Ratu Harisbaya - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Свадба: <1> ♂ 1.1. Prabu Geusan Ulun / Pangeran Kusumadinata II (Pangeran Angkawijaya) [Sumedang Larang] b. 19 јул 1556проц d. 1610
Свадба: <2> ♂ 4.1.1.3.1.1. Panembahan Ratu I / Pangeran Mas Zainul Arifin [Azmatkhan]
2
Титуле : 1620, Adipati Sumedang I, merangkap Bupati Wadana Parahyangan (1610-1624)
Смрт: 1624, Mataram, Dimakamkan di Bembem Yogyakarta
RANGGA GEMPOL / PANGERAN SURIADIWANGSA
Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.
Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).3
31/3 <2+?> ♂ 1.1.15.1. Raden Kartadjiwa / Raden Soeriadiwangsa II [Sumedang Larang]4
Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).
Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.
5
Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata (1693-1706). Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul kapas.
Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.6
Сахрана: Pasir Baganjing
ASAL-USUL
Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal dari sanalah cikal bakalnya Sukapura. Adalah Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat . Pangeran Kusuma Diningrat merupakan salah satu pewaris tahta kerajaan pada waktu itu. sewaktu terjadi perang saudara antara Pajang dan Mataram, Pangeran Kusumah Diningrat belum dewasa, untuk menyelamatkannya beliau di titipkan pada Sultan Demak. Sambil menunggu peperangan selesai, Pangeran Kusumah Diningrat mengembara mencari ilmu, dan sampailah di tanah Sunda.Tepatnya di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. ( versi lain Kampung Padarek, Kecamatan Cigalontang ?). Beliau mendapat julukan ‘Pangeran Dago Jawa’.
Setelah menetap beberapa lama, Pangeran Kusuma diningrat menikah dengan R.A. Sudarsah, puteri dari Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 orang putera :
1. Seureupeun Manangel 2. Seureupeun Cibeuli 3. Seureupeun Cihaurbeuti 4. Seureupeun Dawagung 5. Seureupeun Cibuniagung
Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung Puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara). Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :
1). Raden Wirawangsa; 2). Raden Astawangsa; 3). Raden Pranawangsa; 4). Raden Narahita; 5). Raden Bagus Chalipah
Versi wikipedia ( Pangeran Kusumah Diningrat menikah dengan Rd. Ayu Sudarsah. Putera Pangeran Rangga Gempol (Cucu Pangeran Geusan Ulun dari Sumedang). Beliau menurunkan putera 5 orang antara lain :
- Seureupeun Manangel
- Seureupeun Cibeuli
- Seureupeun Cihaurbeuti
- Seureupeun Dawagung
- Seureupeun Cibuniagung (yang menurunkan Sukapura). Seureupeun Cibuniagung berputera :
1. Rd. Wirahadiningrat (Entol Wiraha) 2. Nyi Ageng Rd. Wirahadiningrat menikah dengan putera dalem Sukakerta, bernama Brajayuda ( Baratajayuda ? ) Keturunan dari Srigading Anteg (terah galunggung). Beliau mempunyai putera lima orang, antara lain: Rd. Wirawangsa, dari beliau lah dimulai masa pemerintahan bupati sukapura.)
BERDIRINYA SUKAPURA DAN PERKEMBANGANNYA
Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa, Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur Wangsanata (penguasa wilayah Priangan) tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I. gelar tersebut diberikan Kanjeng Sultan tidaklah beralasan akan tetapi tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.
Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :
- . Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang
- . Mandala dan Kelapa Genep
- . Cipinaha dan Lingga Sari
- . Cigugur, Parakan Tiga (Pameungpeuk) dan Maroko
- . Parung
- . Karang
- . Bojongeureun
- . Suci
- . Panembong (Garut)
- . Cisalak
- . Nagara
- . Cidamar
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :
- . Saunggantang
- . Taraju
- . Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.
PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG
Penget srat piagem *)
Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen. Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe. Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiranagunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami. Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu. Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.
- ) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-egentschappen”,
Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian. Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung. Maka, rakyat dan pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing-masing sehingga negara Sukapura pada saat itu ads peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.
Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kanjeng Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :
- Rd. Wangsadipura
- Rd. Kartijasa
- Rd. Djajamanggala
- Rd. Anggadipa
- Rd. Wangsadikusumah
- Nyi Rd. Ajoe
- Rd. Pranadjaja
- Rd. Ardimanggala
- Rd. Tjandradipa
- Nyi Rd. Doekoeh
- Rd. Digajasa
- Rd. Wirandana
- Rd. Gentoer
- Nyi Rd. Katempel
- Rd. Anggawangsa
- Nyi Rd. Wanadapa
- Nyi Rd. Pelang
- Nyi Rd. Parnati
- Nyi Rd. Adjeng
- Rd. Poespawidjaja
- Rd. Darmamanggala
- Rd. Puspamanggala
- Rd. Kartadipa
- Rd. Wangsataruna
- Nyi Rd. Djampang
- Nyi Rd. Purba
- Nyi Rd. Sampan
- Nyi Rd. Widuri
Pengganti Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-1727). Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.
Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai opziener.[ Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam pengawasan langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 87. ] Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan Galuh, yaitu mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen karena dianggap sebagai menak tertua dan pandai. Ia juga melebur kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.7
521/7 <31+?> ♂ 1.1.15.4.5.1.1.5 Rd. Wangsadikusumah [Wiradadaha]Смрт: 1674, Banjoemas, Sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat
Сахрана: 1674, Pasir Huni kecamatan Sukaraja, Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
BUPATI SUKAPURA ke II Tahun 1674
(Raden Jayamanggala / Raden Tumenggung Wiradadaha II)
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :
1. Rd. Indramanggala
2. Rd. Widjanggana
3. Nyi Rd. Gandapura
4. Nyi Rd. Apiah
5. Nyi Rd. Kusumahnagara
6. Nyi Rd. Legan
7. Nyi Rd. Djanglangas
8. Rd. Madjadikaranamun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
BUPATI SUKAPURA ke III Tahun 1674 – 1723
(Raden Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III)
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.
Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;
- . Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
- . R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
- . R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
- . R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :
1. Rd. Joedanagara 2. Rd. Soebamanggala (Penerus Bupati) 3. Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel 4. Rd. Mandoera 5. Nyi Rd. Radji 6. Rd. Soeriadinata 7. Rd. Indramanggala 8. Rd. Dipanagara 9. Rd. Tjandrakoesoemah 10. Rd. Indrataroena 11. Nyi Rd. Impoen 12. Nyi Rd. Idjah 13. Rd. Rarap 14. Rd. MS. Bagoes 15. Nyi Rd. Poespa 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah 17. Nyi Rd. Dita 18. Rd. Djiwamanggala 19. Nyi Rd. Patradanta 20. Rd. Lingga(Legan) 21. Nyi Rd. Ardi 22. Rd. Arsabaja 23. Rd. Soetra 24. Rd. Tjandramanggala 25. Rd. Betok 26. Nyi Rd. Ika 27. Rd. Soemanagara 28. Nyi Rd. Koesoemakaraton 29. Rd. Indra Widjaja 30. Rd. Kertimanggala 31. Rd. Soebang 32. Rd. Wiradimanggala 33. Nyi Rd. Wiratsari 34. Rd. Abdoel Moh. Arip 35. Rd. Wiranagara 36. Rd. Tirtapradja 37. Rd. Mertamanggala 38. Nyi Rd. Djahah 39. Rd. Singadiprana 40. Nyi Rd. Soemanimbang 41. Rd. Radjamanggala 42. Rd. Djagasatroe 43. Rd. Singadimanggala 44. Rd. Daroes (Daroe) 45. Nyi Rd. Doeji ( Dewi) 46. Rd. Bima 47. Rd. Soemadimanggala 48. Rd. Karadinata 49. Rd. Najapoespa 50. Nyi Rd. Karimah 51. Rd. Bodong 52. Rd. Wangsamanggala 53. Rd. Indradinata 54. Rd. Ardimanggala 55. Rd. Tjandradinata 56. Rd. Kartadipa 57. Rd. Bagoes II ( Saloengan ) 58. Rd. Soerajoeda 59. Rd. Djajamanggala 60. Rd. Kartamanggala 61. Rd. Natawatjana 62. Rd. Gandapradja
Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)
Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala. Bersambung…. ( sumber )Титуле : од 1732, Bupati Galuh ke 9 (Patih Imbanagara sebagai wali Mas Garuda/Rd.Ad. KUSUMADINATA III)
8
981/8 <49+?> ♀ 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah / R. Ajeng Halimah / Nyi Rd. Ayu Salamah Binti Wiradadaha 3 [Wiradadaha]Смрт: Pamijahan
BUPATI SUKAPURA ke IV Tahun 1723-1745
(Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV)
Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.
Berkuasanya beliau tidak lama karena wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patihnya (lihat Sejarah Tasikmalaya bagian 2) masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, (Patih II), karena dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.
Raden Anggadipa/Dalem Abdoel berputra 14 orang yaitu :
1. Rd. Demang Setjapati 2. Rd. Anggadiwiredja 3. Rd. Anggapradja 4. Rd. Djajawiguna 5. Nyi Rd./ Katjinagara 6. Nyi Rd. Bandoe 7. Rd. Soeradiredja 8. Rd. Anggadipa 9. Rd. Sidjah 10. Nyi Rd. Djandipoera 11. Nyi Rd. Soemadikara 12. Nyi Rd. Gimbar 13. Nyi Rd. Soerianagara14. Rd. Wiradrapa
Mengingat R.A. Kusumadinata II meninggal muda, maka jabatan bupati diwariskan kepada keponakan R.A. Sutadinata I yang kelak bergelar R.A. Kusumadinata III putra RAy. Cndranagara. VOC tidak mengangkat salah satu adik Kusumadinata II, yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh karena itu VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak perempuan Kusumadinta II.
Nama kecil R.A. Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk sebagai calon pengganti Kusumadinata II, oleh karenanya Jabatan Bupati di Pegang oleh 3 orang wali, dibawah pimpinan R.T. Jagabaya.
Pemerintahan Galuh diserahkan kepada Kusumadinta III (1751-1801) setelah dewasa. Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk sebagai calon pengganti Kusumadinata II. Ia berhasil memulihkan kondisi Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara. Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.
Selain berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun, Kusumadinta III berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh