Kentring Manik Mayang Sunda / Kantri Manik Mayang Sunda (Nyimas Padmawati) - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Свадба: <1> ♂ Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Guru Dewapranata) [Pajajaran] d. 1521
Свадба:

KENTRING MANIK MAYANG SUNDA, dalam buku Raden Moending Laja Dikoesoemah (Pleyte, CM, 1906) alias Prabu Surawisesa tertulis "KANTRI MANIK MAJANG SOENDA", dalam bahasa Sansakerta mengandung arti "PERMATA CANTIK KEKUATAN SUNDA", diduga kuat Ia adalah "Geureuha Pawarang" atau Isteri Permaisuri dari Prabu Siliwangi (belum tentu isteri yang pertama). Kantri/Kentring Manik Mayang Sunda ini adalah Puteri Prabu Susuk Tunggal alias Sang Haliwungan Raja Galuh Ke 33 yang memerintah Tahun 1382-1482 di Galuh/Ciamis, yang juga Kakak Kandung dari Prabu Dewa Niskala alias Ningrat Kancana Raja Sunda ke 33 yang memerintah Tahun 1475-1482 di Pakwan/Bogor. Jadi hubungan antara Prabu Siliwangi dengan Kantri/Kentring Manik Mayang Sunda adalah Saudara Sepupu (Sadulur Misan).
Dari Perkawinan tersebut, dikaruniai 5 (lima) orang anak, yaitu :
- Raden Djaka Mangoenlaja
- Raden Goeroe Adji Minadjaja
- Praboe Sena Pakoean
- Praboe Goeroe Gantangan
- Praboe Moending Laja Dikoesoemah alias Praboe Soerawisesa
Diantara 5 (lima) orang putranya tersebut 2 orang menjadi Raja yaitu pertama : Praboe Sena Pakoean alis Praboe Poecoek Umum yang menjadi penguasa Pajajaran wilayah kulon atau Banten yang nantinya berubah menjadi Kesultanan Banten dengan nama Keraton Surosowan yang dibangun oleh Sultan Hasanudin sekitar tahun 1526, dan yang kedua: Praboe Moending Laja Dikoesoemah alias Praboe Soerawisesa yang menjadi penerus Raja Pajajaran yang memerintah pada tahun 1521-1535.
Belum ada data yang pasti mengenai tahun lahir dan wafatnya Permaisuri Kantri/Kentring Manik Mayang Sunda.
2
51/2 <1+1> ♂ 18. Raden Jaka Mangunlaya [Pajajaran]Титуле : изр, Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang.
Свадба: <2> ♀ Dewi Kinawati ? (Dewi Kania) [Tanjung Barat]
Титуле : од 1521, Pajajaran, Bogor, Raja Pajajaran Ke 2
Смрт: 1535
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran atau disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor). Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan. Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane (1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon), Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533, tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan. Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu "penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini zaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja zaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan "petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.3
71/3 <4> ♀ Nyai Ratu Kawunganten [Pajajaran]Свадба: <3> ♂ 14.1.1. Maulana Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Djati II) [Sunan Gunung Djati II] b. 1448 d. 1568
Свадба: <3!> ♂ 14.1.1. Maulana Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Djati II) [Sunan Gunung Djati II] b. 1448 d. 1568
Смрт: 1543, Pakuan
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada zaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
{Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang yang sekarang}]
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman susah).4
121/4 <7+3> ♀ Ratu Winangun / Ratu Winaon [Gunung Jati]Свадба: <5> ♀ 3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana [Azmatkhan]
Титуле : од 1552, Sultan Banten I
Смрт: 1570, Banten
Kesultanan Banten 1527-183
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya Ibukota Surosowan, Kota Intan Bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Arab,[1] Agama Islam Pemerintahan Kesultanan
Sultan - 1527-1552 sebagai bawahan Demak - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin - 1651–1683 Ageng Tirtayasa Sejarah - Serangan atas Kerajaan Sunda 1527 - Aneksasi oleh Hindia-Belanda 1813
Artikel ini bagian dari seri Sejarah Indonesia
Garis waktu sejarah Indonesia Sejarah Nusantara
Prasejarah Kerajaan Hindu-Buddha Kutai (abad ke-4) Tarumanagara (358–669) Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7) Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13) Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9) Kerajaan Medang (752–1006) Kerajaan Kahuripan (1006–1045) Kerajaan Sunda (932–1579) Kediri (1045–1221) Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14) Singhasari (1222–1292) Majapahit (1293–1500) Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15) Kerajaan Islam Penyebaran Islam (1200-1600) Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kesultanan Ternate (1257–sekarang) Kerajaan Pagaruyung (1500-1825) Kesultanan Malaka (1400–1511) Kerajaan Inderapura (1500-1792) Kesultanan Demak (1475–1548) Kesultanan Kalinyamat (1527–1599) Kesultanan Aceh (1496–1903) Kesultanan Banten (1527–1813) Kesultanan Cirebon (1552 - 1677) Kesultanan Mataram (1588—1681) Kesultanan Siak (1723-1945) Kerajaan Kristen Kerajaan Larantuka (1600-1904) Kolonialisme bangsa Eropa Portugis (1512–1850) VOC (1602-1800) Belanda (1800–1942) Kemunculan Indonesia Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (1942–1945) Revolusi nasional (1945–1950) Indonesia Merdeka Orde Lama (1950–1959) Demokrasi Terpimpin (1959–1965) Masa Transisi (1965–1966) Orde Baru (1966–1998) Era Reformasi (1998–sekarang)
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3] Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]Смрт: 1551, Pakuan Pajajaran
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.5
Смрт: 1567
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaa Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf, dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun lagi.Смрт: 1585
DIPATI OEKOER
ASAL OESOEL
Silsilah Dipati Ukur dalam Naskah Babad Bupati Bandung
Dalam naskah Babad Bupati Bandung, silsilah Dipati Ukur dikaitkan dengan dua tokoh yang berpengaruh di Bandung yaitu Adipati Kertamanah yang menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan Raden Haji Abdul Manap atau lebih dikenal sebagain Eyang Mahmud.
Menurut F. De Haan dalam bukunya "Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlansche bestuur tot 1811 deel I" (1910), Batulayang dahulu merupakan sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Bandung, sebelah timur Kabupaten Cianjur, sebelah barat Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara Kabupaten Sukapura. Pada tahun 1802 Kabupaten Batulayang dibubarkan dan wilayahnya kemudian digabungkan dalam Kabupaten Bandung.
Sebagai kabupaten yang bertetangga, hubungan Kabupaten Bandung dengan Batulayang memiliki keterkaitan secara silsilah melalui perkawinan. Sebagaimana keluarga Kabupaten Bandung, silsilah keluarga Batulayang juga mengambil puncuknya yaitu tokoh Prabu Siliwangi.
Silsilah Adipati Kertamanah, yang kemudian menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan juga terkait dengan tokoh Dipati Ukur, puncuknya berawal dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, yang memiliki putra bernama Prabu Kunter/Sunten yang berkuasa di negaranya di Gunung Patuha. Prabu Kunter memiliki anak bernama Prabu Jaya Pakuan. Sedangkan Sang Adipati Kertamanah adalah cucu dari Prabu Jaya Pakuan dari putranya bernama Prabu Larang Jiwa.
Adipati Kertamanah adalah anak tertua dari Prabu Larang Jiwa, sedangka putra bungsunya bernama Kyai Ageng. Sang Adipati Kertamanah yang setelah wafat dikuburkan di muara Sungai Cisondari mempunyai tiga orang putera: Ki Gedeng Rungkang, Ki Gedeng Kerti Manggala dan Raden Tumenggung Suryadarma Kingking. Keterkaitan Sang Adipati Kertamanah dengan Dipati Ukur terjadi melalui perkawinan putra sulungnya yaitu Ki Gedeng Rungkang yang menikah dengan puteri Kyai Dipati Ukur. Garis silsilah anak tertua Sang Adipati Kertamanah ini yang kemudian menurunkan anak keturunannya di daerah Cipatik.
Masih dalam nasakah Babad Bupati Bandung, tokoh Dipati Ukur juga terkait dengan silsilah Dalem Haji Abdul Manap atau Eyang Mahmud. Seperti juga silsilah Adipati Kertamanah, silsilah Raden Haji Abdul Manap juga dimulai dari tokoh Prabu Siliwangi. Dituliskan bahwa Prabu Siliwangi memiliki putra bernama Prabu Guru Gantangan. Putra dari Prabu Gantangan yaitu Prabu Lingga Pakuan memiliki putra yaitu Prabu Panda Ukur. Raden Haji Abdul Manap merupakan cucu dari Prabu Panda Ukur dari putranya yang bernama Dalem Natadireja yang dikuburkan di Sentak Dulang.
Prabu Pandan Ukur menurut nasakah Sadjarah Bandung, adalah penguasa Timbanganten yang merupakan kerajaan bawahan (vasal) Pajajaran. Keturunan Prabu Panda Ukur kemudian adalah Dipati Agung dan Dipati Ukur. Saat Rangga Gempol dicopot dari kedudukannya sebagai Wedana Bupati Priangan, Sultan Agung menunjuk Dipati Ukur sebagai penggantinya. Salah satu tugas besar yang kemudian diberikan kepada Dipati Ukur oleh Sultan Agung adalah menyerang kedudukan Belanda di Batavia. Karena gagal menjalankan tugas yang diembannya, Dipati Ukur kemudian memilih untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Mataram. Pemberontakan ini kemudian berhasil dipadamkan dan Dipati Ukur berhasil ditangkap untuk dibawa ke Mataram.
Pemberontakan Dipati Ukur Terhadap Mataram
Dalam mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati daerah Ukur atau Tatar Ukur. Menurut kelompok saya sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak atau pengkhinat malah sejak awal Dipati Ukur sendiri telah diperintah kan oleh Susuhunan Mataram untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia. Saat itu dalam penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dari Kartasura yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa.
Ketidak sabaran Dipati Ukur untuk langsung menyerang Batavia(kumpeni Belanda) dengan memerintahkan pasukan nya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur tidak bisa mengimbangi kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur tertekan dan melarikan diri ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke Batavia. Bertubi-tubi tekanan yang harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu dengan Bupati Sunda Lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap Batavia karena percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatan yang kuat dibandingkan kekuatan pasukan Mataram.
Karena seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau pengkhinatan yang akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa untuk menangkap Dipati Ukur yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibawa ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram. Dipati Ukur dengan pasukan nya akhirnya mati dibunuh. Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap pemberontak?, dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?.
Alasan Pemberontakan
Yang pertama adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan penyerbuan terhadap Batavia dan beberapa kali itulah kekalahan yang harus diterimanya yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kekuatan pasukannya. Yang kedua adalah setelah kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya melarikan diri ke Hutan tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan akan hukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu. Yang ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran karena hampir beberapa daerah pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati Ukur merasa seperti dijajah oleh kekuatan Jawa saat itu. Yang keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat meminta bantuan Raja Banten untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak mengubris Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk datang ke Batavia menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya membantu Dipati Ukur dan akhirnya kumpeni Belanda menyanggupinya dengan kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalah tekanan dan rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu dalam perspektif sejarah lokal dan untuk sejarah nasional terbentuknya daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak bisa dipisahkan akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari pasundan yang memang ingin sekali tanah pasundan ini dikuasai oleh orang pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh kekuatan lain.
Pasukan Gabungan Demak+Cirebon berhasil menaklukkan Galuh, Banten, Sunda Kalapa dan Pakuan
Kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan di bawah naungan Tarumanegara yang didirikan pada tahun 612 oleh Wretikandayun dan berhasil ditaklukan oleh kerajaan Islam Cirebon pada tahun 1528. Cerita lengkapnya sendiri adalah bahwa pada tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra dari Sultan Huda di Samudera Pasai.Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, olehSultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon, membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang). Dan puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan.
VOC Menguasai Jayakarta (Sunda Kalapa), Mataram berambisi menguasai Tatar Sunda dengan terlebih dahulu menyerang VOC Menugaskan Dipati Ukur
Dari beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda. Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram. Sontak saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali ditahun 1629 tetap gagal. Pemberontakan Dipati Ukur Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur) membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa.
Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Kegagalan Dipati Ukur Menyerang VOC di Batavia
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka. Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam ‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dipati Ukur Berencana Membentuk Kabupaten Se-Tatar Sunda untuk menjadi "Kabupaten Mandiri"
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang,Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian lagi tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Dipati Ukur Wafat
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba bagus Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian di bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat. (http://www.bandungkab.go.id/arsip/2413/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung)
Sumber :
- PENELUSURAN SEJARAH Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 – 2010, Daftar PustakaEkadjati, E,S. (1982).
- Sejarah Limbangan-Bandung 1.
- Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah: Jakarta Hakim, Z. (2012).
- Pribadi Dipati Ukur Pahlawan Tatar Sunda.
- Journal.unas.ac.id/index.php/sawo-manila/article[Diakses 30 September 2013]
6
351/6 <16+?> ♂ 2.1.1.1. Raden Aryawangsa / Sultan Muhamad Wangsa Adipati Pakuan [Azmatkhan]Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.Смрт: 1579
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan :
"Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala", yang artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota (pakuan) Pajajaran baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan Pajajaran merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan Pajajaran yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan berakhirlah zaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.Смрт: 1596, Palembang
7
631/7 <37+?> ♀ 2. Nyimas Harim Hotimah [Pajajaran]Смрт: Makamnya di Kampung Cijambe, Legok Paseh, Sumedang.
Професија : Patih Prabu Geusan Ulun
Професија : Menikah : 1583
Професија : од 1580, Penasehat Kerajaan Sumedang Larang
Професија : од 1610, Mahaguru Perguruan "Sumedang Kahyangan"
Смрт: 1660, Dusun Serang - Cimalaka - Sumedang
Сахрана: Makam Kramat Gunung Keling / Sakawayana
Artikel tentang Raden Adji Mantri, Santowan Kandang Serang, Tanduran Sawita / Kyai Perlaya, Kyai Singamanggala dan Kyai Tanujiwa, sebetulnya sudah ada pada Naskah Kuno "Buk Sakawayana" yang ditulis ulang pada tahun 1841 oleh Jibah pada hari kamis 14 Rayagung, tahun Je, Hijriah Nabi SAW 1262 (lihat cipakudarmaraja.blogspot.com, ditulis oleh : Tutun Anwar Muh. Dahlan, Lembah Gunung Keling Kamis, 18 juli 2011).
Referensi lainnya adalah tertulis dalam Buku "Soendasche Schetsen", halaman 120, karya : Cornelis Marinus Pleyte, 1905, kemudian dikutif oleh F. De Haan dalam bukunya yang berjudul "PRIANGAN", 1910. Selain itu dalam sebuah artikel koran Locomotief terbitan 22 Mei 1905 memberitakan tentang tokoh-tokoh tersebut, sebagai berikut :
Kutipan Koran De Locomotief, tanggal 22 Mei 1905
Terjemahannya kurang-lebih sebagai berikut :
Raden Adji Mantri yang menjadi calon penerus Pajajaran masih hidup setelah penyerbuan Keraton Pakuan (Pajajaran), kemudian melarikan diri dan pindah ke Sumedang, kemudian disebut Sumedang Suci. Dia sudah menikah di sana dan memiliki seorang putra bernama Santowan Kandang Serang / Sorang. Kemudian Santowan Kadang Serang mempunyai 3 anak laki-laki, yaitu : Kjai Pralaya, Kjai Singa Manggala dan Kjai Tanudjiwa, Mereka kemudian menetap di Jakarta, tiba pada saat penaklukan kota (penyerbuan Batavia oleh Pasukan Kerajaan Mataram ke2 Mei 1629), bersama dengan Pangeran Jayakarta ketika dia berusaha mengusir VOC dari Jakarta. Jasa dan dedikasi mereka kepada VOC cukup tinggi, dengan telah menyelesaikan tugas membuka Kota Tahi, Petjenongan (Welvreden), Bidara Tjina (Mester), Tjipinang, Bantardjati dan Kampong Baroe.
Dijelaskan juga bahwa sebagian penduduk Pakuan (Zaman Pajajaran) pindah ke Pelabuhan Ratu, mengingat Kerajaan Pajajaran sudah burak/bubar.Титуле : од 23 јун 1596, Banten, Sultan Banten IV
Смрт: 10 март 1651, Pemakaman Kenari Banten
berputra :
Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) Ratu Dewi Ratu Ayu Pangeran Arya Banten Ratu Mirah Pangeran Sudamanggala Pangeran Ranamanggala Ratu Belimbing Ratu Gedong Pangeran Arya Maduraja Pangeran Kidul Ratu Dalem Ratu Lor Pangeran Seminingrat Ratu Kidul Pangeran Arya Wiratmaka Pangeran Arya Danuwangsa Pangeran Arya Prabangsa Pangeran Arya Wirasuta Ratu Gading Ratu Pandan Pangeran Wirasmara Ratu Sandi Pangeran Arya Jayaningrat Ratu Citra Pangeran Arya Adiwangsa Pangeran Arya Sutakusuma Pangeran Arya Jayasantika Ratu Hafsah Ratu Pojok Ratu Pacar Ratu Bangsal Ratu Salamah Ratu Ratmala Ratu Hasanah Ratu Husaerah Ratu Kelumpuk Ratu JiputRatu Wuragil
8
851/8 <65+?> ♂ 1. Sutra Mulut [Pajajaran]berputra :
Abul Fath Abdul Fattah Ratu Panenggak Ratu Nengah Pangeran Arya Elor Ratu Wijil Ratu Puspita Pangeran Arya Ewaraja Pangeran Arya Kidul Ratu Tinumpuk Ratu Inten Pangeran Arya Dipanegara Pangeran Arya Ardikusuma Pangeran Arya Kulon Pangeran Arya Wetan Ratu Ayu Ingalengkadipura
Masa Raja / Sultan Banten ke-5
Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten yang dibuat dari besi dan Timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa.
1. BABAD Banten
2. Catatan Keluarga Drs. R (Tb) H. Achmad Arslan Jayasentika, M. Sc (Juru Sejarah Bani Jayasentika).
3. Catatan Keluarga R (Tb). Dika Syah Bachri (Sekretaris Jendral Dzurriyyat Panembahan Maulana Yusuf Pekalangan Gede 1570 - 1580, Kasunyatan - Banten).
4. Buku Nasab Induk : Keluarga Pangeran Jaya Sentika (Halim)