Dear Rodovidians, please, help us cover the costs of Rodovid.org web hosting until the end of 2025.
Raden Patah Adipati Jinbun / Sultan Bintoro Demak I [Bra.5.13] (Lembu Kenogo / Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama) b. 1455 d. 1518 - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Свадба: <1> ♀ 11.1.5. Raden Siti Murtasimah / Asyiqah [Ampel]
Свадба: <2> ♀ Puteri Bupati Jipang Panolan [Jipang]
Свадба: <3> ♀ Putri Dari Randu Sanga [Randu Sanga]
Титуле : од 1475, Raja Demak Ke 1 (1500-1518), "Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun"
Смрт: 1518, Demak
* Patah (władca (panembahan senapati dżimbun) Demaku (Bintoro) pod zwierzchnością Majapahitu na terenie Jawy Środkowej 1478/1500-1490/1511) * Sabrang Lor (1490/1511-1495/1518) * Junus (1518-1521; zrzucił zwierzność Majapahitu 1520) [syn Pataha] * Trengganu (sułtan 1521-1539) [brat] * Prawata (1539/46) [syn] * Pangiri (władca (arja) 1547) [syn] * Penengsan (uzurpator 1547-?) * Karebet (władca (pangeran) ?-1582) [zięć]* Mataram podbija Demak 1582
2
31/2 <1+1> ♂ Pangeran Sabrang Lor / Dipati Unus (Raden Surya) [Brawijaya V]Смрт: 1521
Титуле : до 1546, Demak, Sultan Demak III bergelar Sultan Alam Akbar III
Смрт: 1548
Свадба: <5> ♂ 5.1.1.1. Maulana Sayyid Fathahillah / Pangeran Jayakarta I (Pangeran Pasai) [Pasai]
Свадба: <6> ♂ 4.1.1.3. Pangeran Mochammad Arifin (Pangeran Pasarean) [Sunan Gunung Djati II] b. 1495
3
Свадба: <8> ♂ Sultan Hadiwidjoyo / Joko Tingkir (Mas Karebet) [Pengging] d. 1582
Свадба: <9> ♂ Kanjeng Sultan Hadiwijaya / Sultan Hadiwijoyo (Mas Karebet) [Pajang] d. 1582проц
Свадба: <9!> ♂ Kanjeng Sultan Hadiwijaya / Sultan Hadiwijoyo (Mas Karebet) [Pajang] d. 1582проц
Свадба: <10> ♂ Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
Свадба: <10!> ♂ Kyai Ageng Lang / Pangeran Langgar [Raden Trenggono]
Arya Mataram adalah adik tiri Arya Penangsang Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. ''Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.'' Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.
Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.
Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.Свадба: <11> ♂ Pangeran Kalinyamat / Pangeran Toyib / Pangeran Tanduran / Tjie Bin Tang [Sultan Mughayat Syah] d. 1549
Титуле : од 10 април 1527, Jepara, Kanjeng Ratu Kalinyamat
Смрт: 1579, Jepara, Dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan.
Смрт: 1549, Demak
Raden Mukmin Semasa Muda Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.
Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah, sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.
Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata.
Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.
[sunting] Pemerintahan Sunan Prawoto Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah. Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja.
Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar. Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan, misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak mampu menghalanginya.
[sunting] Kematian Sunan Prawoto Selain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.
Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.
Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen. Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni.
Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.
Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri, yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.
Pada tahun itu pula, 1549 Aryo Penangsang berhasil dibunuh oleh Danag Sutawijaya atas siasat cerdas Ki Juru Martani.
[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik Cina Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming. Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah).
Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku.
Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-pang (alias Arya Penangsang).
Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.Професија : од 18 јул 1568, Bupati Madiun Ke 1, Hari jadi Kabupaten Madiun
Kegigihan dan Kebijakan
Pangeran Timoer yang kemudian hari diangkat menjadi Bupati Purabaya pada tanggal 18 Juli 1568 dan mengakhiri pemerintahan Pengawasan Kasultanan Demak di Purabaya di bawah Kyai Rekso Gati (SaGaten), kemudian membuka dan mewarnai Sejarah Awal Kabupaten Madiun, sebagai Bupati yang Pertama (ke-1) Madiun dengan masa jabatan antara tahun 1568 sampai 1586.
Beberapa tahun setelah diangkat menjadi Bupati Purabaya, sekitar tahun 1575, Pangeran Timoer melaksanakan gagasan untuk memindahkan Pusat Pemerintahan dari bagian Utara ke Selatan, yang sekarang berada di Desa Kuncen.
Pemindahan Pusat Pemerintahan itu dilakukan dengan beberapa alasan, pertama Pangeran Timoer ingin mempunyai tempat kedudukan yang baru sebagai satu peringatan atas dimulainya kekuasaannya sebagai seorang Bupati Purabaya di samping kedudukannya sebagai Wedana Bupati di Mancanegoro Timur bagian dari Kasulatanan Demak. Kedua, pemindahan tempat itu juga dilandasi satu anggapan bahwa temapt yang lama sebelumnya bukan sebagai pusat pemerintahan. Tetapi hanya sebagai tempat “pengawasan”.
Alasan lain atas pemindahan itu adalah bahwa menurut pengamatan tempat yang baru ternyata mempunyai fasilitas penunjang yang lebih baik dibanding daerah atau tempat yang lama. Fasilitas penunjang yang dianggap akan lebih banyak menjamin, karena letak desa yang mengelilingi satu dengan yang lain berdekatan. Hal itu menjamin pula untuk memberikan satu kekuatan, dukungan serta perlindungan terhadap adanya ketahanan wilayah.
Tempat yang kemudian dipilih sebagai pusat pemerintahan merupakan satu daerah yang diapit muara sungai Gondang dan sungai Catur yang sangat besar artinya dalam satu kepentingan strategis serta kepentingan sosial ekonomi, karena kedua sungai itu merupakan jalan simpang lalu lintas besar kali Madiun.
Disamping itu, daerah baru ini merupakan daerah dataran kering yang dalam keadaan demikian berpengaruh sekali terhadap kegiatan seluruh masyarakat dan Pemerintahan secara keseluruhan.
Keadaan sosial ekonomi di daerah selatan ini dirasa juga lebih baik dan lebih penting dibanding dengan daerah utarra. Demikian juga mekanisme keseluruhan pola kegiatan pemerintahan meliputi wilayah Kabuparten Purabaya secara utuh.
Sementara itu perang antara Pajang dengan Mataram yang berakhir dengan runtuhnya Pajang sekitar tahun 1586 menyebabkan putusnya hubungan formalitas antara Kabupaten Purabaya dengan Pajang.
Tetapi bukan berarti Kabupaten Purabaya “tunduk” terhadap pemerintahan Mataram. Pangeran Timoer yang kemudian hari juga dikenal sebagai Panembahan Rama menyatakan Purabaya sebagai kabupaten yang berdiri “bebas” dan tidak ada ikatan hierarkis dengan Mataram yang sudah mengalahkan Pajang. Dan ....”Purabaya adalah ahli waris dari tahta kerajaan Pajang”.
Pendirian yang keras dari Panembahan Rama ini ternyata mendapat dukungan dari beberapa Bupati Mancanegoro Timur. Akibatnya sudah cukup diperhitungkan oleh Panembahan Rama dan timbullah kemudian bentrokan yang tidak dapat dihindari lagi antara Mataram dengan Purabaya.
Pihak Mataram kemudian berusaha untuk mendudukan Purabaya dan menfgirimkan pasukannya untuk menggempur Purabaya yang dilakukan pertama kali pada tahun 1586. Setahun berikutnya di tahun 1587 pasukan Mataram juga dikirimkan untuk menggempur Purabaya. Tetapi dua kali serangan pasukan Mataram ke Purabaya ini mengalami kegagalan dan dapat dipatahkan di bagian sebelah barat kali Madiun. Kekalahan itu menjadikan Mataram lebih cermat dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan berikutnya.Silsilah Menurut Serat Kanda, Ayah dari Arya Penangsang adalah Raden Kikin atau sering disebut sebagai Pangeran Sekar, putra Raden Patah raja pertama Kesultanan Demak. Ibu Raden Kikin adalah putri bupati Jipang sehingga ia bisa mewarisi kedudukan kakeknya. Selain itu Arya Penangsang juga memiliki saudara lain ibu bernama Arya Mataram.
Pada tahun 1521 anak pertama Raden Patah yang bernama Adipati Kudus (orang Portugis menyebutnya Pate Unus, dikenal juga sebagai Pangeran Sabrang Lor karena melakukan penyerangan ke Malaka yang dikuasai Portugis) gugur dalam perang. Kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana, malah berebut takhta. Raden Mukmin atau yang disebut juga sebagai Sunan Prawoto (putra pertama Raden Trenggana) membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat di tepi sungai dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober yang dicurinya dari Sunan Kudus. Sejak itu, Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen ("Bunga yang gugur di sungai").
Sepeninggal ayahnya, Arya Penangsang menggantikan sebagai [[bupati Jipang Panolan]]. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun. Ia dibantu oleh salah satu senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati. Wilayah Jipang Panolan sendiri terletak di sekitar daerah Blora, Jawa Tengah.
Aksi pembunuhan Raden Trenggana naik takhta Demak sejak tahun 1521 bergelar Sultan Trenggana. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai sultan keempat bergelar Sunan Prawoto.
Pada tahun 1549 Arya Penangsang dengan dukungan gurunya, yaitu Sunan Kudus, membalas kematian Raden Kikin dengan mengirim utusan bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto dengan Keris Kyai Setan Kober. Rangkud sendiri tewas pula, saling bunuh dengan korbannya itu.
Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti kalau Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ia datang ke Kudus meminta pertanggungjawaban. Namun jawaban Sunan Kudus bahwa Sunan Prawoto mati karena karma membuat Ratu Kalinyamat kecewa.
Ratu Kalinyamat bersama suaminya pulang ke Jepara. Di tengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil lolos, sedangkan suaminya, yang bernama Pangeran Hadari, terbunuh.
Arya Penangsang kemudian mengirim empat orang utusan membunuh saingan beratnya, yaitu Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Pajang. Meskipun keempatnya dibekali keris pusaka Kyai Setan Kober, namun, mereka tetap dapat dikalahkan Hadiwijaya dan dipulangkan secara hormat.
[[Hadiwijaya ganti mendatangi Arya Penangsang untuk mengembalikan keris Kyai Setan Kober]]. Keduanya lalu terlibat pertengkaran dan didamaikan Sunan Kudus. Hadiwijaya kemudian pamit pulang, sedangkan Sunan Kudus menyuruh Penangsang berpuasa 40 hari untuk menghilangkan Tuah Rajah Kalacakra yang sebenarnya akan digunakan untuk menjebak Hadiwijaya tetapi malah mengenai Arya Penangsang sendiri pada waktu bertengkar dengan Hadiwijaya karena emosi Aryo Penangsang sendiri yang labil.
Sayembara Dalam perjalanan pulang ke Pajang, rombongan Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja tempat Ratu Kalinyamat bertapa. Ratu Kalinyamat mendesak Hadiwijaya agar segera menumpas Arya Penangsang. Ia,, yang mengaku sebagai pewaris takhta Sunan Prawoto, berjanji akan menyerahkan Demak dan Jepara jika Hadiwijaya menang.
Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak. Maka diumumkanlah sayembara, barangsiapa dapat membunuh bupati Jipang tersebut, akan memperoleh hadiah berupa tanah Pati dan Mataram.
Kedua kakak angkat Hadiwijaya, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi mendaftar sayembara. Hadiwijaya memberikan pasukan Pajang dan memberikan Tombak Kyai Plered untuk membantu karena anak angkatnya, yaitu Sutawijaya (putra kandung Ki Ageng Pemanahan ikut serta.
Kematian Ketika pasukan Pajang datang menyerang Jipang, Arya Penangsang sedang akan berbuka setelah keberhasilannya berpuasa 40 hari. Surat tantangan atas nama Hadiwijaya membuatnya tidak mampu menahan emosi. Apalagi surat tantangan itu dibawa oleh pekatik-nya (pemelihara kuda) yang sebelumnya sudah dipotong telinganya oleh Pemanahan dan Penjawi. Meskipun sudah disabarkan Arya Mataram, Penangsang tetap berangkat ke medan perang menaiki kuda jantan yang bernama Gagak Rimang.
Kuda Gagak Rimang dengan penuh nafsu mengejar Sutawijaya yang mengendarai kuda betina, melompati bengawan. Perang antara pasukan Pajang dan Jipang terjadi di dekat Bengawan Sore. Akibatnya perut Arya Penangsang robek terkena tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Meskipun demikian Penangsang tetap bertahan. Ususnya yang terburai dililitkannya pada gagang keris yang terselip di pinggang.
Penangsang berhasil meringkus Sutawijaya. Saat mencabut keris Setan Kober untuk membunuh Sutawijaya, usus Arya Penangsang terpotong sehingga menyebabkan kematiannya.
Dalam pertempuran itu Ki Matahun, patih Jipang, tewas pula, sedangkan Arya Mataram meloloskan diri. Sejak awal, Arya Mataram memang tidak pernah sependapat dengan kakaknya yang mudah marah itu.
Dampak [[budayaKisah kematian Arya Penangsang melahirkan tradisi baru dalam seni pakaian Jawa]], khususnya busana pengantin pria. Pangkal keris yang dipakai pengantin pria seringkali dihiasi untaian bunga mawar dan melati. Ini merupakan lambang pengingat supaya pengantin pria tidak berwatak pemarah dan ingin menang sendiri sebagaimana watak Arya Penangsang.Свадба: <12!> ♂ Pangeran Madepandan I [Madepandan I] , <13> ♂ Panembahan Redjowulan [Redjowulan]
4
Титуле : di Kalinyamat
Свадба: <20> ♂ Raden (Nama tdk tercatat) [Tidak tercatat]
Титуле : di Muryopodo
Титуле : di Tuban
Титуле : di Djapan, Panembahan Djapan II
Смрт: Butuh, Dimakamkan di Butuh - Kebumen
Други догађај: di Madiun
Титуле : di Madiun
Свадба: <21> ♂ Kanjeng Panembahan Senopati / Danang Sutawijaya (Raden Sutowijoyo) [Mataram] d. 1601
Свадба: <22> ♂ 9. Pangeran Singasari / Raden Santri [Mataram]
Свадба: <51!> ♀ Ratu Pembayun [Sultan Hadiwijaya]
Титуле : од 1570, Sultan Cirebon IV (1568-1649)
Професија : Cirebon, Sultan Cirebon III ( 1589 - 1649 )
Смрт: 1649, Cirebon
Титуле : од 1586, Pajang, Sultan Pajang II bergelar Sultan Prabuwijaya
Смрт: 1587, Pajang
Silsilah Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Kisah Hidup Pangeran Benawa Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang. Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
Akhir Kesultanan PajangNaskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.
Sepeninggal Benawa, Kesultanan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.Титуле : од 1583, Pajang, Sultan Pajang II bergelar Sultan Ngawantipura
[[Asal-Usul]] Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya.
Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
[sunting] Arya Pangiri Sebagai Bupati Demak Kerajaan Aceh mencatat Arya Pangiri sebagai seorang bupati yang mudah curiga. Pada tahun 1564 Sultan Ali Riayat Syah raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan Demak untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tapi Arya Pangiri justru membunuh utusan tersebut. Akhirnya pada tahun 1567 Aceh tetap menyerang Malaka tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal walaupun memakai meriam hadiah dari sultan Turki.
Arya Pangiri Merebut Pajang Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus.
Pemerintahan Arya Pangiri Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya.
Arya Pangiri melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
Kekalahan Arya Pangiri Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya di Mataram. Kedua saudara angkat itu berunding di desa Weru. Akhirnya diambilah keputusan untuk menyerbu Pajang.
Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhtanya. Perang terjadi di kota Pajang. Pasukan Arya Pangiri yang terdiri atas 300 orang Pajang, 2000 orang Demak, dan 400 orang seberang dapat ditaklukkan. Arya Pangiri sendiri tertangkap dan diampuni nyawanya atas permohonan Ratu Pembayun, istrinya.
Sutawijaya mengembalikan Arya Pangiri ke Demak, serta mengangkat Pangeran Benawa sebagai raja baru di Pajang.Свадба: <24> ♂ Kanjeng Panembahan Senapati /Danang Sutawijaya (Raden Bagus Sutawijaya) [Kesultanan Mataram] b. 1530изр d. 1601
Професија : од 1586, Bupati Madiun Ke 2
Kegagahan Panglima Perang Perempuan
Saat Mataram dibawah Sutowidjojo berusaha menundukkan Purabaya di tahun 1586 kepemimpinan Kabupaten Purabaya telah diserahkan dari tangan Pangeran Timoer yang juga Panembahan Rama kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.
Putri Purabaya yang ternyata cukup tangkas ini bukan saja mendapat limpahan kepemimpinan sebagai Bupati Purabaya ke II di tahun 1586, tetapi juga bertindak sebagai Panglima Perang dari Kabupaten Purabaya. Didukung oleh beberapa bupati di kawasan Mancanegoro, sekuranganya lima belas kabupaten di kawasan timur, panglima perang ini ternyata sanggup mematahkan kekuatan pasukan lawan yang tak lain Pasukan Mataram.
Mataram yang telah dua kali ggagal dalam serangannya ke Purabaya dengan cermat memperhitungkan kembali rencana serangan yang ketiga. Serangan Mataram ketiga kalinya ke Purabaya dilakukan pada tahun 1590. Taktik yang sudah diperhitungkan sebelumnya oleh Pasukan Mataram dengan serangan mendadak serta berhasil menyusup masuk pusat kota dan istana Wonorejo, yang saat itu hanya dipertahankan oleh Manggalaning Perang Raden Ayu Retno Djumilah. Pertempuran satu lawan satu tak dapat dihindarkan lagi antara Manggalaning Perang Purabaya Raden Ayu Retno Djumilah dengan pimpinan ppasukan Mataram yang tak lain adalah Sutowidjojo sendiri.
Manggalaning Perang Purabaya cukup gigih bertempur sebagai senjata andalan panglima perang ini berupa sebilah keris bernama “ Kyai Kala Gumarang”. Pusaka ini merupakan pusaka andalan kabupaten. Pertarungna antara dua pemimpin pasukan ini beerjalan cukup seru dan berlangsung di sebuah sendang tidak jauh dari istana Kabupaten Wonorejo.
Besarnya pasukan kerajaan Mataram memang sangat merepotkan pasukan Kabupaten Madiun yang jumlahnya terbatas. Dalam perang tanding itu, pusaka andalan Kyai Kala Gumarang berpindah tangan. Bersamaan dengan itu pula, Retno Djumilah berpikir bijaksana. Jika diteruskan, maka peperangan itu hanya akan melahirkan kematian dan menyisakan kebencian serta dendam yang tak pernah berhenti. Pikiran bijak itulah yang kemudian akhirnya diwujudkan dalam kompromi kedua belah pihak. Bahkan dalam perjalanan waktu selanjutnya, Retno Djumilah, Sang Panglima perang sekaligus Bupati Madiun ke Mataram. Wanita cerdas dan trengginas tersebut akhirnya dipersunting sebagai permaisuri Mataram.
Menandai berakhirnya peperangan, pada 16 Nopember 1590 digantilah Purabaya menjadi Madiun. Penggantian nama Purabaya menjadi Madiun terjadi pada: hari Jum’at legi, tanggal 16 Nopember 1950 M. Atau hari Jum’at Legi, tanggal 21 Suro Tahun Dal 1510 Jawa.
PERJUANGAN SANG PEREMPUAN
Raden Ayu Retno Djumilah, sosok perempuan yang cerdas dan trengginas. Sebagai putri seorang bupati, bukan hanya trengginas dalam olah kanuragan tetapi juga sebagai sosok perempuan pemimpin yang disegani. Putri Bupati Pangeran Timoer ini memang kemudian juga mengemban tugas sebagai bupati, setelah ayahanda menyelesaikan tugasnya.
Sejarah mencatat bahwa Retno Djumilah harus berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar, Kasultanan Mataram. Akibat jauhnya Demak, dan kemudian kekuasaan pindah ke Mataram, maka ada kebijakan dari Mataram yang menjadikan wilayah Demak berada dalam kekuasaannya.
Kabupatem Madiun memang menjadi sasaran utama untuk dikuasai Mataram. Ini terjadi karena memang posisi Kabupaten Madiun sangat strategis. Kabupaten Madiun dan Bupatinya, memang menjadi pemimpinan para bupati-bupati di wilayah brang wetan. Ada lima belas kabupaten yang pada waktu itu di bawaqh kendali Bupati Madiun.
Kebijakan Mataram yang menyatakan bahwa Kabupaten Madiun harus berada dalam kekuasaannya, sejak awal ditolak oleh Pangeran Timoer. Akibatnya, terjadilah serangan Mataram ke Madiun. Dua kali, tahun 1586 dan 1587, Mataram gagal menundukkan Madiun. Usaha Mataram tak berhenti, ketika masa kepemimpinan Sutowidjojo, pada tahun 1590 dilakukanlah serangan ke Madiun. Kala itu, yang Madiun dipimpin oleh Raden Ayu Retno Djumilah. Sebuah titik balikterjadi. Peperangan dan permusuhan itu akhirnya berhenti. Raden Ayu Retno Djumilah yang memimpin perlawanan tersebut, pada akhirnya menggambil inisiatif untuk berkompromi dengan situasi. Dia lebih memilih kepentingan masa depan, ketimbang mengorbankan rakyat untuk berperang. Keputusan penghentian peperangan ini tentunya menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam perjalanan waktu selanjutnya, Retno Djumilah justru mampu mengambil simpati Pangeran Sutowidjojo. Karena, kemudian Retno Djumilah dipersunting menjadi permaisuri oleh Pangeran Sutowidjojo. Perkawinan dengan pemimpin Mataram lebih dari sebuah hubungan pribadi, tetapi juga menempatkan Madiun secara terhormat dalam sejarah kerajaan jawa. Sebagai perempuan, dia amat hebat. Retno Djumilah bukan sekedar anak Bupati, tetapi juga tokoh pemimpin yang mampu memimpin sebuah pasukan perang. Dia juga yang berhasil menghentikan konflik yang sempat terjadi antara Mataram dan Madiun.
Untuk memberikan pemaknaan terhadap peran kepemimpinan perempuan yang luar biasa, Bupati Djunaedi Mahendra meprakarsai berdirinya sebuah patung di halaman masuk pendopo Kabupaten Madiun. Patung ini bukanlah patungnya Retno Djumilah, tetapi sebagai simbol atau penandaan bahwa kaum perempuan di Kabupaten Madiun sejak lama telah berada dalam kedudukan sejajar dengan kaum pria.Смрт: 1653, Putri Panembahan Ratu (Sultan Cirebon Ke 4 setelah Sunan Gunung Jati)
Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)
Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.
Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.
Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.
Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.
Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.Свадба: <90!> ♂ 4.1.1.3.1.1. Panembahan Ratu I / Pangeran Mas Zainul Arifin [Azmatkhan]
Свадба: <76!> ♂ Arya Pangiri / Sultan Ngawantipura [Demak]
5
1071/5 <78> ♀ Dyah Banowati / Kanjeng Ratu Mas Hadi [Pajang]Свадба: <29> ♂ 8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati / Raden Mas Jolang (Panembahan Seda ing Krapyak) [Kesultanan Mataram] d. 1613
Menurut tradisi Jawa, Pangeran Benawa adalah raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Prabuwijaya.
Садржај |
Silsilah Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Kisah Hidup Pangeran Benawa
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya.
Akhir Kerajaan Pajang
Naskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.
Sepeninggal Benawa, Kerajaan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.
Kepustakaan
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: KanisiusPurwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Титуле : di Nggurawan
Титуле : di Tuban
Други догађај: Title : di Tuban
Титуле : di Djapan
Титуле : Mataram, Bupati Penumping
Свадба: <30> ♂ Pangeran Mas Kudus [Mas Kudus]
Свадба: <31> ♂ Raden Adipati Sedayu [Sedayu]
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.[rujukan?]
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[rujukan?]Титуле : од 1595, Bupati Madiun Ke 5
Титуле : од 1601, Bupati Madiun Ke 6
25705 706867 Pada periode berikutnya setelah Raden Mas Djulig Pringgolojo menjadi Bupati Madiun selama tidak kurang dari 12 tahun Kabupaten Madiun berada di bawah pemerintahan Bupati yang bernama Raden Mas Bagus Djunina Petak alias Mangkunegoro I. Bupati ini mengawali masa jabatannya pada tahun 1601 dan berakhir tahun 1613.
Silsilah Versi http://silsilah-pangeran-haryo-juminah.blogspot.co.id/2011/08/silsilah-pangeran-juminah.html SILSILAH KANJENG PANGERAN HARYO JUMINAH(PUTRA SENOPATEN) SILSILAH KPH HARYO JUMINAH (PUTRA SENOPATEN)
KANJENG PANGERAN HARYO (KPH) JUMINAH adalah putra Paembahan Senopati RAJA Mataram dari isteri Ratu Retno Dumilah putra bupati madiun. Makamnya berada pada makam HASTONO GIRILOYO timur HASTONO IMOGIRI Bantul Daeral Istimewa Jogjakarta. Kalau ditarik dari Garis silsilah aayah dan ibu, akan bertemu pada Prabu Brawijoyo V Raja Majapahit terakhir. Satu makam dengan RATU MAS ADI ( Isteri SUSUHUNAN HANYOKROWATI ing Krapyak). Dari keturunan KPH Haryo Juminah ini, para bupati Kaliwungu tempo doelu hampir semuanya anak cucunya. Salah satu putera KPH Juminah adalah RM Ronggo Wongsoprono dimakamkan di HASTANA Kuntul ngelayang Komplek pemakaman PARA PANGGEDE (Pejabat tempo doelu) Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal Jawa Tengah. RM RONGGO Wongsoprono yang orang menganggapnya Pangeran Juminah Kaliwungu sebenarnya adalah putera pangeran Juminah Giriloyo. Berdampingan dengan makam RM RONGGO Hadimanggolo ke 1 Bupti Kaliwungu Pertama beserta Istri Bupati Kaliwungu pertama. 3 orang tersebut berada dalam satu cungkup (Gedung kecil) posisi ini berada di bagian Gedung Lor(Utara) di sekitarnya masih dalam Komplek Gedung Lor kecuali itu ada makam RT. RONODIWIRYO Bupati Batang tempo doeloe. Selanjutnya di bagian Gedung Tengah terdapat makam Bupati Kaliwungu ke II (RM Ronggo Hadi Manggolo II), RT Sumo Diwiryo II (Bupati Kaliwungu ke VII, RT. REKSO NAGORO (salah satu Bupati Semarang). Raden Ayu Reksonegoro dan Garwo (Ronggo/Bupati Anom Ungaran) Pada bagian Gedung Kidul (selatan) terdapat makam RM Ronggo Hadi Manggolo III (Bupati Kaliwungu ke III). RT Soemo Diwiryo ke-1 (Bupati Kaliwungu ke VI) RT Hadi Negoro II Bupati Demak, RT Hadi Negoro III Bupati Demak, RT Kromo Manduro Bupati Kaliwungu ke-5.
PANEMBAHAN SENOPATI BERPUTERA DIANTARANYA :
1. PANGERAN JUMINAH. (makamnya di Hastana Giriloyo Bantul Jogyakarta) berputera diantaranya : 1.1 RM. Ronggo Wongsoprono (KY Ageng Lempuyang, Makamnya di Gedong Lor satu cungkup dengan makam Bupati Kaliwungu Pertama, sedangkan sebelahnya adalah Makam Istri Bupati Kaliwungu Pertama 1.2 Pangeran Haryo Balitar 1.3 R. Ayu Sarifah Mertokusumo (guru ngaji Jepara) 1.4 R. Ay. Sontodirdjo 1.5 R. Ay. Wonoboyo 1.6 R. Ayu Kadjoran 1.7 RM. Surolojo
1.1 RM Ronggowongso Prono Berputra diantaranya : 1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo I (Bupati Kaliwungu Pertama) makamnya menyatu dengan RM Ronggowongso Prono dan isteri Bupati Kaliwungu pertama). Sekarang sudah dibangun cungkup (Gedung) oleh pemerintah Kabupaten Kendal.
1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo I berputera diantaranya : 1.1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo II (Bupati Kaliwungu ke II) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo III (Bupati Kaliwungu ke III, pecah perang di Tlogohaji Gubug) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1 RT Ronggo Hadimanggolo IV (Hadinegoro Sepuh) Bupati Kaliwungu ke IV pernah menjabat Bupati Batang, menantu Adipati citrosomo Bupati Jepara. Berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.1 RT Suro Hadiningrat (Kyai Kromo Manduro) Bupati Kaliwungu ke V 1.1.1.1.1.1.2 RT Sumo Diwiryo I (Bupati Kaliwungu ke VI) 1.1.1.1.1.1.3 RT Ronodiwiryo Bupati Batang
1.1.1.1.1.1.2 RT Sumo Diwiryo I (Bupati Kaliwungu ke VI) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.1 R. Ayu Mertokusumo menantu Bupati Kendal 1.1.1.1.1.1.2.2 RT. Sumo Diwiryo II (Bupati Kaliwungu ke VII) 1.1.1.1.1.1.2.3 Kyai Hadipati Hadinegoro Bupati Kaliwungu ke VIII, kemudian pindah menjadi Bupati Demak berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.1 R.A.A. Adinegoro Bupati Demak (Tahun 1839) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.1.1 R. Ngabei Hastronagoro Wedono Ungaran berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.1.1.1 R. Ayu Darmi (R. Ayu Hastrodilogo) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.1.2 R. Sudardjo
1.1.1.1.1.1.2.3.1.2 R. Ngabei Wiryo Wijoyo (Bekti) berputera diantaranya : 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.1 R. Hadiwidjojo (Sutik) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.2 R. Nganten Surodipuro (Isteri Mas Surodipuro Grogol) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.3 R. Nganten Haji abdul Majit (pabrik tahu Kauman Semarang) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.4 R. Tjitrokumoro 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.5 R. Hadi Sumelang
1.1.1.1.1.1.2.3.2 R. Ayu Purbokusumo 1.1.1.1.1.1.2.3.3 R. Ayu Prawirokusumo 1.1.1.1.1.1.2.3.4 R. Ayu Adipati Mangkudipuro II Bupati Juwana (Isteri ke-1 Adipati Mangkudipuro)
1.1.1.1.1.1.2.3.5 Isteri ke-2 R. Adipati Mangkudipuro II Bupati Juwana berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.5.1 R. Ngabei Prawirodipuro Wedono Ngerang 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2 R. Ayu Ronggowiratmojo berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.1 R. Notowiratmejo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.2 R. Mertokusumo Fiskal Pati 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.3 R. Ngabei Surowinoto Wedono Juwana
1.1.1.1.1.1.2.3.5.3 R. Ayu Hardjokusumo Isteri Fiskal Pati 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4 R. Ngabei Wirjodipuro Kolektor Juwana berputera diantaranya : 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1. R. Ayu Panji Sumoprojo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.2. R. Ayu Sastrodimejo (isteri Jaksa Semarang) 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.3. R. Wirjo Saputro
1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1 R. Ayu Tirtoredjo (Garwo R. Tirtorejo Wedono Jeporo) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.1 R. Supardi Jaksa Solotigo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.2 R. Ayu Sudarjo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.3 R. Suparman
1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.2 R. Ayu Sumowidjojo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.3 R. Surodipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.4 R. Ayu Notodipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.5 R. Ayu Murti (isteri Mantri Kabupaten Juwana)
1.1.1.1.1.1.2.3.5.5 R. Ayu Hadipati Aryo Tejokusumo (isteri Bupati Kediri)
1.1.1.1.1.1.2.3.5.6 R. Ngabei Kromodipoero Patih Kudus berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.1 R. Kromohadipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.2 R. Ayu Suryodiputro (isteri patih Kendal) 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.3 R. Ayu Muslimah 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.4 R. Kromodipuro
1.1.1.1.1.1.2.3.5.7 R. Ngabei Notodipuro Wedono Undaan 1.1.1.1.1.1.2.3.5.8 R. Ayu Hastronagoro
1.1.1.1.1.1.2.3.6 R. Ngabei Mangkudiwiryo Wedono Grobogan 1.1.1.1.1.1.2.3.7 R. Ngabei Citrodiwirjo Patih Demak 1.1.1.1.1.1.2.3.8 R. Ngabei Condrodiwirjo Patih Demak 1.1.1.1.1.1.2.3.9 R. Ayu Purwodiwirjo (Isteri Wedono Wedung)
1.1.1.1.1.1.2.4 R. Ayu Rekso Negoro (Isteri Rekso Negoro Ronggo Ungaran(Setingkat Bupati Anom, Wedono, Wakil Bupati Ungaran tempo doelu)) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.4.1 RT. Aryo Reksonegoro Bupati Semarang (meninggal tahun 1862 M) berputera diantaranya 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1 R. Ngabehi Reksodirdjo ( Patih Semarang) berputera diantaranya ; 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1.1 R. Ay. Djojodirdjo (Mantri Polisi Ungaran) 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1.2 R. Reksobronto Juru tulis Wedono Srondol
1.1.1.1.1.1.2.5 R. Ayu Wirosaroyo (isteri Demang Desa Gunungpati ). Keterangan : Demang setingkat Kepala Desa, Glondong, Kentol. Berputera diantaranya ;
1.1.1.1.1.1.2.5.1 R. Wirokusumo Demang Desa Gunungpati 1.1.1.1.1.1.2.5.2 R. Wirotanoyo Demang Desa Gunungpati
1.1.1.1.1.1.2.6 RT. Aryo Adinegoro Bupai Demak tahun 1825 – 1830 perang Diponegaran berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.6.1 R. Ayu Merto Hadinegoro (Isteri RT. Merto Hadinegoro Bupati Grobogan) berputera diantaranya :
1.1.1.1.1.1.2.6.1.1 R. Ayu Surodipuro Nilo Prabongso (Isteri R. Surodipuro Nilo Prabongso Wedono Tengaran, Putera Surohadi Manggolo VII Bupati Semarang)
1.2 Pangeran Haryo Balitar berputra diantaranya :
1.2.1 Pangeran Tumenggung Balitar berputra diantaranya :
1.2.1.1 Putri (Istri Pakubuwana ke 1) 1.2.1.2 Pangeran Haryo Balitar
1.3 R. Ayu Sarifah Mertokusumo (guru ngaji Jepara) berputera diantaranya : 1.3.1 R. Ayu Noyowongso Djongke (makam Gendingan Semarang) berputera diantaranya : 1.3.1.1 Kyai Ngabei Boestam Kartoboso Onder Regent (Bupati Anom) Terboyo Semarang
Keterangan : masih dalam perbaikan, selanjutnya silsilah secara lengkap menyusul
Diposkan oleh SILSILAH KPH HARYO JUMINAH (PUTRA SENOPATEN) di 07.15Смрт: 1657
Титуле : од 1613, Bupati Madiun Ke 7
Садржај |
Pangeran Benawa
Menurut tradisi Jawa, Pangeran Benawa adalah raja Pajang ketiga dan memerintah tahun 1586-1587, bergelar Prabuwijaya.
Silsilah Pangeran Benawa
Pangeran Benawa adalah putera Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kerajaan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta.
Kisah Hidup Pangeran Benawa
Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Prabuwijaya.
Akhir Kerajaan Pajang
Naskah-naskah babad memberitakan versi yang berlainan tentang akhir pemerintahan Pangeran Benawa. Ada yang menyebut Benawa meninggal dunia tahun 1587, ada pula yang menyebut Benawa turun takhta menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Pangeran Benawa menuju ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang. Konon beliau juga meninggal di Pemalang, di desa Penggarit.
Sepeninggal Benawa, Kerajaan Pajang berakhir pula, dan kemudian menjadi bawahan Mataram. Yang diangkat menjadi bupati di Pajang ialah Pangeran Gagak Baning adik Sutawijaya. Setelah meninggal, Gagak Baning digantikan putranya yang bernama Pangeran Sidawini.
Kepustakaan
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu Andjar Any. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: KanisiusPurwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Dalam riwayat Mas Karebet setelah dewasa mengabi ke Demak menjadi prajurit Tamtama, karena berparas tampan dan cerdik diambil menantu oleh Sang Prabu, dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka.
Menurunkan 7(tujuh) putera puteri, adalah:
1. Ratu Mas Pambayun, di Ngarisbaya; 2. Ratu Mas Kumelut, di Tuban; 3. Ratu Mas Adipati, di Surabaya; 4. Ratu Mas Banten, dinikahi Adipati Mondoroko/Ki Juru Martani, sebagai Patih dari Sinuhun Panembahan Senopati. 5. Ratu Mas Japara; 6. Adipati Benawa, nama gelar Sultan Hawijaya, di Pajang, dan 7. Pangeran Sindusena.
Ratu Mas Banten, menikah dengan Adipati Mondoroko Ki Jurumartani, menjabat Patih Paduka Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga, di Mataram, menurunkan putera puteri :
1. Adipati Jagabaya Banten, menurunkan putra :
a. Adipati Senabaya Banten, menurunkan putra : b. Kanjeng Panembahan Bagus Banten, mwnurunkan putra : c. Raden Ayu Tirtokusumo ing Pancuran, menurunkan putra : d. Raden Ajeng Temu, menikah dengan Adipati Sindurejo, menjabat Patih dari Hingkang Sinuhun Paku Buwana III di Surakarta, menurunkan putra : e. Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II di Surakarta, menurunkan putra : f. Raden Ayu Notokusumo (Raden Ajeng Sayati) menurunkan putra : g. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro III.
Ini adalah Trah Keturunan dari Adipati Mondoroko Ki Jurumartani.
Adipati Mondoroko menurunkan putra :
- Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra :
1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu
Hanyokrokusumo, di Mataram.
2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan Radin,
Panembahan Ramawijaya, dan Raden Ayu Purbaya III.
3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing Mataram.
4. Pangeran Pujamenggala.
5. Pangeran Adipati Wiramenggala.
Sumber : http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/Свадба: <33> ♀ Garwa Saking Bedji, Tadji [?]
6
1631/6 <117> ♂ Pangeran Yudhonegoro / Raden Tirtonegoro [Raden Trenggono]Титуле : di Tuban
Свадба: <34> ♂ Pangeran Tondonagoro [Tondonagoro]
Свадба: <35> ♂ Raden Adipati Tjokro Nagoro [Tjokro Nagoro]
Свадба: <36> ♂ Raden Tumenggung Suro Widjoyo [Suro Widjoyo]
Adipati Mondoroko menurunkan putra :
- Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra :
1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, di Mataram.
2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan Radin,
Panembahan Ramawijaya,dan Raden Ayu Purbaya III.
3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing Mataram.
4. Pangeran Pujamenggala.
5. Pangeran Adipati Wiramenggala.
Sumber : http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/Свадба: <237!> ♀ Ratu Kulon / Kanjeng Ratu Batang [Ki Juru Martani]
Свадба: <79!> ♀ Kanjeng Ratu Kulon [Gp.1] / Ratu Mas Tinumpak (Ratu Mas Ayu Sakluh) [Cirebon] d. 1653
Свадба: <38> ♀ Mas Ayu Wangen [?]
Свадба: <39> ♀ Mas Ayu Sekar Rini [?]
Титуле : од 1613, Mataram, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma
Смрт: 1645, Pajimatan Imogiri
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Susuhunan Hanyakrakusuma Panembahan Hanyakrakusuma Prabu Pandita Hanyakrakusuma Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama
Masa kekuasaan : 1613 – 1645 Pendahulu : Adipati Martapura Pengganti : Amangkurat I
Permaisuri-1 : Ratu Kulon putri Kesultanan Cirebon
Permaisuri-2 : Ratu Wetan putri Adipati Batang Wangsa : Dinasti Mataram Ayah : Panembahan Hanyakrawati Ibu : Ratu Mas Hadi Dyah Banawati
Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Daftar isi
2 Gelar yang Dipakai 3 Awal pemerintahan 4 Menaklukkan Surabaya 5 Pasca penaklukan Surabaya 6 Hubungan dengan VOC 7 Menyerbu Batavia 8 Setelah kekalahan di Batavia 9 Akhir kekuasaan 10 Wafatnya Sultan Agung 11 Rujukan 12 Lihat pula 13 Referensi
Садржај |
Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia
"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1] [2] Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
[Akhir kekuasaan]
Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung
Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890). Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Rujukan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Мoscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.
Lihat pula
Babad Tanah Jawi Rara Mendut
Referensi
1.^ Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358
2.^ [1] Afbeelding - AMH (Berkas AMH)Професија : 1670, Surabaya, Diangkat sebagai Bupati Surabaya 11 ( Tahun 1670 - 1678 ) oleh Amangkurat I atas jasa-jasanya mengusir pemberontak yang dipimpin Trunojoyo di Surabaya dan berhasil membebaskan Tjakraningrat II ( Adipati Madura ) yang ditawan Laskar Trunojoyo di hutan Lodoyo, Blitar. Sebelumnya menjabat sebagai salah satu Tumenggung Kerajaan Mataram .
Смрт: 1678, Kediri, Bertindak sebagai salah satu Tumenggung Kerajaan Mataram .Gugur dalam Perang menumpas pemberontakan Trunojoyo di Kediri.
Сахрана: 1678, Sentono Boto Putih, Pergirikan Surabaya.
Професија : Sultan Mataram ( 1646 - 1677 )
Свадба: <341!> ♀ Ratu Kulon [?] , <40> ♀ Ratu Wetan [?]
Смрт: 1677
Свадба: <339!> ♀ Nji Raden Ajoe ? (Amangkurat I) [?]
Професија : 1649, Cirebon, Sultan Cirebon IV ( 1649 - 1677 ) Catatan : Tinggal di Mataram bersama kedua anaknya : RT Martawijaya dan RT Kartawijaya. Pemerintahan dijalnkan anak ketiganya RT Wangsakerta.
Смрт: 1677, Mataram
Сахрана: 1677, Pasarean Girilaya, Yogyakarta
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.Смрт: 21 фебруар 1659, Kotagede Yogyakarta, Dimakamkan di Pajimatan Imogiri
Свадба: <43> ♂ w Panembahan Cakraningrat I ? (Raden Praseno) [Aria Damar]
1.1.15.4 NR. Soemalintang or NR Ajoemajar or RA Soedarsah . 1.1.15.4X Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema DiningratKeseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file report lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Descendants of Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat"]
7
2191/7 <158> ♂ Pangeran Renu [Banten]Свадба: <157!> ♂ 1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (Raden Mas Rangsang) [Mataram] b. 1593 d. 1645
Свадба: <45> ♀ Ratu Wetan (Kajoran) [Kajoran]
Свадба: <290!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Pembayun [P. Pekik]
Титуле : од 1646, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat 1)
Смрт: 13 јул 1677, Wanayasa, Banyumas
Silsilah Amangkurat I Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Awal pemerintahanPada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
[[Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered]]. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Hubungan dengan pihak lainAmangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.
Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
Perselisihan dengan putra mahkotaAmangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pemberontakan TrunajayaMas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.
Maka dimulailah [[pemberontakan Trunajaya pangeran Madura]]. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.
Kematian Amangkurat IPelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.Професија : Bangil, Jawa Timur, Adipati Pasuruan ( ? - 1706 )
Смрт: 5 децембар 1706, Bangil, Gugur dalam Perang dengan Pasukan Keraton Surakarta yang dibantu Pasukan VOC Belanda.
Титуле : од 1677, Cirebon, Sultan Kanoman I
Смрт: 1723, Cirebon
Смрт: 1703, Mataram
Свадба: <46> ♀ Nji Raden Ajoe Nn (Nn) [Nn]
Професија : 1709, Surabaya, Jawa Timur, Bupati kasepuhan I Surabaya ( 1709 - 1718 )
Смрт: 1723, Kaap De Goede Hoop, Afrika Selatan
Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)
Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.
Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.
Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.
Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.
Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.8
3041/8 <220> ♂ Pangeran Darajad [Cirebon]Титуле : Kraton Pajang, Senopati Pengawal Raja Kasunanan Kartosuro; Putro Mantu Paku Buwono I Kasunanan Surakarta Riwayat: yang menyelamatkan keluaraga kerajaan Kartosuro dari serangan Belanda (Batavia) dengan kesaktiannya menjebol benteng Keraton Kartosuro ( petilasan lokasi
Свадба: <51> ♀ Bandoro Raden Ayu Manis [Paku Buwono ke I Kasunanan Kartosuro, Lahir Dari Mas Ayu Tjondrowati Dari Jurug-Solo]
Свадба: <53> ♂ w Raden Trunojoyo ? (Panembahan Maduretno) [Cakraningrat I] b. 1649 d. 2 јануар 1680
Смрт: 1703
Ia merupakan raja Jawa pertama yang memakai pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan Sunan Amral, yaitu [[ejaan Jawa untuk Admiral.]]
Silsilah Keluarga Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri [[Pangeran Pekik dari Surabaya.]]
Amangkurat II memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III). Konon benar ataupun ngawur, menurut Babad Tanah Jawi ibu Amangkurat III mengguna-guna semua madunya sehingga mandul.
Perselisihan Masa Muda Mas Rahmat dibesarkan di Surabaya. Ia kemudian pindah ke istana Plered sebagai Adipati Anom. Namun hubungannya dengan adiknya yang bergelar Pangeran Singasari buruk. Terdengar pula kabar kalau jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Singasari.
Pada tahun 1661 Mas Rahmat memberontak didukung para tokoh yang tidak suka pada pemerintahan Amangkurat I. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan. Para pendukung Mas Rahmat ditumpas semua. Namun, Amangkurat I sendiri gagal saat mencoba meracun Mas Rahmat tahun 1663. Hubungan ayah dan anak itu semakin tegang.
Pada tahun 1668 [[R.Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi]], gadis Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Pangeran Pekik karena saking sayang kepada cucunya sehingga Beliau mempertemukan antara cucunya dan Rara Oyi. Akibatnya, kabar ini terdengar oleh Ayahanda, Amangkurat I murka dan mengeksekusi mati Pangeran Pekik sekeluarga hingga dimakamkan di komplek Banyusumurup. R.Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Persekutuan dengan R.Trunajaya R.Mas Rahmat diampuni ayahnya namun juga dipecat dari jabatan Adipati Anom. Jabatan putra mahkota Mataram kemudian diberikan kepada putra yang lain, yaitu Pangeran Puger.
Pada tahun 1670 R.Mas Rahmat meminta bantuan Panembahan Rama, seorang guru spiritual dari keluarga Kajoran. Panembahan Rama memperkenalkan bekas menantunya, bernama R.Trunajaya dari Madura sebagai alat pemberontakan R.Mas Rahmat.
Pada tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang diwakili oleh Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanudin, Raja Makasar yang ditolak Amangkurat I saat meminta sebidang tanah di Mataram. Diam-diam R.Mas Rahmat memberi mereka tanah di [[desa Demung]], dekat Besuki. Mereka kemudian bergabung dalam pemberontakan R.Trunajaya.
Kekuatan R.Trunajaya semakin besar dan sulit dikendalikan. R.Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih berada di pihak ayahnya. Ia kembali menjadi putra mahkota, karena P.Puger sendiri berasal dari keluarga Kajoran (pendukung pemberontak).
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 R.Trunajaya menyerbu istana Plered. Amangkurat I dan R.Mas Rahmat melarikan diri ke Barat. Namun P.Puger sendiri akhirnya pergi ke [[desa Kajenar]].
Persekutuan dengan VOC Amangkurat I meninggal dalam perjalanan pada 13 Juli 1677. Menurut Babad Tanah Jawi, minumannya telah diracun oleh R.Mas Rahmat. Meskipun demikian, R.Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja selanjutnya,
R.Mas Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati Tegal. Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi pemberontakan pimpinan R.Trunajaya. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah padanya. R.Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya membuat perjanjian dengan VOC dengan pengiriman Garnisun perang.
Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
R.Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Hasil perjanjian dengan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
Membangun Istana Kartasura Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
P.Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah kota itu ditinggalkan R.Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukan R.Mas Rahmat (kakaknya) melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar.
Perang antara Kakak dan Adik itu meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 P.Puger kalah dan menyerah.
Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.
Sikap Amangkurat II terhadap VOC Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati dua, satu sisi mlakukan perjanjian dengan VOC, satu sisi memikirkan cara agar terlepas dari VOC. P.Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Ia naik takhta atas pinjaman hutang dari VOC sebagai biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.
Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan.
Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di [[desa Babirong]] untuk menyusun kekuatan.
Bulan Februari 1686 Kapten Francois Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC. Pertempuran terjadi. Pasukan Untung Suropati menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati
Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana.
Akhir Kehidupan Amangkurat II Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan bangsa Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi Belanda. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapten Jonker tahun 1689.
Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.
Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu P.Puger.Титуле : од 1703, Bupati Madiun Ke 10
Смрт: 5 јануар 1732, Kertasura
Свадба: <54> ♀ Raden Ajeng Sendhi [?]
Свадба: <55> ♀ Mas Ajeng Tejawati [?]
Свадба: <56> ♀ Mas Ajeng Retnowati [?] d. 22 фебруар 1719
Свадба: <57> ♀ Mas Ayu Tjondrowati [?]
Титуле : од 6 јул 1704, Kartasura, Sultan Mataram VI MATARAM KE 6, Sunan Kartasura III bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa
Смрт: 1719
Pangeran Puger (lahir: Mataram, ? - wafat: Kartasura, 1719) adalah raja ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 - 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana. [[Asal-usul]]Nama asli Pangeran Puger adalah Raden Mas Darajat. Ia merupakan putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang.
Mas Darajat pernah diangkat menjadi pangeran adipati anom (putra mahkota), ketika terjadi perselisihan antara Amangkurat I dengan Mas Rahmat. Mas Rahmat adalah kakak tiri Mas Darajat yang lahir dari Ratu Kulon atau permaisuri pertama. Amangkurat I mencopot jabatan adipati anom dari Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Mas Darajat. Namun, ketika Keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya tahun 1674, Amangkurat I terpaksa menarik kembali jabatan tersebut dari tangan Mas Darajat.
Perang Di PleredPuncak pemberontakan Trunajaya terjadi pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Plered. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Adipati Anom (Mas Rahmat) untuk mempertahankan istana. Namun, Adipati Anom menolak dan memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya tersebut untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa tidak semua anggota Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunajaya.
Ketika pasukan Trunajaya tiba di istana Plered, pihak Amangkurat I telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya. Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Kerajaan Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga.
Trunajaya menjarah harta pusaka keraton Mataram. Ia kemudian pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ingalaga kembali ke Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja bertugas di sana. Sunan Ingalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru.
Perang Saudara Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di daerah Tegal. ia sempat menunjuk Adipati Anom sebagai raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC - Belanda. pemberontakan Trunajaya akhirnya berhasil ditumpas pada akhir tahun 1679.
Amangkurat II merupakan raja tanpa istana karena Plered telah diduduki Sunan Ingalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakerta, yang diberi nama Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung dengannya tapi panggilan tersebut ditolak.
Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II. Kekalahan Pangeran Puger menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang kemudian menjadi daerah bawahan Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian, naskah-naskah babad tetap memuji keberadaan Pangeran Puger sebagai orang istimewa di Kartasura. Yang menjadi raja memang Amangkurat II, namun pemerintahan kasunanan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah-naskah babad ditulis pada zaman kekuasaan raja-raja keturunan Pangeran Puger.
Kamatian Kapten TackAmangkurat II berhasil naik takhta berkat bantuan VOC, namun disertai dengan perjanjian yang memberatkan pihak Kartasura. Ketika keadaan sudah tenang, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian tersebut. Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkapnya. Amangkurat II pura-pura membantu VOC.
Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, sebanyak 75 orang tentara VOC, tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pasukan Untung Suropati berhasil membunuh Kapten Tack yang tidak berhasil turun dari kudanya.
Pengungsian Ke SemarangAmangkurat II meninggal dunia pada tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menjadi raja Tanah Jawa. Pangeran Puger pun menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat. Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak. Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger.
Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Tumenggung Jangrana, bupati Surabaya. Namun Jangrana sendiri diam-diam memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka.
Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack. Bangsa Belanda tersebut menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.
Kartasura di rebutPada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau lazim disingkat Pakubuwana I. Setahun kemudian, yaitu tahun 1705, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedangkan ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.
Masa PemerintahanPemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama tersebut berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilangka.
Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati Surabaya yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena pihak VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati tahun 1706. Jangrana digantikan adiknya yang bernama Jayapuspita sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan mempersiapkan pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC bergerak menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di Pasuruan dahulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Japan (sekarang Mojokerto) tahun 1718.
Akhir HayatSunan Pakubuwana I meninggal dunia pada tahun 1719. Yang menggantikannya sebagai raja Kartasura selanjutnya adalah putranya, yang bergelar Amangkurat IV. Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudara-saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun.
Pangeran Puger Yang Lain Dalam sejarah keluarga Kesultanan Mataram terdapat tokoh lain yang juga bergelar [[Pangeran Puger]]. Salah satunya adalah putra Panembahan Senapati yang lahir dari selir Nyai Adisara, bernama asli Raden Mas Kentol Kejuron. Tokoh ini hidup pada zaman sebelum Pakubuwana I.
Pangeran Puger yang ini pernah memberontak pada tahun 1602 - 1604 terhadap pemerintahan adiknya, yaitu Prabu Hanyokrowati (kakek buyut Pangeran Puger Pakubuwana I).Sułtani Bantamu
Dynastia Sunda
- Sunan Gutung Dżati (władca Bantamu (Bantenu) w zachodnim krańcu wyspy Jawy ok. 1527-1552)
- Zależność od Demaku 1527-przed 1582
- Hasan ad-Din (ok. 1552-1570; sułtan od 1568) [syn]
- Jusuf (ok. 1570-1580) [syn]
- Muhammad (ok. 1580-1596) [syn]
- Abd al-Kadir (1596-1631; regencja 1596-1624) [syn]
- Ahmad Rahmat Allah (1631-1634) [syn]
- Abu’l Fattah (1634-1680; usunięty, zmarł 1692) [syn]
- Abd al-Kahhar (1672-1687) [syn]
- Protektorat holenderski 1684/1753-1832
- Jahja (1687-1689; regencja 1687) [syn]
- Zajn al-Abidin (1689-1733) [brat]
- Szafi (1733-1748; usunięty, zmarł 1758) [syn]
- Fatima (regentka 1748-1750; usunięta, zmarła 1751) [żona]
- Muhammad Wasi al-Halimin (1750-1753; usunięty, zmarł 1760) [syn wezyra Dipati-Ningrata, regenta z 1687)
- Arif Zajn al-Aszikin (1753-1777) [syn Zajn al-Abidina]
- Ali ad-Din I (1777-1802/4) [syn]
- Muhji ad-Din I Zajn at-Talah (1804-1805) [brat]
- Iszak Zajn al-Muttakin (1805-1808; usunięty, zmarł 1842) [syn nieślubny]
- Ali ad-Din II (1808-1810; usunięty, zmarł 1849) [syn Ali ad-Dina I]
- Safi ad-Din (1810-1811/6) [syn Muhji ad-Dina I]
- Ahmad (regent 1811-1813) [syn Iszaka]
- Muhji ad-Din II (1813-1816) [brat]
- Rafi ad-Din (sułtan nominalny 1816-1832; usunięty, zmarł 1900) [syn Safi ad-Dina]
- Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Bantam 1832
Свадба: <202!> ♂ 4.1.1.3.1.1.1. Panembahan Ratu II / Panembahan Girilaya (Pangeran Rasmi / Pangeran Karim) [Cakrabuana]

