rd Tumenggung Wiradinata, pada sebagian masa pemerintahannya berdomisili di Kampung Baru, tepatnya di Kampung Sukaraja (menurut catatan, pindah ke kampung Sukahati/Empang pada tahun 1754). Dikampung inilah kelak keturunannya terjadi perkawinan silang antara keturunan Trah Cianjur, Trah Banten, Trah Diponegoro, Trah Sumedang, Trah Karawang, Trah Sukapura, Trah Arab dan Trah China yang kesemuanya menetap di Kampung Baru yang berubah nama menjadi Buitenzorg dan Bogor.5
Титуле : од 1758, Bupati Bogor ke 7
Титуле : 28 јануар 1727, Pelantikan Bupati Cianjur IV (1727).
Титуле : 13 јануар 1728, Mendapatkan Gelar ARIA WIRAMANGGALA
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV
Adalah bupati Cianjur keempat yang memerintah pada tahun 1727 s.d. 1761
Kehidupan Awal
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV nama aslinya adalah Raden Sabirudin. Penetapan Raden Sabirudin sebagai regent VOC ditetapkan pada tanggal 27 Juli 1726. Namun pengangkatannya dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 1727. [1]
Regent Cianjur
Raden Sabirudin diangkat oleh VOC sebagai regent dengan gelar Raden Aria Wira Tanu IV. Namun karena Raden Aria Wira Tanu III sebelumnya telah mengajukan gelar Pangeran Aria Adipati Amangkurat di Datar. Maka VOC kemudian menganugerahkan gelar Adipati dan penambahan Datar bagi Raden Sabirudin. Sehingga Raden Sabirudin lebih dikenal dengan nama Raden Adipati Wira Tanu Datar IV.
Wira Tanu Datar IV memerintah dengan sangat baik dengan dibantu oleh seorang patih yang bernama Wira Nata yang juga merupakan seorang umbul di Jampang. Jabatan Patih Cianjur tetap dipegang oleh Wira Nata meskipun ia telah diangkat sebagai bupati Kampung Baru (Bogor sekarang).
Kematian[sunting | sunting sumber]
Raden Adipati Wira Tanu Datar IV meninggal pada tahun 1761 dengan meninggalkan 11 putra. Putra pertamanya adalah Raden Muhyidin yang menjadi penerusnya sebagai Raden Adipati Wira Tanu V.[1]Dalam buku Dr. F. DE HAAN, 1910, 139-40 : "Blijkens zijn testament (Levier 28 Jan. 1757 no.18659) had hij drie zoons: Wiradiredja, Natadiredja en Natapraja, waarvan de laatste minderjarig. Van deze drie werd de middelste, Natadiredja, tegelijk met de benoeming zijns vaders tot Regent, aangesteld tot diens Patih. Deze zoon sluit onder den naam „Tommogon Nata Diraidja, woonende tot Buijtenzorg".
Menurut surat wasiat (Levier 28 Januari 1757 no.18659) ia (RA. Wiradinata) memiliki tiga orang putra, yaitu : 1). Wiradiredja, 2). Natadiredja dan 3). si bungsu Natapraja. Dari ketiganya, yang tengah, Natadiredja, bersamaan dengan pengangkatan ayahnya sebagai Bupati, ia diangkat menjadi Patih-nya, dengan gelar "Tumenggung Natadiredja"
Sedangkan kalau mengutip Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"Raden Haji Muhammad Tohir, yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, Uyut Kampung Baru Bogor; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: R. Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- R. Aria Wiratanudatar II,
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Adapun R. Aria Wiratanudatar II (Dalem Tarikolot) mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanudatar III (Dalem Dicondre),
- R.Tmg.Wirdinata (Dalem Kampung Baru Sukaraja),
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
R.Tmg. WIRADINATA (Dalem Kampung Baru Sukaraja I) mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja (Dalem Sukaraja)
- Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja,
- Nyi R. Gandanegara
ASAL-OESOEL NAMA BOGOR
"Eene acte van 7 April 1752 (Van Girssen) vermeldt Raden Nata Drieja „hoofd van de negorij Campong Baroe en Nga biraxa (lees: Ngabehi Raksa) Tjandra, hoofd van de negorij Bogor, nevens Wangsa Tjandra, mandor van eerstgenoemde negorij”. (Dalam akte Van Girssen tertanggal 7 April 1752 disebutkan bahwa Raden Nata Drieja sebagai "kepala Kampung Baru" dan Ngabehi Raksa Tjandra, Kepala kampung/negeri Bogor, sementara Wangsa Tjandra, adalah mantan mandor kampung (Bogor)").
Catatan diatas, dikutip dari buku karangan Frederik De Haan, 1910 yang berjudul "PRIANGAN De Preanger Regentschappen Onder Het Nederlandsch Bestuur tot 1811". Sedangkan F. De Haan juga mengutip dari referensi pengarang lainnya seperti Freijers, Erfbrief, Riesz, dll). Dari catatan tersebut dapat dianalisa bahwa Kampung Bogor terbentuk setelah Kampung Baru (Buitenzorg) dibuka oleh Tanoedjiwa (1689-1705), dan Van Imhoff menyatukan perkampungan (sembilan perdikan) yang ada di “wilayah Pakuan” dan wilayah Istana Peristirahatan Gubernur dalam satu kesatuan administratif yang diberinya nama Buitenzorg, yang berarti “beyond care” atau “outside care”. Penyatuan sembilan perdikan dan Istana Peristirahatan Gubernur Jendral dalam satu wilayah itu terjadi pada tahun 1746. Nama Buitenzorg resmi dipakai sejak saat itu. Meski demikian, dalam sebuah catatan administratif resmi bertanggal 7 April 1752 (sepeninggal van Imhoff – 1750), muncul nama Bogor yang menunjuk kepada wilayah Buitenzorg di luar istana.
Pada 7 April 1752 ketika Ngabehi Raksatjandra menjadi kepala kampung BOGOR, Kampung Baru pusat kotanya masih berada didaerah Parung Angsana (Tanah Baru sekarang), sedangkan Kampung Bogor pada tahun 1752 terletak di seberang Kampung Baranangsiang yang berdiri sejak 1704 (Danasasmita, 1983:87) berdekatan dengan Pasar Bogor.
Masalah nomenklatur "Bogor" berasal dari kata "Bokor" Kawung (Aren/Enau) cukup beralasan, mengingat kampung Bogor yang letaknya di seberang Kampung Baranangsiang, lokasi sekarang adalah area kebun raya Bogor sekitar sungai Ciliwung, dimana dulunya di lokasi ini banyak tumbuh pohon Kawung atau Enau atau Aren. Tanaman Aren/Enau lebih menyukai tempat dengan ketinggian 500-1.200 m (Lutony, 1993) dan bila dibudidayakan pada tempat-tempat dengan ketinggian 500-700 m dpl. akan memberikan hasil yang memuaskan (Soeseno, 1992). Kondisi tanah yang cukup sarang atau bisa meneruskan kelebihan air, seperti tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah yang berpasir disekitar tepian sungai merupakan lahan yang ideal untuk pertumbuhan aren. Suhu lingkungan yang terbaik rata-rata 25 derajat Celcius dengan curah hujan setiap tahun rata-rata 1.200 mm
Sementara itu, penamaan "Buitenzorg" hanya digunakan pada daerah inti sekitar Istana (Peristirahatan Gubernur Van Imhof), akan tetapi dengan penyatuan 9 distrik di bawah Buitenzorg akhirnya dapat diketahui perbedaannya dengan penamaan "Bogor" yang hanya di sebut "negorij / negeri / kota" dengan kata lain Bogor disini adalah "Kota Bogor", dan Buitenzorg adalah "Kabupaten Bogor".
Siapakah Ngabehi Raksatjandra dan Raden Nata Diredja?
Menurut Reisz dalam bukunya "Geschiedenis van Buitenzorg, 1864, 1884" disebutkan bahwa RA. Wiradinata mempunyai 5 orang anak yaitu :
- Rd. Wiradiredja
- Rd. Natadiredja
- Nyi Rd. Gandanagara
- Ngabehi Raksatjandra
- Rd. Wangsatjandra.
Sedangkan De Haan menyanggahnya, dianggap salah dan tidak berdasar. Dia hanya menyebut 3 nama, yaitu:
- Rd. Wiradiredja
- Rd. Pandji (berubah nama menjadi Rd. Natadiredja, setelah diangkat menjadi patih ayahnya RA. Wiradinata)
- Nyi Rd. Gandanagara (yang menikah dengan RT. Nanatagara putra Dalem Aria Wiratanu III alias Dalem dicondre)
Terlepas dari yang mana yang paling benar, yang pasti adalah RA. Wiradinata pada saat diangkat menjadi Regent Kampung Baru (Bogor), pihak VOC memberikan syarat dan kriteria, antara lain :
- Keturunan Ningrat;
- Membayar biaya konsesi;
- Memiliki pekerja/penduduk;
- Berwibawa atau disegani rakyatnya.
- kriteria lainnya sesuai kebutuhan
Титуле : од 22 јун 1761, Bupati Bogor ke 8
Catatan VOC
- Aug. 25, 1769 De Aria van Tjikalon Radeeng Nata Nagara word den titul van Temangong gehonoreert, 25 Augustus 1769. file 1049, folios 1077-1101 Batavia en Batavias Ressort
- Feb. 23, 1759 De Regent van Inkarta Nagara of Isikalong in de Bovenlanden Aria Wangsa Coesoema genaamt, om zijn onvermogen ontslagen en Aria Nata Nagara onder beding daartoe weder benoemd, 23 Februari 1759. file 1023, folios 39-58 Bovenlanden
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.

Dikutip dari Buku "Ringkasan Sejarah Walisongo, KHR. Abdullah bin Noch, hal 28-29", penulis percaya dengan buku ini karena Abdullah bin Noch juga keturunan dari RT. Wiradierdja melalu RA. Wiramanggala kakaknya RH. Muhammad Tohir (Aulia Kampung Baru). Setelah menjelaskan secara rinci mengenai sejarah dan silsilah Walisongo, pada halaman 28-29 juga memasukkan Silsilah Keluarga Dalem Cikundul yang memang masih terhubung dengan Silsilah Walisongo.
"Raden Haji Muhammad Tohir, yang oleh anak cucunya dipanggil dengan sebutan, Uyut Kampung Baru Bogor; wafat pada tahun 1849 Masehi; seorang Ulama ahli taqwa dan ibadah. Adapun silsilah/nasabnya begini: R. Aria Wiratanudatar I (Dalem Cikundul mempunyai putra-putri sebanyak 15 orang terdiri dari :
- R. Suriakencana,
- Nyi. R. Endang Kencana,
- Nyi R. Rarancang Kencana,
- R. Badagalbidigil Ariawirasajagat,
- R. Aria Wiratanudatar II,
- R. Aria Natamanggala,
- R. Aria Wiramanggala,
- Nyi R. Karanggan,
- R. Aria Surawangsa,
- R. Aria Tirtayuda
- Nyi R. Kaluntar,
- R. Aria Martayuda,
- Nyi R. Bogem,
- Nyi R. Jenggot,
- Nyi R. Kara.
Adapun R. Aria Wiratanudatar II (Dalem Tarikolot) mempunyai putra-putri sebanyak 7 orang, terdiri dari :
- R. Aria Astramanggala Wiratanudatar III (Dalem Dicondre),
- R.Tmg.Wirdinata (Dalem Kampung Baru Sukaraja),
- R. Sutamanggala,
- R. Sutadinata,
- R. Suramanggala,
- Nyi R. Purbanagara,
- Nyi R. Paseliran
R.Tmg. WIRADINATA (Dalem Kampung Baru Sukaraja I) mempunyai putra-putri sebanyak 3 orang terdiri dari :
- R.Tmg. Wiradireja (Dalem Sukaraja)
- R. Tmg. Panji alias R.Tmg. Natadireja,
- Nyi R. Gandanegara
R. Tmg. Wiradireja mempunyai putra-putri sebanyak 14 orang terdiri dari :
- R. Abdul,
- R. Brajamanggala,
- R. Tanjung Anom,
- Nyi R. Satmakara,
- Nyi R. Entang,
- R. Wiramanggala (Leluhur Abdullah bin Nuh),
- Nyi R. Bonggang,
- Nyi R. Aleja,
- R. Haji Muhammad TOHIR alias Uyut Kampung Baru,
- R. Dja'far,
- R. Komar,
- Nyi R. Demas,
- Nyi R. Permas,
- R. Husein,
Adapun R.H. Muhammad Tohir alias Uyut Kampung Baru mempunyai putra-putri sebanyak 21 orang dari tiga istri, dari istri ke 1, 10 orang putra-putri, dari isteri ke 2, 8 orang putra-putri dan dari istri ke 3, 3 orang putra-putri. R.H.M. TOHIR alia'Uyut Kampung Baru itu keturunan BANGSAWAN PAJAJARAN, dan seorang cucunya yang bernama R. Haji Muhammad Sirod SURIAWINATA terkenal dengan sebutan DALEM SHOLAWAT' beliau seorang Bupati (Bogo) ahli wirid SOLAWAT, menjadi Bupati di Bogor, wafat th. 1879. Adapun Raden Wiradinata, Ayah R.H. Muh. Tohir itu, adalah dari jihat ayahnya, keturunan Pangeran Aria Wangsa Goparana, seorang bangsawan Pajajaran yang meninggalkan kedudukannya yang tinggi karena memeluk agama 'Islam' Pangeran inilah yang menurunkan keluarga Aria Wiratanudatar (Dalam cikundul) *)
Menurut Buku F. De Haan, dalam (PRIANGAN, hal ....), Nyi Rd. Gandanagara adalah saudara perempuan RT. Wiradiredja, menikah dengan RT. Natanagara (Aria Natanagara, die blijkens eene acte Garrisson 29 Dec. 1761 no. 9092 gehuwd was met Wiradiredja’s te Buitenzorg wonende zuster Gandanagara), sedangkan dalam buku yang sama De Haan menyebutkan bahwa RA. Wiradinata mempunyai 3 orang putra yaitu 1) RT Wiradiredja, 2) R. Pandji/Natadiredja dan 3) R. Natapraja.
Sedangkan kalau menurut Riesz dalam (History of Buitenzorg, halaman 11), bahwa Ngabey Raksa Tjandra dan Wangsa Tjandra juga putra RA Wiradinata, walaupun keterangan Riesz ini dibantah oleh De Haan dan dinyatakan tidak benar.6
721/6 <50> ♂ 2. R. Brajamanggala [Wiratanudatar]
Raden Adipati Wira Tanu Datar V
Raden Adipati Wira Tanu Datar V adalah bupati kelima Cianjur (regent keempat VOC di Cianjur)
Kehidupan Awal
Nama asli Wira Tanu Datar V adalah Raden Muhyidin. Ia merupakan anak pertama Adipati Wira Tanu Datar IV. Ia naik tahta ketika ayahnya meninggal dunia
Regent Cianjur Tidak terlalu banyak catatan mengenai masa pemerintahannya sebagai regent. Karena Cianjur saat itu ada dalam kategori tenang karena jasa-jasa Wira Tanu III yang telah menanamkan pengaruh Cianjur di mata Belanda. Masa pemerintahannya ditandai dengan majunya Pencak Silat. Bahkan salah satu aliran silat terkenal yaitu Kari Madi berkembang saat masa pemerintahan Wira Tanu Datar V.
Kematian
Wira Tanu Datar V meninggal pada tahun 1776 dan dimakamkan di Pasarean Agung kota Cianjur. Ia meninggalkan 17 putra
Keturunan
Dalem Muhidin (Wiratanu V) PUPUTRA:17
- Dalem Aria Enoh (Wiratanu VI)
- Nyi Rd. Tanjungnagara
- Nyi Rd. Bentang
- Rd. Wiramanggala
- R.A. Wastireja
- Nyi Rd. Purba
- Nyi Rd. Emul
- R.A. Jayanagara
- Rd. Tisnadilaga
- Rd. Natadigja
- Rd. Ardikusuman
- Nyi Rd. Kandran
- Nyi. Rd. Siti Murtala
- Nyi. Rd. Hamsyah
- Rd. Natadireja
- Rd. H. Muhyidin (R.Natapraja)
- Rd. Purantareja
Свадба: <1> ♀ 5. Ratu Syarifah [Kasultanan Banten] b. 1725проц
Професија : 13 април 1826, Aulia / Penghulu Kampung Baru (Buitenzorg/Bogor)
Сахрана: 1849, Empang, Bogor
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.

7
Титуле : од 1776, Bupati Cianjur VI (1776 - 1813), Bupati Cianjur terakhir bergelar Wira Tanu Datar, Regent terakhir VOC. Kepatihan Sukabumi terbentuk pada masa pemerintahannya
Raden Adipati Wira Tanu Datar VI (1776–1813 )
Kehidupan Awal Nama asli Wira Tanu Datar VI adalah Wiranagara. Ketika kecil ia bernama Raden Enoh. Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Wira Tanu Datar V sebagai regent ketika ayahnya meninggal pada tahun 1776.[1]
Regent Cianjur Keadaan pemerintahan pada masa Wira Tanu Datar VI sangat lancar, kebun kopi di Cianjur sangat bagus dan sawah semakin luas. Wira Tanu Datar VI merupakan salah satu regent yang memerintah sangat lama yaitu sekitar 37 tahun. Ia pun regent sepuh yang paling dihormati oleh regent-regent yang lain di Priangan. Hal ini terjadi karena banyak regent yang lain pernah menjadi bawahannya ketika menjadi Umbul atau Cutak. Salah satu contohnya adalah Pangeran Kornel, regent Sumedang yang ketika muda nya pernah menjadi Cutak bawahan Wira Tanu Datar VI.[1]
Pembentukan Kepatihan Tjikole Di awal masa pemerintahannya, Wira Tanu Datar VI membentuk sebuah Kepatihan bernama Kepatihan Tjikole yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Sukabumi saat ini. Kepatihan ini berpusat di Tjikole (sekarang bagian dari Kota Sukabumi).
Masalah Suksesi Wira Tanu Datar VI adalah keturunan Wira Tanu terakhir yang memerintah Cianjur. Hal ini terjadi karena tidak ada anaknya yang dapat dijadikan regent. Beberapa kejadian yang menyebabkan hal ini adalah :
Raden Prawiranagara Raden Prawiranagara adalah anak laki-laki pertama Wira Tanu Datar VI. Ketika patih Mangkupraja berhenti dari jabatannya ia dijadikan patih Cianjur dengan gelar Demang. Berikutnya ia merangkap jabatan sebagai Cutak Jampang. Prawiranagara terkenal kejam dan bengis pada rakyat. Banyak yang sakit hati dan tidak suka padanya. Sifatnya ini kurang disukai oleh residen Priangan. Prawiranagara pernah dibujuk untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini ternyata salah satu taktik untuk mengucilkan dirinya dari jabatan regent. Karena kejadian ini ia akhirnya minta berhenti dari jabatan patih dan cutak.
Lima tahun kemudian, ia ditunjuk kembali jadi cutak Cikalong dan Cibalagung. Ketika jadi cutak ini ia meminta gelar Aria sehingga ia dikenal dengan nama Aria Cikalong. Meskipun jabatannya hanya cutak Cikalong dan Cibalagung. Tapi sebenarnya ialah yang menjalankan pemerintahan di Cianjur layaknya seorang bupati. Ia kemudian diangkat kembali jadi patih pada tanggal 18 Februari 1809. Karena jasanya memperbaiki kebun kopi di Cikalong, ia pernah diusulkan menjadi bupati Buitenzorg tapi tidak disetujui oleh Belanda. Ayahnya berusaha agar ia diangkat bupati di Cibalagung namun tetap tidak berhasil. Akhirnya ia berhenti dari patih dan diganti oleh Wiradireja. [1]
Raden Natanagara Raden Natanagara adalah putra laki-laki kedua dari Wra Tanu Datar VI. Ia terkenal humoris, senang main-main dan melawak. Ketika kakaknya berhenti ia meminta gelar Demang. Pada tanggal 20 Januari 1807 ia dilantik sebagai Cutak Jampang dengan Gelar Demang. Karena hal ini pun ia dianggap tidak bisa diangkat sebagai regent [1]
Kematian Adipati Wira Tanu Datar VI meninggal pada tahun 1813 yang meninggalkan masalah suksesi
Penyelesaian Masalah Suksesi Karena kedua putra Wira Tanu VI diatas dianggap tidak pantas menjadi seorang regent, maka Residen Macquoid menyatakan bahwa regent selanjutnya bukan dari anak Wira Tanu Datar VI namun berasal dari saudaranya. Sebenarnya ada anak Wira Tanu VI yang tidak bermasalah, yaitu Raden Abas namun usianya masih 4 tahun. Raden Abas kemudian diurus oleh Surianagara, regent Sumedang (Pangeran Kornel).[1]
Untuk menyelesaikan masalah suksesi, Macquoid akhirnya mengangkat patih Wiradireja sebagai regent Cianjur. Wiradireja sendiri adalah anak dari Nyi Raden Tanjungnagara yang merupakan adik Wira Tanu Datar VI. Ayahnya adalah Aria Mangkupraja yang merupakan cucu dari Wira Tanu Datar IV. Jadi secara silsilah pengganti Wira Tanu Datar VI yaitu Wiradireja adalah keponakanny sendiri[1]Титуле : од 1796, Bupati Bogor ke 11
Сахрана: Karawang
Свадба: <2> ♂ 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4. Dalem Raden Soerialaga II / Raden Tumenggung Suryalaga II (Dalem Taloen) [Sumedang Larang] b. 1764изр
Свадба: <3> ♂ 1.1.1.4.1.6.1.1. Pangeran Kornel / Adipati Surianagara III (Kusumadinata IX) [Sumedang Larang] b. 1762изр
Титуле : 1 септембар 1815, Adipati
Професија : од 1 новембар 1815, Bupati Bogor
Титуле : од 1 новембар 1837, Bupati Lebak (Rangkasbitung) ke 2
Садржај |
SILSILAH RINGKAS dan PROFIL RA. KARTANAGARA
RADEN ADIPATI KARTANEGARA / KARTANATA NAGARA bin R.H. MUH TOHIR (Aulia Kampung Baru/Bogor)bin RA. Wiradiredja (Regent Bogor) bin RA. Wiradinata (Regent Bogor) bin Dalem Wiratanu II (Regent Tjiandjur ke II), Tarikolot Cianjur
RA. KARTANATANAGARA lahir dari pasangan Raden Haji Tohir, Penghulu Buitenzorg 1826-1849, buyut Raden Aria Wiramangala (Wiratanu II) dan Nyi Hj. Ratu Syarifah puteri bungsu Pangeran Sogiri bin Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten : 1651-1683). Ia lahir dan dibesarkan di Soekahati (Empang) Bogor bersama dengan 19 kakak beradik lainnya diantaranya adalah RA. Wiranata/Dalem Sepuh Bogor Bupati Buitenzorg 1815-1849, RH. Puradiredja, Demang Tjibinong (1841-1858), RTmg. Sastranegara, Bupati Purwakarta 1849-1854, RA. Prawiranata, Aria Patjet.
Ia dibesarkan keluarga dengan didikan agama Islam yang taat dan adat istiadat ningrat Sunda Pajajaran yang santun. Ia hidup bersama keluarga besar ningrat Cianjur (Wiratanu II) dan ningrat Banten (Pangeran Sogiri) yang menjadi pemimpin di wilayah bekas kerajaan Pajajaran yang bernama Kampung Baru alias Buitenzorg alias Bogor.
KARIER & PRESTASI
Raden Tumenggung (RT) Adipati Kartanata Nagara adalah Bupati Lebak kedua. Kartanata Nagara menjabat tahun 1830 hingga 1865. Sebelum menjadi bupati, pada 1829 Kartanata Nagara menjabat Demang di Jasinga, Kabupaten Bogor. Saat menjadi Demang, Kartanata Nagara mengalahkan pasukan Nyimas Gamparan yang menurut versi Pemerintah Hindia Belanda merupakan pengacau keamanan. Saat itu, pasukan Nyimas Gamparan mau masuk Lebak melalui jalur Cikande, Serang. Usaha Nyimas Gamparan berhasil dihadang oleh Kartanata Nagara. Berawal dari keberhasilan mengalahkan Nyimas Gamparan akhirnya Pemerintah Hindia Belanda menganugerahi Kartanata untuk menjadi Bupati Lebak menggantikan Pangeran Senjaya di tahun 1830. Menurut cerita dari keturunan ke lima Kartanata Nagara, Raden Sari Wulan Kartanata Nagara, yang ditemui Radar Banten, Selasa (19/8), di kediamannya, Kartanata adalah bupati pertama yang membuka Rangkasbitung menjadi wilayah permukiman. Agar pusat pemerintahan Lebak dekat dengan karesidenan Banten di Serang, Kartanata membangun pendopo di daerah setempat. “Saat itu, Rangkasbitung adalah sebuah hutan belantara. Di tengah hutan belantara terdapat sekumpulan pohon bambu bitung liar dikelilingi rawa yang luas. Setelah daerah tersebut ditempati Kartanata Nagara, banyak warga yang turut bermukim di daerah tersebut,” ujar Sari Wulan yang menetap di Jalan Jalan Sunan Giri, Kampung Pasir Sukarayat, Kelurahaan Muara Ciujung Timur, Kecamatan Rangkasbitung. Menurut Sari Wulan, Kartanata Nagara menaruh perhatian besar terhadap kehidupan rakyat. Saat melihat rakyat mengalami kesusahan, Kartanata Nagara segera membantu. “Yang saya tahu, buyut saya itu (Kartanata Nagara, red) sangat dekat dengan rakyat,” ujarnya. Memasuki 1856 saat Kartanata Nagara masih menjadi bupati, Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist menunjuk Edward Douwes Deker (Multatuli) sebagai Asisten Residen di Lebak. Menurut sumber yang didapatkan Radar Banten dari Iman Solehudin (cucu tiri) Raden Sari Wulan Kartanata Nagara, serta Hikmat Syadeli Budayawan Lebak, saat itu sempat terjadi kesalahpahaman antara Kartanata Nagara dan Multatuli. Kesalahpahaman dipicu saat Bupati Kartanata Nagara kedatangan tamu Bupati Cianjur, Jawa Barat. Untuk menjamu tamu, Kartanata Nagara memerintahkan rakyat gotong royong membersihkan lingkungan pendopo dan jalan setapak yang akan dilalui rombongan Bupati Cianjur. “Perintah gotong royong diartikan oleh Multatuli sebagai kerja paksa. Akhirnya Kartanata Nagara dilaporkan ke Residen Brest Van Kempen. Namun tuduhan kerja paksa tidak terbukti sehingga Kartanata Nagara tidak disanksi,” kata Iman yang diamini Hikmat. Lebak di bawah kepemimpinan Kartanata Nagara mengalami kemajuan. Meski sudah berbuat banyak untuk Lebak, namun nama Kartanata Nagara seperti dilupakan. (day/dilengkapi dari berbagai sumber)
DEWAN KOTA BANTAM 1836 (Almanak 1836)
DEWAN KOTA BANTAM 1865 (Almanak 1865)
Putra Dalem Sabiruddin (Wiratanu IV) yang No. 2 (Ny. R. Mojanagara) PUPUTRA:
Rd. Aria Mangkupraja, nikah ka: Ny. R. Tanjungnagara (Putra Wiratanu V, rai Wiratanu VI) Puputra:4
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.

8
1.1.1.4.1.6.1.1 Pangeran Kornel Soerianagara III KOESOEMADINATA, IX (Rd Aom, Rd Djamoe) 1.1.1.4.1.6.1.1X1 NR. Lenggang Kusumah ., 1.1.1.4.1.6.1.1.1 Dlm. Adipati Adiwidjaja . 1.1.1.4.1.6.1.1.2 Dlm. Adipati Ageung KOESOEMAJOEDA 1.1.1.4.1.6.1.1.3 RA. Radjaningrat . 1.1.1.4.1.6.1.1X2 NR. Tjandra Nagara ..1.1.1.4.1.6.1.1.4 RA. Radjanagara .
1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3 Dlm. Tmg. Sindangradja SOERIADILAGA III 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.1 NR. Tedjamirah SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.2 RA. Perbatamirah SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.3 Rd. Tisnakoesoemah SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.4 Rd. Hasan SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.5 Rd. Brangtanagara SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.6 Rd. Padmanagara SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.7 NR. Modjanagara SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.8 Rd. Soerialogawa SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.9 NR. Domas Atisah SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.10 Rd. Wangsanagara SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.11 NR. Moertihawa SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.12 NR. Soekaeni SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.13 Rd. Hambali Soeriadiningrat SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.14 Rd. Dmg. Soemadilaga SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.15 Rd. Adikoesoemah SOERIADILAGA . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.16 NR. Nawangsih SOERIADILAGA .1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.3.17 NR. Rasimah SOERIADILAGA .
Свадба: <7> ♀ Nyi. Ampina [Tan]
Сахрана: Puncak Manik Salak I, 2211m DPL, Gunung Salak Bogor
Di bawah ini, adalah data primer yang Saya peroleh dari kerabat langsung dari keturunan RD TIRTA LOGAWA, yang berputra 4 orang yaitu 1. NY Rd. Aisyah/Ating; 2. RD Suria; 3. NY Rd Tata; 4. NY Rd Tati, didalam silsilah dicatat bahwa keempat nama tersebut merupakan PUTU IBU DJERO BOGOR. Siapakah IBU DJERO BOGOR?. Ibu Djero alias Nyi Raden Radjapermas PUTRI Nyi Raden Siti Fatimah / Ratu Mantria (Citeureup) binti Tubagus Muhammad Kamil bin Ratubagus Badaruddin Suryapringga bin Pangeran Sake / Raden Syafruddin Shoheh bin Sultan Ageng Tirtayasa / Sayyid Abdul Fattah Azhmatkhan al-Husaini (Pangeran Ratu) Banten. Ny Rd. Radjapermas menikah dengan Rd. SASTRANEGARA bin Rd. MUH. Thohir (Aulia Kampung Baru/Bogor akhir abad 18), bin RA Wiradirdja bin RA Wiradinata bin RA Wiramanggala (Raden Aria Wiratanu II).
Tujuan dari penulisan ini adalah agar para pihak yang terkait dengan tulisan ini, dapat berinteraksi langsung maupun tidak langsung baik untuk koreksi, klarifikasi maupun saran yang baik, agar silsilah ini lebih disempurnakan lagi dikemudian hari. Tujuan akhir yang diinginkan adalah menghilangkan istilah "PAREUMEUN OBOR" dan silaturahmi antar keluarga semakin guyub.
Sumber : 1. Catetan M.A. Suwandanata; 2. Catetan Silsilah Mas Nur; 3. Penyusun : Sudrajat Majaita (8 Juni 2022)
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan komunikasi dengan nara sumber saudara SUDRAJAT MAJAITA, melalui nomor : +6285890598377 dengan Rd. RAMASAKTI TIRTA LOGAWA, Terimakasih.

Титуле : Bogor, Patih Bogor
Професија : 20 мај 1822, Tjamat Tjiomas
Титуле : 1830, Bogor, Hoofd Djaksa
Смрт: 1857, Pasirkuda, Bogor
Berita R. Rangga Tjandra Manggala
Makam R. Rangga Tjandra Manggala
1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.4 Patih Rangga Candramenggala . 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.4X NR. Sarimantri .. 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4.4.1 RTA. Suradimenggala
Свадба:
Професија : 20 јануар 1807, Cutak Jampang (Gelar Demang)
Професија : од 1813, Bupati Bogor Ke 14
- Raden Natanagara adalah putra laki-laki kedua dari Wra Tanu Datar VI. Ia terkenal humoris, senang main-main dan melawak. Ketika kakaknya berhenti ia meminta gelar Demang. Pada tanggal 20 Januari 1807 ia dilantik sebagai Cutak Jampang dengan Gelar Demang. Karena hal ini pun ia dianggap tidak bisa diangkat sebagai regent
- Catatan kaki dalam buku karya Bastian John (Sastrawan Inggris) yang berjudul "Sir Stamford Raffles And Some Of His Friends And Contemporaries", halaman 188 disebutkan bahwa : Setelah Wiratanudatar VI (Dalem Noch) meninggal dunia, suksesi jabatan Bupati Cianjur tidak dilanjutkan oleh puteranya, melainkan oleh keponakannya yaitu Tumenggung Wiradiredja/Prawiradiredja pada 18 April 1813.
- Alasan singkat Gubernur Jenderal Raffles adalah :
- putera ke 1 (RA. Wiranagara, kurang cakap);
- putera ke 2 (RA. Natanagara alias Rd. Moh Tobri, karena Seorang Haji/Ulama dengan kata lain dianggap tidak mampu memerintah);
- putera ke 3 (RA. Surianata Kusumah alias Raden Abas, karena masih kecil)
Pencipta dari aliran Cimande adalah Abah Kahir (ada yang mengatakan Abah Sakir, Abah Khaer dan lain lain). Pencak silat aliran Cimande sering disebut juga dengan nama Maenpo Cimande. Kata Maenpo berasal dari kata maen poho (bahasa sunda), yang berasal dari kata maen dan poho (lupa), yang dapat diartikan sebagai menipu gerakan. Karena itu kemudian dipersingkat menjadi maenpo.. Ia diyakini berasal dari daerah Tatar sunda selatan (Garut, Tasikmalaya atau Cianjur Selatan). Ia belajar beladiri justru dari istrinya yang ahli dalam beladiri. Istrinya diceritakan selain mempunyai keahlian dalam beladiri juga menyaksikan pertarungan antara Harimau (Macan dalam bahasa sunda) dan 2 ekor Monyet. Salah seekor monyet membawa ranting dalam melawan harimau tersebut. Sedang yang satunya bertangan kosong. Dari peristiwa ini Sang Istri kemudian menciptakan jurus pamacan, pamonyet dan pepedangan yang merupakan salah satu jurus andalan dari aliran ini.
Karena kehebatannya dalam beladiri, Abah Kahir kemudian dijadikan pamuk (guru beladiri) dilingkungan kabupatian oleh Bupati Cianjur yang bernama Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813) atau dikemudian hari dikenal dengan nama Dalem Enoh. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 4 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri), Nyi Rd. Meumeut dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut).
Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena dialah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang menciptakan aliran baru yang hebat. Setelah Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), meninggal. Pada tahun 1815 M Abah Kahir pergi ke Bogor mengikuti anak sang bupati Cianjur tersebut, Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah dia tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande hingga meninggal pada tahun 1825 M (dalam usia yang tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak Endut, Ocod, Otang, Komar dan Oyot. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu dia bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Tatar Sunda. Sementara di Bogor, salah seorang muridnya yang bernama Ace yang meninggal di Tarikolot, yang hingga kini keturunannya menjadi sesepuh pencaksilat Cimande Tarikolot Kebon Jeruk Hilir.
Abah Kahir pernah datang ke Sumedang di era Pangeran Kornel. Oleh penulis buku Pangeran Kornel, Rd Memed Sastradiprawira, Abah Kahir digambarkan sebagai selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga dia selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika dia ngibing di atas panggung penampilannya sangat ekspresif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika ngibing (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang (Nincak kana kendang suatu istilah sunda).Титуле : Bupati Garut Ke III (1833 - 1871)
Rd. Abas (Dalem Garut Sepuh) PUPUTRA:13
- Dalem Dipati Aria Wiratanudatar VIII (Dalem Garut)
- Rd. Jayadiningrat
- Nyi Rd. Lenggang
- Nyi Rd. Mojanagara (Dalem Istri Lebak)
- Rd. Surianingrat
- Nyi Rd. Rajapermas
- Nyi Rd. Rajaputri
- Nyi Rd. Rajanagara
- Nyi Rd. Rajakusumah (Rajaretna)
- Rd. Prawiranagara
- Nyi Rd. Rajaningrum
- Rd. Wijayakusumah
- Rd. Suryalaga
Raden Abas / Dalem Adipati Aria Surianata Kusumah / Tumenggung Jayaningrat yang biasa disebut Wiratanudatar VII ( Bupati Limbangan Garut 1833 -1871 M ) adalah putra bungsu dari Dalem Adipati Aria Wiratanudatar VI ( Dalem Aria Enoch ) . Ketika Dalem Adipati Aria Wiratanudatar VI ( Dalem Aria Enoh ) wafat pada tahun 1813 M,usia Raden Abas baru 4 tahun . Pada tahun 1813 M, Rd.Abas dibawa ke Sumedang dan dibesarkan oleh Raden Jamu /Pangeran Kornel / Adipati Surianagara III / Pangeran Kusumahdinata IX ( 1791-1828 ) putra bupati Sumedang yang bernama Raden Adipati Surianagara II (1761 1765) ,bahkan setelah dewasa Raden Jayaningrat atau Raden Abas ditikahkan dengan cucunya yakni dengan Nyi Raden Purnama putra Aria Jayanagara / Tumenggung Kusumah Ningrat / Tumenggung Kusumadinata / Dalem Adipati Kusumahdinata X / Dalem Alit ( Bupati Limbangan Garut 1831-1833 / Bupati Sumedang 1833 -1834 ) bin Dalem Adipati Adiwijaya bin Pangeran Kornel.
Kemudian Raden Jayaningrat / Raden Abas / Dalem Adipati Aria Surianatakusumah / Wiratanudatar VII ( Bupati Limbangan Garut 1833 -1871 M ) menikah dengan Nyi Rd. Mantria putra Rd.Dirapraja bin Rd. Raja Manggala bin Rd. Raja Pangaras ( keturunan Dalem Aria Wirayuda Cipicung ).dan dikaruniai dua orang putra dan dua orang putri diantaranya :
- Raden Jenon atau DAA Wiratanudatar VIII, Bupati Limbangan Garut terakhir atau Bupati Garut pertama ( 1871-1915 M).
- Raden Jayadiningrat ( Wedana Wanaraja ), Beliau adalah kakek Dr.Rd.Bayuningrat, penyusun Buku Kabhupatian I Bhumi Limbangan, Garut, Sumedang dan Cianjur.
- Nyi. Rd. Omi / Ny. R. Mojanagara, Beliau adalah isteri Bupati Lebak ( putri ke 9 ). Nyi Rd.Alkiyah / Nyi. R. Rajakusumah ( Nyi.Rd. Rajaretna )
Ny.Rd. Alkiyah / Ny. R. Rajakusumah ( Nyi.Rd.Rajaretna) menikah dengan Rd. Surianata Legawa ( Patih Sukabumi ) putra Rd. H. Muhammad Musa ( Hoofz Penghulu Garut ), maka melahirkan beberapa orang putra, diantaranya : - Rd. Suriakartalegawa I ( Bupati Garut ) - Rd. Surianataatmaja ( Rd.Abas ) ( Bupati Cianjur ke 14 ).
Dari hasil pernikahannya dengan Nyi Raden Purnama putra Aria Jayanagara, Rd. Abas mempunyai lima putri dan empat putra , diantaranya :
(putri ke 3 ). Ny. R. Lenggang (putra ke 5 ). Raden Surianingrat (putri ke 6 ). Ny. R. Rajapermas (putri ke 7 ). Ny. R. Rajaputri (putri ke 8 ). Ny. R. Rajanagara ( putra ke 10 ). Raden Prawiranagara ( putri ke 11 ). Ny. R. Rajaningrum ( putra ke 12 ). Raden Wijayakusumah ( putra ke 13 ). Raden Suryalaga
Jadi jumlah keseluruhan putra-putrinya 13 orang , 6 putra dan 7 putri…….dan Gelar yang dipakai Raden Abas yaitu Adipati Suria Nata Kusumah ( menginduk gelar ke sumedang ), dan tidak memakai gelar Wira Tanu Datar ( tidak menginduk ke cianjur ).
Ia meninggal pada tahun 1871 M , dan dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut.
SEBAB RD. ABAS DIPELIHARA DAN DIBESARKAN OLEH PANGERAN KORNEL KARENA MENGINGAT JASA AYAH-NYA
SEKILAS BIOGRAFI PANGERAN KORNEL /ADIPATI SURIANAGARA III
=========================================================
Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surianagara II (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu/ Pangeran Kornel dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Dalem Adipati Aria Wiratanudatar VI ( Dalem Aria Enoh ) dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Dalem Adipati Aria Wiratanudatar VI ( Dalem Aria Enoh ) memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Dalem Adipati Aria Wiratanudatar VI ( Dalem Aria Enoh ) diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).
MERTUA RADEN ARIA ADIPATI SURIANATAKUSUMAH (RADEN ABAS)
=========================================================
Tumenggung Adiwijaya I (1813 – 1831 ) adalah Bupati Limbangan Garut yang sebelumnya beliau adalah sebagai Bupati Parakanmuncang ( 1806 – 1813 ).Pada bulan Agustus 1831, Raden Adipati Adiwijaya I setelah selesai meresmikan pabrik dan kebon nila di Panyeredan dan Bantar Payung di tengah perjalanan menuju ke kota Garut terserang penyakit sampai wafatnya. Beliau dimakamkan di Kampung Cipeujeuh Sanding Kec. Garut Kota. Oleh karena itulah beliau terkenal dengan sebutan Dalem Cipeujeuh.
=====================
Didahului oleh Raden Aria Wiratanu VI Bupati Limbangan Bupati Limbangan- Garut 1833 -1871 M Dilanjutkan: Raden Aria Wiratanu VIII Di GarutR. Tumenggung Wiranagara di Cianjur
Титуле : од 1813, Bupati Cianjur VII (1813 – 1833), Keponakan Wira Tanu Datar VI, cucu Wira Tanu Datar V, Regent pertama Hindia Belanda, (Dalem Sepuh Kaum)
- Bupati Cianjur ke-7
- Masa jabatan 1813–1833
- Didahului oleh : R.A. Wira Tanu Datar VI
- Digantikan oleh : R. Tumenggung Wiranagara
- Lahir : Cianjur
- Meninggal : Cianjur
- Profesi : Bangsawan
- Agama : Islam
Raden Aria Adipati Prawiradireja I adalah bupati Cianjur ketujuh dan regent Cianjur keenam. Ia merupakan regent pertama Hindia Belanda setelah dibubarkannya VOC.
Kehidupan Awal Nama asli R.A.A Prawiradireja I adalah Raden Wiradireja. Ia adalah keponakan Raden Adipati Wira Tanu Datar VI, yaitu anak dari adik wanitanya yang bernama Tanjungnagara. Sebelum diangkat regent Cianjur ia menjabat sebagai patih Cianjur.
Pengangkatan Sebagai Regent Pada tahun 1813 Aria Wiranagara putra pertama Raden Adipati Wira Tanu VI -terkenal dengan sebutan Aria Cikalong- yang ketika itu menjabat patih Cianjur, merasa bahwa dirinya tidak mungkin dapat menggantikan ayahnya menjadi regent Cianjur. Hal ini karena ia tidak disukai oleh Belanda karena sifatnya yang kejam dan pemarah. Ia kemudian mengundurkan diri sebagai patih Cianjur. Jabatan patih kemudian diteruskan oleh adik sepupunya (keponakan Wira Tanu Datar VI) yaitu Wiranagara.
Tak lama setelah kejadian itu, Wira Tanu Datar VI sakit parah. Residen Priangan kemudian menyampaikan surat guna menanyakan siapakah yang akan menjadi penggantinya. Wira Tanu Datar VI kemudian mencalonkan dua orang, yaitu Patih Cianjur (Wiranagara) dan Regent Buitenzorg. Tiga bulan setelah itu Wira Tanu Datar VI meninggal. Sesepuh Cianjur ketika itu yaitu Raden H. Jayanagara, Raden Muhammad Husen (Penghulu Cianjur). Raden H. Natanagara, Raden Aria Wasitareja dan sekretaris yang bernama Prisje, mengadakan musyawarah yang keputusannya yaitu mengusulkan Raden Wiradireja yang ketika itu menjabat patih untuk diangkat sebagai regent Cianjur kepada Pemerintahan Batavia. Hal ini senada dengan Residen Macquoid yang juga mengusulkan patih Cianjur sebagai regent. Sedangkan regent Buitenzorg yaitu Wira Nata tidak disetujui oleh Residen.
Ia diangkat sebagai regent pada tanggal 18 April 1813 dan dalam akta tanggal itu juga ia meminta gelar Tumenggung Wiradireja. Menurut akta 1 Maret 1816, ia dianugerahi gelar Adipati. Gelar resminya adalah Raden Aria Adipati.
Regent Cianjur Masa pemerintahannya sebagai regent ada beberapa kejadian penting yang terjadi yaitu :
Bubarnya VOC Sebenarnya bubarnya VOC terjadi sebelum masa pemerintahan Prawiradireja I, ketika Cianjur dibawah pemerintahan Wira Tanu Datar VI. Ini menjadikan Prawiradireja I sebagai regent pertama masa pemerintahan Hindia Belanda.[1]
Masa Raffles 1811-1816 Pada masa Prawiradeireja I terjadi perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, yaitu dengan berkuasanya Inggris. Ketika itu Inggris mengutus Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. Namun masa pemerintahan Raffles tidak lama karena Inggris kembali menyerahkan Hindia Belanda pada Kerajaan Belanda.[1]
Kepatihan Soekaboemi Pada masa pemerintahannya, terjadi perubahan nama untuk Kepatihan Tjikole yang dibentuk oleh Bupati sebelumnya, menjadi Kepatihan Soekaboemi pada tanggal 13 Januari 1815. Kepatihan ini merupakan pendahulu dari Kabupaten Sukabumi saat ini.
Masa Tua dan Kematian
Prawiradireja I memerintah selama 20 tahun. Ia tidak memerintah sampai akhir hayatnya, karena pada tahun 1833 ia turun tahta dan digantikan anaknya yaitu Raden Tumenggung Wiranagara. Setelah turun tahta ia tidak tinggal di pendopo tapi pindah ke dekat Mesjid Agung Cianjur. Setelah turun tahta ia disebut Dalem Sepuh. Prawiradireja meninggal pada tahun 1834Свадба: <9> ♀ Nyi Salamah [Singaperbangsa]
Титуле : од 1820, Wanayasa, Bupati Karawang X
Смрт: 1828, Nusa Situ Wanayasa, Purwakarta
Raden Adipati Suryanata Menikah dengan Nyi Salamah, putrid Aria Sastradipura, (Bupati Karawang ke- 9). Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Suryanata, kantor dipindahkan dari Karawang ke Wanayasa (Purwakarta). Raden Adipati Suryanata wafat pada tahun 182 dimakamkan di Nusa Situ
Wanayasa, Purwakarta.Титуле : од 1849, Bupati Bogor Ke 16 (1849-1864)
Смрт: 13 мај 1872, Mekah
H. Rd. Adipati Aria Suriawinata / H. Rd. Muhammad Sirodz / Mbah Dalem Sholawat, putra H. Rd. Adipati Aria Wiranata / Mbah Dalem Seupuh Bogor, (adik H. Rd. Adipati Surianata Bupati Karawang yang memerintah tahun 1821-1828). Pada
awal masa pemerintahan beliau, pusat pemerintahan masih di Wanayasa, selama 2 tahun, dan pada
tahun 1830, pusat Pemerintahan dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih serta menamakan
daerah tersebut Purwakarta. Purwa artinya permulaan dan Karta, sama dengan Ramai atau hidup,
dengan demikian nama Purwakarta baru dikenal pada masa pemerintahan H. Rd. Adipati Aria Suriawinata.
Pada tahun 1849 H. Rd. Adipati Aria Suriawinata dialihtugaskan menjadi Bupati Bogor hingga wafat tahun
Титуле : од 27 јун 1865, Hoofd Demang & Hoofd Djaksa Buitenzorg
Титуле : од 27 март 1866, Hoofd Demang Buitenzorg (Bogor)
Садржај |
RIWAYAT KELUARGA
Raden Aria Mangkoewidjaja ialah putra pertama dari Raden Aria Soetawidjaja (Hoofd Djaksa Buitenzorg 1840-1841) dengan Ibu NYI Rd. HABIBAH (Putr1 ke 13 Raden Haji Muhammad Tohir, Aulia Kampung Baru, saudara kandung dengan R.Tmg. Kartananagara dan saudara sepupu RA. Wiranata (Bupati Kmpung Baru/Bogor). Menurut catatan keluarga, Kakeknya yang bernama Pangeran Muhammad Thahir adalah putra ke 3 dari Sultan Haji / Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar, Sultan Banten ke 7 (1683-1687). RA. Mangkoewidjaja lahir dan dibesarkan dikeluarga ningrat Banten dan Cianjur (Cikundul) yang tinggal di kawasan Empang (Dalem Empang) bersama-sama dangan RA Wiranata.
SILSILAH RINGKAS
RADEN ARIA DEMANG MANGKOEWIDJAJA bin Raden Aria Soetawidjaja bin Pangeran Muhammad Thahir (R.T. PRAWIRO KOESOEMO) bin Sultan Haji / Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar (Sultan Ke 7 Kesultanan Banten), mempunyai adik kandung 12 orang, yaitu : 1. R. Kartawidjaja/H. Iljas (Demang Jasinga/Wadana), 2. R. Bratawidjaja/Baing Brata (Ass. Demang Parung); 3. R. Dmg. Mangunkusumah (Demang Tjibarusah; 4. R. Kartawidjaja (Gabug); 5. RH. Daud (Eyang R. Muh. Idrus-Enis); 6. RH. Kusumahwidjaja; 7. R. Sintawidjaja (Eyang Endeh Patimah); 8. Nji R. Tjeneng; 9. Nji R. Bahra (Gabug); 10. Nji R. Hadidjah; 11. Nji R. Eulis; 12. R. Demang Mauk
KARIER
Berdasarkan Almanak_van_Nederlandsch_Indië_voor_het tahun 1854 s/d tahun 1876, Karier Raden Aria Mangkoewidjaja adalah sebagai berikut :
- 1854-1866 Hoofd Djaksa pada Afdelling Buitenzorg, dibawah Regent RADEAN ADIPATTIE SOERIA WIENATTA (1849-1869);
- 1865-1866 Menjadi Hoofd Demang & Hoofd Djaksa Buitenzorg
- 1866-1870 Menjadi Hoofd Demang Buitenzorg
SILSILAH KETURUNAN
Raden Aria Mangkoewidjaja menikah dengan 4 orang istri, isteri pertama NYI MAS WARTA (Kaum Bogor) memiliki putra 3 orang :
- NYI Raden Kuraesin
- NYI Raden Suhaemi
- NYI Raden Hudaya
Isteri ke 2 bernama NYI Raden SARODJA, dikarunia putra :
- NYI Raden Titi Marijam
- NYI Raden Eno Patmah
- Raden Hadji Sjafi'i (Penghulu Bogor)
- NYI Raden Eulis Aminah
- NYI Raden Enon Hadjar
- Raden Hadji Iskandar/Enduk
- Raden Hadji Sulaeman
Isteri ke 3 bernama NYI Rd ENUR binti Raden Kartanagara memiliki putra 1 orang :
- Raden Hadji Ahmad/Emod
Isteri ke 4 bernama NYI Raden ANTAMIRAH binti Raden Tumenggung Tjandramanggala, berputra :
- Raden Hadji Muhammad Hasan
- Raden Sodiq
- Raden Atang
Semasa berkarier sebagai Djaksa dan Demang Boepati Buitenzorg, Raden Aria Mangkoewidjaja menetap di Buitenzorg (kota Bogor sekarang), keturunannya banyak tersebar di daerah Bondongan, Layungsari, Lolongok, Empang dan Pantjasan, dimakamkan di Pemakaman Empang
(Sumber : Sajarah Bogor, Memed Sunardi, 1966, berdasarkan Catatan Raden Jusuf Wiranata Nagara)
Сахрана: Belakang Masjid Agung Purwakarta
![Masjid Agung Purwakarta Sumber : [1]](http://rodvoid.org/thumb/c/cc/MA-Purwakarta.jpg/300px-MA-Purwakarta.jpg)
SYEKH YUSUF alias KH. Rd YUSUF alias BAING YUSUF ULAMA BESAR BESAR PURWAKARTA ASAL BOGOR
Beliau adalah guru dari ulama besar yang mendunia Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan sosok intelektual dan ulama terkenal bertaraf internasional, yang juga sempat menjadi Imam Masjidil Haram yang juga penulis 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis, Syekh Yusuf juga termasuk laskar Pangeran Diponegoro, dilahirkan di Bogor ketika ayahandanya Raden Aria Djajanagara menjabat Bupati di Bogor kurang lebih tahun 1796-1801 M, kemudian ayahandanya dipindah tugaskan ke Karawang. Syekh Yusuf usia 6 tahun sudah paham bahasa arab, usia 12 tahun hafiz Alquran, usia 13 tahun mukim di Mekah selama 11 tahun, menuntut ilmu, beliau berlayar sampai madagaskar bersama para pelaut.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat yang masih juga keturunan Dalem Aria Wiratanudatar, tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2, sindang kasih kemudian diganti menjadi Purwakarta purwa= awal, karta = kesejahteraan, Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Karesidenan, Pendopo, Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing, Syekh Yusuf mendirikan mesjid yang sekarang menjadi mesjid kaum.
Tanggal 8 – 9 Mei 1832 terjadi perang Makau di Purwakarta yaitu pemberontakan etnis cina dari Makau terhadap kolonial Belanda.Syekh Yusuf tinggal di Purwakarta, menyebarkan agama Islam, sampai wafat 1854 ? /(1856) dimakamkan di Kaum, Purwakarta. R Aria Jayanegara adalah saudara ipar dari Raden Adipati Suryalaga II (Raden Ema) dari Sumedang yang merupakan saudara Pangeran Kornel, Adipati Suryalaga menjabat bupati di Bogor kemudian dipindahkan ke Karawang, dimana istri Adipati Suryalaga II bernama Nyi Raden Hamsyiah adalah adik dari R Aria Jayanegara. Artinya Nyi Raden Hamsyiah adalah bibi dari KH R Yusuf Purwakarta (Baing Yusuf).
Sampai sekarang makamnya sering diziarahi ratusan peziarah, dan makamnya tidak pernah sepi dari peziarah yang umumnya dari luar Purwakarta Adapun nasabnya adalah KH R Yusuf bin R Jayanegara bin Aria Wiratanudatar V bin Aria Wiratanudatar IV bin Aria Wiratanudatar III bin Aria Wiratanudatar II bin Aria Wiratanudatar I bin Aria Wangsagoparana.
Syaikh Baing Yusuf Kecil
Dari buku sejarah singkat disebutkan bahwa Syaikh Baing Yusuf semasa kecil sudah memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandingkan anak seusiannya. Pada usia 7 tahun Syaikh Baing Yusuf kecil diketahui sudah memahami bahasa Arab, dan 5 tahun berikutnya diusia 12 tahun Syaikh Baing Yusuf kecil sudah mampu menghafal Al-Qur’an setahun kemudian mempelajari agama Islam di Makkah tanah kelahiran Nabi Muhammad Salallahu alaihi wassalam.
Sesuai dengan informasi dari pengurus masjid, RH Sanusi AS mengatakan, Baing Yusuf berasal dari Bogor dan lahir pada 1700-an. Ia datang ke Purwakarta sekitar tahun 1820-an saat pusat pemerintahan Karawang berada di Wanayasa. Dahulu, ada kabar kalau Baing Yusuf disebut-sebut masih keturunan Raja Kerajaan Padjajaran. "Sekitar 1826, Baing Yusuf mulai mendirikan masjid (saat ini mesjid agung) sebagai tempat syiar Islam. Saat itu, tempatnya (masih berupa) hutan karena pusat pemerintahan masih berada di Wanayasa," ujar Sanusi di kediamannya, Jalan Mr Kusumaatmaja Purwakarta, Rabu (31/5/2017). Kata dia, ketika itu kondisi masyarakat masih sedikit yang memeluk agama Islam. Karena itu, Baing Yusuf mendirikan masjid sebagai tempat kajian Islam.