Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV / Dalem Pamidjahan - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:952722
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV / Dalem Pamidjahan [Wiradadaha]
Титуле : од 1723, Boepati Soekapoera ke IV
Смрт: Pamijahan
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA ke IV Tahun 1723-1745

(Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV)


Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.

Berkuasanya beliau tidak lama karena wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patihnya (lihat Sejarah Tasikmalaya bagian 2) masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, (Patih II), karena dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.

Raden Anggadipa/Dalem Abdoel berputra 14 orang yaitu :

1. Rd. Demang Setjapati
2. Rd. Anggadiwiredja
3. Rd. Anggapradja
4. Rd. Djajawiguna
5. Nyi Rd./ Katjinagara
6. Nyi Rd. Bandoe
7. Rd. Soeradiredja
8. Rd. Anggadipa
9. Rd. Sidjah
10. Nyi Rd. Djandipoera
11. Nyi Rd. Soemadikara
12. Nyi Rd. Gimbar
13. Nyi Rd. Soerianagara
14. Rd. Wiradrapa

2

21/2 <1> Rd. Setjapati / Kg. Tumenggung Wiradadaha V [Wiradadaha]
Титуле : од 1745, Boepati Soekapoera ke V
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – V Tahun 1745-1747

(Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V)


Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.

Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :

1. Nyi Rd. Gandalarang
2. Rd. Djajanggadiredja
3. Rd. Indranagara
4. Rd. Wiradiredja
5. Rd. Satjadikusumah
6. Nyi Rd. Winari
7. Nyi Rd. Nimbang
8. Nyi Rd. Djaleha
9. Nyi Rd. Landjang
10. Rd. Panimba
Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.

3

31/3 <2> Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI [Wiradadaha]
Титуле : од 1747, Boepati Soekapoera ke VI
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765

(Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI)


Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI. Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC). Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.

Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu. Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).

Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :

1). Rd. Djajamanggala;
2). Nyi Rd. Kartiwinagara;
3). Nyi Rd. Kartakusumah.

4

41/4 <3> R. Adipati Wiratanu Baja (Dalem Pasir Tando ) [Wiradadaha]
Титуле : од 1765, Bupati Soekapoera, ke VII / Wiradadaha VII
Смрт: 1807, Pasirtando
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VII Tahun 1765-1807

(R.Djajamanggala ke II / Adipati Wiratanoebaja / Kg. Dalem Wiradadaha VII / Dalem Pasir Tando)

Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1765), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun.

Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon. Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati. Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja.

Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakamkan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37 yaitu :

1. Nyi Rd. Panggoengnagara
2. Nyi Rd. Somakartawan
3. Nyi Rd. Poerwakoesoemah
4. Rd. Djajanggadiredja
5. Rd. Anggadipa
6. Rd. Bradjanagara
7. Nyi Rd. Siti Salmah
8. Rd. Wangsajoeda
9. Rd. Soerajoeda
10. Nyi. Rd. Tedja
11. Rd. Wiramanggala
12. Rd. Tanoewangsa/Dalem Danoeningrat
13. Nyi Rd. Wati Angsanagara
14. Rd. Gandakoesoemah
15. Rd. Tanoeredja
16. Rd. Diparedja
17. Nyi Rd. Nimbang
18. Nyi Rd. Saridjem
19. Rd. Moh Djapar
20. Nyi Rd. Ganibah
21. Nyi Rd. Gandanagara
22. Rd. Hidjad
23. Rd. Ardikoesoemah
24. Nyi Rd. Ondan
25. Rd. Wiranagara
26. Nyi Rd. Rijanagara
27. Nyi Rd. Arsabaja
28. Nyi Rd. Basi
29. Nyi Rd. Ratnanimbang
30. Rd. Parnawangsa
31. Rd. Dg. Nawatadiredja
32. Nyi Rd. Ratnainten
33. Rd. Raksadiredja
34. Rd. Bradjadiguna (Wadana Cidamar/Cidaun)
35. Nyi Rd. Habijah
36. Rd. Soemajuda
37. Rd. Soerjadiredja

5

51/5 <4+?> 34. R. Braja Diguna / R. Muhammad (Sembah Dalem Cidamar Tahun 1761–1836) [Wiradadaha]
Рођење: 1761, Soekapoera
Титуле : од 1811, Wedana, Cidamar
Смрт: 1836, Panyindangan, Cidamar
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


SEJARAH CIDAMAR

A. Asal Mula Cidamar

Kampung tertua di cidamar adalah didaerah Cipanglay, karena dahulu kampung ini merupakan kampung yang aman. Disana sebelumnya hanya terdapat dua rumah didaerah Selokan ( Sekarang dibuat area persawahan ), Cipanglay. Selanjutnya kedua rumah tersebut berkembang dan dipindah dari selokan ke pusat Cipanglay yang ada sekarang. Nama yang pertama kali disematkan untuk wilayah Cidaun adalah Cidamar. Cidamar dulu merupakan kawedanaan, yaitu Desa Cidaun, Kewedanaan Cidamar, Kec. Cidaun,sedangkan sekarang Cidamar terbalik menjadi desa, yaitu Des. Cidamar, Kec. Cidaun, Kab. Cianjur.

Digantinya Desa Cidaun menjadi Desa cidamar pada tahun 1980 yaitu Desa Cidaun waktu difusi dari 2 Desa menjadi 3 Desa, cikareo dan cidaun di bagi menjadi 3 desa. Yaitu desa cidamar, desa kertajadi dan desa wangun (wangun jaya sekarang) dan dari situlah nama cidamar berasal hususnya desa cidamar, sedangkan cidaun sudah ada sejak tahun 1600-an dan dulu disini juga sudah ada perkampungan tetapi belum mempunyai nama baik desa kecamatan maupun kewadanaan. Semenjang tahun 1800-an bersatu menjadi satu padaleman pada tahun 1620 jumlah penduduk cidaun sebanyak 1870 orang. Kemudian pada tahun 1811 di bentuklah satu pemerintahan yang di sebut dengan padaleman, sedangkan yang membuka sejarah cidamar berasal dari daerah sukapura putranya R.Jaya Manggala yang bernama R.Braja Diguna, yang didampingi oleh saudara saudaranya diantaranya yaitu : R. Baja Diguna dan R. Brajantaka.

Dalam sistem pemerintahannya R. Braja Diguna ( Eyang Semah Dalem ) menjadi dalem dari tahun 1811-1821, R. Braja Diguna disemayamkan/dimakamkan Di Panyindangan, sedangkan R. Baja Diguna ( Eyang Ngabehi ) dibidang perekonomian yaitu yang pertama kali membuat saluran air atau selokan dan juga lahan persawahan, Eyang Ngabehi disemayamkan didaerah Erang, sedangkan R. Brajantaka ( Eyang H. Kudratullah ) dibidang keamanan dan ia dimakamkan di Tegal Soreal. Yang kemudian pada tahun 1821 diturunkan oleh Belanda menjadi Kawadanaan, yaitu Wadana Munggaran R. Indra Wiguna bersama putranya yaitu R. Pringga Wijaya ( 2 periode ) kemudian setelah habis periode R. Pringga Wijaya ditunkan lagi menjadi Kecamatan yaitu Kecamatan Cidaun. Yang mejadi Camat pertama di Cidaun adalah H. Martado sedangkan Mentri Polis atau petingginya yaitu Singajaya.

Pada waktu Belanda dipimpin oleh Deandles Belanda diruntuhkan oleh Inggris yang dipimpin oleh Gubernur Raples yaitu yang mendirikan istana di kebun raya bogor. Pada tahu 1811, Indonesia mengalami peperangan dan pada waktu itu sultan Cirebon dan Pajajaran Ikut perang melawan Belanda, karena sultan Cirebon dan pajajaran itu kalah persenjataan ketika melawan Belanda kemudian sultan Cirebon dan Pajajaran meminta bantuan kepada kerajaan Mataram. Pada abad ke 17 pengaruh kerajaan Mataram mulai menyebar dan memasuki wilayah Jawa Barat yang kemudian Sutan Mataram mengutus 2 rombongan untuk menyelamatkan wilayah priangan, batas wilayah priangan sampai Citarum, dua rombongan yang diutus ke Cidaun oleh sultan Mataram itu, yaitu R. Braja Diguna dan R. Brajantaka. Sedangkan R. Arya Gajah diutus ke wilayah Bandung. Yang kemudian munculnya budaya didaerah Cidaun khususnya wilayah pemerintahan. Jadi yang pertama membuka wilyah Cidaun yaitu orang orang Banten. Sedangkan yang membuka Pemerintahannya yaitu orang orang Sukapaura.


B. Keadaan Cidamar pada Masa itu

Pada saat terjadi peperangan antara VOC dengan Kediri didaerah Sunda Kelapa, akibat dari peperangan tersebut terjadi kerusakan yang parah didaerah Sunda Kelapa, dan untuk mengisi kekosongan baik penduduk dan hartanya, mereka ( VOC ) datang kedaerah Cidamar dan merusuh disana. Mereka menculik orang orang Cidamar dan membawa serta harta mereka.

Setelah Mataram mendengar hal tersebut, maka diutuslah Eyang Nur Hamin yang ditemani oleh istrinya Eyang Elang. Mereka mengemban tugas untuk mengamankan daerah tersebut. Eyang Nur Hamin mempunyai beberapa keturunan yang menjadi pejabat pejabat di Cidamar diantaranya Eyang Wija ( jogjogan ), Eyang Harda Diwangsa, Eyang Patra Dikusuma, Eyang Pitri ( Gunung Sepuh, Hulu Sungai Cidamar ), dan Eyang Yudarajat ( Cipanglay ). Keturunan Eyang Nur Hamin inilah Yang menjadi pembuka daerah cidamar. Setelah itu muncul lagi gerombolan Amu Hawuk dan Pangeran Genjreng yang merusuh didaerah Cidamar, Eyang Nur Hamin bergegas untuk mengamankan kampung tersebut. Setelah disara daerah tersebut aman Eyang Nur Hamin pergi dari daerah cidamar dan dikatakan Eyang Yudarajatlah yang tinggal dicidamar dan meninggal dicipanglay.

C. Ikhtisar periodisasi perkembangan cidaun - cidamar

Berdasarkan pada penuturan narasumber, maka kami membuat ikhtisar periodisasi perkembangan masyarakat cidaun berdasarkan perkiraan tahun kejadiannya sebagai berikut :

  1. 1980 adalah tahun pergantian dari desa cidaun ke desa cidamar, pada masa ini terjadi difusi cikareo dan cidaun dibagi menjadi 3 desa yaitu : desa cidamar, desa kertajadi dan desa wangun. Sejak masa inilah disebut desa cidamar.
  2. 1600-an telah ada perkampungan diwilayah cidaun hanya saja belum diberi nama cidaun.
  3. 1800-an dibuatlah satu pemerintahan yang disebut kedaleman keturunan yaitu R. Braja Diguna atau sering disebut Eyang Sembah Dalem ( Dalem 1811 – 1821 ), R. Baja Diguna ( Eyang Ngabehi ) yang bergerak dalam bidang pertanian dan Brajantaka ( Eyang H. Kodratullah ) yang kuburannya di Tegal Soreal yang bertugas dalam bidang pertanian.
  4. Ketika tahun 1579 kerajaan Pajajaran mengalami keruntuhan, maka terpecahlah masyarakat pajajaran dibagi 2 : ada yang takluk kepada kerajaan Banten sehingga masuk Islam, ada yang mengungsi kewilayah pesisir Selatan hingga mereka turun kewilayah Pelabuhan Ratu sebagai nama yang disematkan untuk mengenang kejayaan Pajajaran dimasa lalu.
  5. 1821 status kedaleman Cidamar dilengserkan oleh Belanda menjadi berstatus Kewadanaan dengan Wadana pertama bernama R. Indra Wijaya yang dikuburkan di Lembah Luhur, kemudian dilanjutkan oleh R. Pringga Wijaya. Kemudian setelah 2 periode diperintah oleh 2 Wadana status kewadanaan diturunkan lagi menjadi Kecamatan Cidaun, Camat pertamanya adalah H. Martado dengan Mantra Polisi bernama Singajaya.
62/5 <4> 5. Rd. Anggadipa II / Kg. Adipati Wiradadaha VIII [Wiradadaha]
Титуле : од 1814, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke VIII
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VIII Tahun 1807-1811 dan 1814-1837

(Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII)

Perpindahan Ibukota Kabupaten Sukapura ke Manonjaya (1834).

Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami Tarum (pohon Nila).

Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.

Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija. Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).

Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811). Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.

Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana. Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun Tarum tetap dilaksanakan. Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.

Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.

Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.

Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.

Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.

Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.

Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.

Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya. Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :

1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi

Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.

Setelah diterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun. Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.

Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing. Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun/Manonjaya.

Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya. Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.

Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh. Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :

1. Rd. Ajoe Djajanggadiredja
2. Rd. Mandoeraredja
3. Nyi Rd. Mantri Gandawiredja
4. Rd. Rg. Djajamanggala
5. Rd. Tanoekoesoemah
6. Rd. Wangsadiredja
7. Rd. Soeranegara
8. Rd. Anggadipa
9. Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab
10 Nyi Rd. Armisah
11. Nyi Rd. Limdasari
12. Nyi Rd. Poerwa Apipah
13. Nyi Rd. Siti Mamtri
14 Nyi Rd. Koesoemah
73/5 <4> 12. R. Tumenggung Danoeningrat / Kg. Adipati Wiradadaha IX [Wiradadaha]
Рођење: од 1837, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke IX
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – IX Tahun 1837-1844

(Rd. Tumenggung Danoeningrat)

Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat putra Kg. Adipati Wiratanoebaja ke 12 menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844 wafat, jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau menikah dengan Nyi Rd. Tajoem putri Rd. Soemabrata dari Panjalu dan mempunyai putra-putri 13 orang yaitu :

1. R. Rangga Wiradimanggala,
2. Rd. Wiradiredja
3. Rd. Rangga Tanoewangsa
4. Nyi Rd. Jogjaningrum
5. Nyi Rd. Ratnanagara
6. Nyi Rd. Radjakoesoemah
7. Rd. Danoekoesoemah
8. Rd. Dg. Pranawangsa
9. Nyi Rd. Sariningsih
10 Nyi Rd. Arsanagara
11. Nyi Rd. Bradjadiguna
12. Nyi Rd. Moenaningroem
13. Rd. Soebiakoesoemah

6

121/6 <5> 3. Raden Adam Jaya Manggala [Jaya Manggala]
Рођење: Naringgul Cianjur Selatan,
SUMBER :

1. Catatan Keluarga Cidamar - Cianjur Selatan.

2. Riwayat Keluarga R.H. Moch. Soma (Lurah Sepuh Ds. Sukapura)

3. Catatan Juru Tulis Cidaun - Cianjur Selatan R.H. Heri Hikayat

4. Buku Nasab Induk : (BAB Sukapura) Keluarga P. Jaya Santika (Jakarta)


Ahli Waris Catatan : Tb. Dika Syah Bachri
102/6 <7> 1. Rd. Rangga Wiradimanggala / Kg. Rd. Tumenggung Wiratanoebaja [Wiradadaha]
Титуле : од 1844, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke X
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – X Tahun 1844-1855

(Rd. Rangga Wiradimanggala / Kg. Rd. Tumenggung Wiratanoebaja).

Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem Parakanmuntjang ke III. Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak mempunyai putra-putri.

Setelah wafat, Kg. Dalem sering disebut “Dalem Soemeren”. Jabatan kemudian diserahkan ke adiknya yang bernama R. Tanoewangsa.
113/6 <7> 3. Rd. Rangga Tanoewangsa / Rd. Wiratanoebaja / Rd. Adipati Wiraadegdaha. [Wiradadaha]
Титуле : од 1855, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke XI
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – XI Tahun 1855-1875

Rd. Rangga Tanoewangsa / Rd. Wiratanoebaja / Rd. Adipati Wiraadegdaha.

Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Rangga Tanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha. Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda; 1884-1888). Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan. Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan. Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan hormat. Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya. Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem Bogor”. Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau mempunyai putra-putri sebanyak 34 orang yaitu :

1. Rd. Danoeningrat
2. Nyi Rd. Patimah
3. Nyi Rd. Saribanon
4. Rd. Waktoero
5. Rd. Anhar
6. Nyi Rd. Parinaningrat
7. Rd. Alibasah
8. Rd. Kosasih
9. Rd. Timoer
10 Rd. Rangga Wiratanoewangsa
11. Rd. Asikin
12. Rd. Tasik
13 Rd. Badar
14. Nyi Rd. Radja
15. Nyi Rd. Oerpijah
16. Nyi Rd. Timoer
17. Nyi Rd. Mintarsah
18. Nyi Rd. Mintarsih
19. Rd. Adjrak
20. Nyi Rd. Soehaerah
21. Nyi Rd. Oerpinah
22. Nyi Rd. Pandji
23. Rd. Soedjana
24. Nyi Rd. Soekaenah
25. Nyi Rd. Soekaesih
26. Nyi Rd. Soehaeni
27. Rd. Soemanagara
28. Rd. Widjanggana
29. Rd. Soemitra
30. Rd. Bradjanagara
31. Nyi Rd. Resna
32. Rd. Herdis
33. Nyi Rd. Bintang
34. Rd. Panris
84/6 <5> 1. R. Pringga Digdaha [Wiradadaha]
95/6 <5> 2. R. Indra Wijaya Wadana Tahun 1830 Lahir Tahun 1785 – 1865 [Wiradadaha]
136/6 <5> 4. R. Badja Diguna (Eyang Ngabehi) [Badja Wiguna]

7

161/7 <12> 2. Raden Tirta Manggala (Petinggi Tjisalak) [Manggala]
Рођење: 1838, [https://id.wikipedia.org/wiki/Naringgul,_Naringgul,_Cianjur Naringgul, Cibogo, Cianjur Selatan]
142/7 <9> 1. R. Pringga Wijaya Wadana Tahun 1860, Lahir Tahun 1813 – 1885 [Wiradadaha]
153/7 <11+?> 1. R. Sunardi [Wiradadaha]
174/7 <13> R. Wiranangga [Wiranangga]

8

181/8 <14> 1. Ny. R. Teja Komara [Wiradadaha]
Рођење: 1830изр
192/8 <14> 2. Ny. R. Asmara [Wiradadaha]
203/8 <14> Nyi R. Ikem [Pringga Wijaya] 214/8 <17> Nyi R. Sedih (Eyang Bodas) [Sedih]
225/8 <16> R. Wiranata (Loerah Tjisalak) [Wiranata]