Prabu Suryakancana / Prabu Ragamulya (Panembahan Pulasari) d. 1579 - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Смрт: 1579
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan :
"Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala", yang artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Naskah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut adalah memberitakan bahwa benteng kota (pakuan) Pajajaran baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan Pajajaran merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan Pajajaran yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan berakhirlah zaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Kata "palangka" secara umum berarti tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan), yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata sriman.2
31/2 <1+?> ♀ 2. Nyimas Harim Hotimah [Pajajaran]Смрт: Makamnya di Kampung Cijambe, Legok Paseh, Sumedang.
Професија : Menikah : 1583
Професија : од 1580, Penasehat Kerajaan Sumedang Larang
Професија : од 1610, Mahaguru Perguruan "Sumedang Kahyangan"
Смрт: 1660, Dusun Serang - Cimalaka - Sumedang
Сахрана: Makam Kramat Gunung Keling / Sakawayana
Artikel tentang Raden Adji Mantri, Santowan Kandang Serang, Tanduran Sawita / Kyai Perlaya, Kyai Singamanggala dan Kyai Tanujiwa, sebetulnya sudah ada pada Naskah Kuno "Buk Sakawayana" yang ditulis ulang pada tahun 1841 oleh Jibah pada hari kamis 14 Rayagung, tahun Je, Hijriah Nabi SAW 1262 (lihat cipakudarmaraja.blogspot.com, ditulis oleh : Tutun Anwar Muh. Dahlan, Lembah Gunung Keling Kamis, 18 juli 2011).
Referensi lainnya adalah tertulis dalam Buku "Soendasche Schetsen", halaman 120, karya : Cornelis Marinus Pleyte, 1905, kemudian dikutif oleh F. De Haan dalam bukunya yang berjudul "PRIANGAN", 1910. Selain itu dalam sebuah artikel koran Locomotief terbitan 22 Mei 1905 memberitakan tentang tokoh-tokoh tersebut, sebagai berikut :
Kutipan Koran De Locomotief, tanggal 22 Mei 1905
Terjemahannya kurang-lebih sebagai berikut :
Raden Adji Mantri yang menjadi calon penerus Pajajaran masih hidup setelah penyerbuan Keraton Pakuan (Pajajaran), kemudian melarikan diri dan pindah ke Sumedang, kemudian disebut Sumedang Suci. Dia sudah menikah di sana dan memiliki seorang putra bernama Santowan Kandang Serang / Sorang. Kemudian Santowan Kadang Serang mempunyai 3 anak laki-laki, yaitu : Kjai Pralaya, Kjai Singa Manggala dan Kjai Tanudjiwa, Mereka kemudian menetap di Jakarta, tiba pada saat penaklukan kota (penyerbuan Batavia oleh Pasukan Kerajaan Mataram ke2 Mei 1629), bersama dengan Pangeran Jayakarta ketika dia berusaha mengusir VOC dari Jakarta. Jasa dan dedikasi mereka kepada VOC cukup tinggi, dengan telah menyelesaikan tugas membuka Kota Tahi, Petjenongan (Welvreden), Bidara Tjina (Mester), Tjipinang, Bantardjati dan Kampong Baroe.
Dijelaskan juga bahwa sebagian penduduk Pakuan (Zaman Pajajaran) pindah ke Pelabuhan Ratu, mengingat Kerajaan Pajajaran sudah burak/bubar.3
151/3 <5+?> ♂ 1. Sutra Mulut [Pajajaran]4
Титуле : Bupati Sumedang Ke 3 (1633 – 1656)
PANGERAN RANGGA GEMPOL II
Setelah wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.
Bupati Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.Титуле : < 1680, Luitenan, Hilang dihutan Ciluar-Buitenzorg dlm perjalanan ke Sumedang
Keberadaan Ki Djasinga di Jasinga
"Ki Djasinga" atau "Dalem Bayah" adalah nama julukan yang diberikan keluarga kepada Raden Mas Tirta Kusumah putra ke sebelas dari Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata IV karena menghilang dari Sumedang Larang, mengembara, beraktivitas dan menetap di daerah Djasinga (100 tahun kemudian Jasinga menjadi Kewedanaan Bogor/Buitenzorg). Ki Djasinga dikalkulasi lahir antara tahun 1611 sd 1616 (dihitung dari tahun kelahiran Pengeran Ranggagede tahun 1580 + nikah diusia 20 tahun + anak no 11). Di Djasinga, Ki Djasinga tidak sendirian, karena ada nama lain yang berasal dari Sumedang yaitu Kyai Singa Manggala saudara Kandung Kyai Tanudjiwa yang membuka wilayah Kampung Baru (Bogor) bekas Ibu Kota Kerajaan Pajajaran (Pakuan) pada tahun 1687. Menurut Pleyte dalam bukunya "Soendasche Schetsen", hal 120 :had Tanoedjiwa twee broers, Pralaya (sic) en Singamanggala. Dezen laatsten naam vind in do Tanggerangsche bovenlanden (Tanudjiwa memiliki dua saudara lelaki, Pralaya (sic) dan Singamanggala. Nama-nama tersebut berasal/ditemukan/berdomisili di daerah dataran tinggi Tanggerang). Yang dimaksud dataran tinggi Tangerang adalah wilayah sekitar Rumpin, Jasinga atau Lebak Banten.
Kyai Singa Manggala menurut kalkulasi lahir pada tahun 1612 dan bersama-sama dua saudaranya yaitu Kyai Perlaya dan Kyai Tanudjiwa ikut bergabung dalam rombongan tentara pasukan Dipati Ukur yang menyerang Batavia Ke 2 di tahun 1629. Pada tahun 1629 ini, baik Kyai Singa Manggala, maupun Ki Djasinga baru berusia 17-20 tahunan. (Lihat Koran De Locomotief, tanggal 22 Mei 1905)
"Ki Djasinga" di Jasinga menikah dengan Putri Maulana Yusuf, Sultan Banten ke 2 (1570-1582) yang bernama Ratu Ayu Kusumah / Ratu Wiyos, berputra Rd. Mas Urwa (Buyut Sampang) yang menikah dengan Putri ke 6 Kyai Singa Manggala yang bernama Nyai Enis Raksadikara Uak/Bude_nya MA. Salmun (Sastrawan Sunda yang menetap di Bogor), berputra 5 orang. Mengapa Ki Djasinga menikahkan putranya dengan putri Kyai Singa Manggala? Asumsi saya adalah :
- Ibunda Ki Djasinga adalah isteri ke dua Pangeran Rangga Gede yang bernama Nyimas Arsidah (Entien), putri Raden Sastra Pura Kusumah (Sutra Bandera) adik kandung Raden Aji Mantri Cucu Prabu Ragamulya (1567-1569), jadi Nyai Enis Raksadikara masih keponakan Ki Djasinga, sedangkan Ki Djasinga masih saudara Sepupu Kyai Singa Manggala;
- Kedatangan Ki Djasinga di Jasinga dimungkinkan berbarengan dengan Kyai Singa Manggala yang tergabung dalam pasukan Dipati Ukur yang menyerang Batavia ke 2 tahun 1629;
- Kedatangan/keberadaan Ki Djasinga, Kyai Singa Manggala dan Kyai Perlaya ke Jasinga, menempuh jarak yang cukup jauh (Sumedang-Jasinga, 208 km ditempuh 35 hari jalan kaki/7 hari berkuda) dan mengandung resiko besar selama di perjalanan, jadi alasan utama mereka ke Jasinga adalah Napak Tilas / Berziarah / Menelusuri Pusat Pemerintahan Pajajaran pada masa Kakek/Buyutnya Prabu Ragamulya di daerah PULOSARI (nama gunung dan nama tempat) yang dijadikan basis pertahanan Pajajaran dari ancaman Kesultanan Banten. Jadi sebagai pemuda dewasa yang masih keturunan Keluarga Raja Pajajaran terakhir, menyimpan rasa penasaran yang besar untuk mengetahui secara langsung (bukan dari cerita turun temurun) mengenai tempat atau minimal peninggalan leluhurnya yang pernah menjadi Raja di PULOSARI.
Ki Djasinga menjadi Abdi Sultan Ageng Tirtayasa
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) di Banten, terjadi kerusuhan di daerah Bayah, Lebak, Dalem Jasinga atau Ki Jasinga atau Rd. Mas Tirtakusumah diminta oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengendalikan situasi di Lebak Banten, maka sampai akhir hayatnya Rm. Tirta Kusuma atau Ki Jasinga beserta sebagian keluarganya menetap di Wilayah Banten
Silsilah Keluarga
Generasi ke-3 Silsilah Pangeran Santri Sumedang Larang
1.1.1 Pangeran Rangga Gede KOESOEMADINATA, IV 1.1.1.1 Dlm. Aria Bandajoeda . 1.1.1.2 Dlm. Djajoeda . 1.1.1.3 Dlm. Wargaita . 1.1.1.4 Dlm. Wangsasoebaja . 1.1.1.5 Dlm. Rangga Gempol II KOESOEMADINATA, V 1.1.1.6 Dlm. Loerah . 1.1.1.7 Rd. Singamanggala . 1.1.1.8 Ki Wangsaparamadja . 1.1.1.9 Ki Wiratama . 1.1.1.10 Ki Wangsaparadja . 1.1.1.11 Ki Djasinga 1.1.1.12 Ki Wangsasabadra . 1.1.1.13 Kiyahi Anggatanoe . 1.1.1.14 Ki Martabaja . 1.1.1.15 NM. Anggadasta . 1.1.1.16 NM. Nataparana . 1.1.1.17 NM. Arjapawenang . 1.1.1.18 NM. Martarana . 1.1.1.19 NM. Djagasatroe . 1.1.1.20 NM. Wargakarti . 1.1.1.21 NM. Bajoen . 1.1.1.22 NM. Wangsapatra . 1.1.1.23 NM. Warga Komara . 1.1.1.24 NM. Joedantaka . 1.1.1.25 NM. Toean Soekadana . 1.1.1.26 NM. Oetama . 1.1.1.27 NM. Kawangsa . 1.1.1.28 NM. Wirakarti . 1.1.1.29 NR. Nalawangsa .
1.1.1.11 Ki Djasinga 1.1.1.11X Ratu Ayu Wiyos / Ratu Ayu Kusuma Putri Panembahan Maulana Yusuf, Banten
1.1.1.11.1. Rd. Mas Urwa (Buyut Sampang) 1.1.1.11.1X Nyai Enis Raksadikara Putri Kyai Singa Manggala kakak kandung Kyai Tanujiwa / Ki Mas Tanu (Hoofd Demang Bogor, 1689-1705) 1.1.1.11.1.1.Rd. Mas Soleman 1.1.1.11.1.2.Rd. Mas Samaun 1.1.1.11.1.3.Nyai Sabariyah di Rangkasbitung 1.1.1.11.1.4.Nyai Sariyah di Ciseeng1.1.1.11.1.5.Nyai Asih di Karawang
Титуле : < 1680, Sersan
Generasi Ke 4
7.1.1.2. Kyai Singa Manggala / Sersan Kertasinga / Tmg. Singaraksa / Kiyai Nargan, berputra :
7.1.1.2.1. Nyai Bentang 7.1.1.2.2. Mas Kalipa 7.1.1.2.3. Mas Komali 7.1.1.2.4. Nyai Epoh 7.1.1.2.5. Nyai Mirah 7.1.1.2.6. Nyai Enis Raksadikara 7.1.1.2.7. Asisten Wadana Pabyosongan Abu Said / Asisten Abud 7.1.1.2.8. Nyai Kamsah 7.1.1.2.9. Nyai Fatimah 7.1.1.2.10. Mas Narman 7.1.1.2.11. Nyai Sarfah 7.1.1.2.12. Mas Kasan 7.1.1.2.13. Nyai Suwita 7.1.1.2.14. Nyai Sariyah
Титуле : < 1680, Luitenant
Титуле : од 1689, Bupati Kampung Baru / Bogor ke 1 (1689-1705)
Смрт: фебруар 1723, Cape of Good Hope (South Africa), De Haan, Deel 3, p. 277
Dari beberapa referensi yang saya baca, dibawah ini saya uraikan beberapa analisa mengenai keberadaan Kyai Tanujiwa atau Ki Mastanu atau Raden Kyai Tanujiwa beserta saudaranya dan hal-hal yang melatar-belakangi aktivitasnya terutama pada saat dia dan saudaranya menjadi opsir Voc, kemudian menjadi perwira, dan bahkan akhirnya menjadi Regent/ Adipati / Bupati sehingga melahirkan sindiran dalam bentuk pantun-lagu "Ayang-Ayang-Gung".
Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.
Cuplikan lirik ini adalah ekspresi kesedihan masyarakat Sunda atas hilangnya Kerajaan Pajajaran di muka bumi (Pajajaran / Bogor Ngahyang / Menghilang), Sumber : Youtube, Neneng Dinar.
Садржај |
ASAL-USUL

KYAI TANUJIWA bersaudara adalah generasi ke 3 dari Raja Pajajaran terakhir yaitu PRABU SURYAKENCANA/RAGAMULYA, silsilahnya adalah : TANUJIWA putera SANTOWAN KADANG SERANG putera RADEN AJIMANTRI putera PRABU SURYAKENCANA. Kalau Pajajaran tetap berdiri, tidak mustahil dia sebagai nominator penerus tahta berikutnya. (Rujukan:"BUK SAKAWAYANA" disalin tahun 1841 dari naskah < 1579 M >).
Kyai Tanujiwa memiliki 2 kakak laki-laki : kakak pertama bernama KYAI SINGA MANGGALA dan kakak tertua bernama TANDURAN SAWITA/KYAI PERLAYA, F. De Haan, dalam bukunya yang berjudul "Priangan", mengutip buku "Soendasche Schetsen", Pleyte, p 120 : (2) Volgens Pleyte, Soendasche schetsen p. 120, had Tanoedjiwa twee broers, Pralaya (sic) en Singamanggala. Dezen laatsten naam vind in do Tanggerangsche bovenlanden [(2) Menurut Pleyte, dalam "Sketsa Soendasche hal. 120, Tanudjiwa memiliki dua saudara lelaki, Pralaya (sic) dan Singamanggala. Nama-nama tersebut berasal/ditemukan/berdomisili di daerah dataran tinggi Tanggerang].
Dalam sebuah artikel / blog dari Trah Keturunan Sumedang Larang dinyatakan bahwa dalam silsilah keluarga besar keturunan Kerajaan Sumedang Larang tidak ditemukan sosok Tanujiwa, akan tetapi nama yang diawali "Tanu" memang ada dan popular pada masanya seperti : Tumenggung Tanumadja (1706 – 1709) dan Adipati Tanubaya (1773-1775). Dalam hal ini menguatkan analisa bahwa Kyai Tanujiwa bukan Keturunan Sumedang Larang melainkan orang Pakuan/Pajajaran yang menetap di Sumedang dan diberi nama oleh orang tuanya mengikuti nama-nama yang popular di Sumedang pada jaman itu;
Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah (1567-1569 M), Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena banyak Raja-raja Pajajaran dan Kerajaan Galoeh-Pakuan berasal dari keturunan Kerajaan Talaga sebagai asal mula kerajaan Sumedang Larang. Pada saat Kesultanan Banten dbawah Kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf (putra Sultan Hasanuddin) menyerang Pajajaran, Prabu Suryakencana Ragamulya memerintah tidak di Ibukota Pajajaran di Pakuan (Bogor) tetapi di daerah Pulasari (Kabupaten Pandeglang, Banten), oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 M, akan tetapi dari tahun 1578 Prabu Suryakencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.
Pada saat yang sama, di tahun 1578 M Prabu Suryakencana memerintahkan para Senopatinya untuk menyelamatkan Putra Mahkotanya yang bernama Raden Ajimantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya selain Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana yang diboyong pasukan Banten dan diserahkan ke Sultan Maulana Yusuf di Banten.
Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata I merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran [1]
Mulai tahun 1610 sampai akhir masa colonial Belanda 1940, Sumedang menjadi wilayah Regentschap yang dipimpin oleh setingkat Regent / Bupati, dimana Bupati yang memerintah lebih dominan berasal dari keturunan langsung Kerajaan Sumedang Larang, sedangkan keturunan dari Prabu Ragamulya yang notabene sudah memberikan sebagian Pusaka Kerajaan Pajajaran, dan para Senopatinya sudah membantu berjuang melawan musuh-musuhnya, relative ditiadakan;
Layaknya keturunan Raja, Tanujiwa memiliki pendidikan, keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk ukuran rakyat biasa. Dia mengetahui secara pasti sejarah leluhurnya, nalar dengan kondisi terkini bahwa Kerajaannya sudah burak, sadar keadaan bahwa sekarang Kerajaan leluhurnya yang digdaya sudah beralih kepada Kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran, termasuk Kerajaan Sumedang Larang dimana dia dan keluarganya sekarang tinggal. Dia juga mengetahui dan menguasai medan wilayah Pajajaran termasuk Pakuan dan Batavia, mengerti tata pemerintahan dan politik kerajaan, ahli dalam beladiri dan kemiliteran;
Sebagai keturunan langsung Raja Pajajaran, Kyai Tanujiwa berserta kakak-kakanya pasti memiliki obsesi dan ambisi ingin menghidupkan kembali kerajaan leluhurnya yang sudah 50 tahun ditinggal oleh pasukan Banten setelah menghancurkan Pajajaran tahun 1579 M, disisi lain wilayah Batavia yg dulunya sebagai andalan Pajajaran yang sekarang dikuasai Banten, akhirnya pada tahun 1619 dapat dikuasai VOC, semakin memperkuat keinginannya untuk memainkan peran politiknya pada jaman yang tidak menentu;
KARIER
- Menurut catatan "Buk Sakawayana", Sunan Amangkurat I Sultan Mataram ke 4 (1646-1677) menikah dengan saudara sepupu Kyai Tanujiwa bersaudara yaitu Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon I, kalau melihat kekerabatan dan tahun kelahirannya tidak tertutup kemungkinan mereka diikut-sertakan sebagai prajurit Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Adipati Ukur yang berangkat pada periode kedua Mei 1629. Kyai Tanujiwa dikalkulasi lahir pada tahun 1615, Kyai Singa Manggala dikalkulasi lahir pada 1612, dan kakak tertuanya Tanduran Sawita dikalkulasi lahir pada tahun 1610, jadi umur mereka pada saat Mataram menyerang Batavia ke 2 adalah Kyai Tanujiwa antara 13-16 tahun, Kyai Singa Manggala antara 17-20 tahun, dan Kyai Perlaya antara 19-22 tahun.
- Pasca perang Mataram dengan VOC pada tahun 1629 dan Mataram mengalami kekalahan, dimana prajurit yang selamat pulang ke daerahnya masing-masing, sebagian lagi malah menetap di pinggiran Batavia dengan cara membabat hutan membuat hunian baru yang akhirnya sekarang dikenal dengan daerah MATRAMAN, kemungkinan besar di tempat inilah Kyai Tanujiwa bersaudara menetap;
- Langkah politik berikutnya, Kyai TANUJIWA /TANUWIJAYA, bersama kedua kakaknya TANDURAN SAWITA/KYAI PERLAYA dan KYAI SINGA MANGGALA di Batavia bekerja pada 7 Gubernur Jenderal Hindia Belanda : 1) Joan Maetsuyker (1653-1678), 2) Rycklof van Goens (1678-1681), 3) Cornelis Speelman (1681-1684), 4) Johannes Camphuys (1684-1691), 5) Willem van Outhoorn (1691-1704), 6) Joan van Hoorn (1704-1709), 7) Abraham van Riebeeck,sebelum jadi Gubernur (1703, 1704)
- Setelah menjadi opsir selama kurang lebih 35 tahun, Kyai Tanujiwa beserta 2 orang kakaknya telah berhasil membuka wilayah baru di Batavia yaitu daerah Kota Tahi, Patjenongan, Bidara Tjina (Mester), Tjipinang, Bantardjati dan Kampong Baroe (Bogor), akhirnya Gubernur Jenderal VOC pada saat itu memberikan penghargaan kenaikan pangkat kepada Kyai Tanujiwa menjadi Leuitenant Der Javanen (Letnan orang-orang Jawa), juga kepada Tanduran Sawita menjadi Luitenant Pangiering, dan kakaknya yang lain Kyai Singamanggala menjadi Sersan.
- Atas keberhasilannya membuka daerah selatan Batavia yang bernama Kampung Baru atau Parung Angsana, Luitenant Tanujiwa diangkat menjadi penguasa Kampung Baru / Pakuan / Buitenzorg selama 6 tahun (1689-1705) dalam usia 74-80 tahun. Pencapaiannya tersebut membuktikan bahwa dia sebagai penerus kerajaan Pajajaran yang sudah runtuh 120 tahun sebelumnya dapat menghidupkannya lagi dalam dunia yang sudah berbeda, karena pada dasarnya semua kerajaan di Nusantara pada saat itu sudah padam semua.
- DIKOTOMI AYANG-AYANG-GUNG : Pada saat Kyai Tanujiwa atau Leutenan Tanujiwa menjadi Bupati Kampung Baru, ada sebagian kalangan pribumi yang tidak suka dengan keberhasilannya, lagu tersebut sudah pasti diciptakan bukan oleh rakyat biasa (mungkin kalangan atas pribumi) akhirnya melontarkan sindiran dalam bentuk lagu-pantun "Ayang-ayang Gung" lagu tersebut begitu popular didaerah asalnya sampai menyebar ke masyarakat jelata di Kampung Baru yang pada akhirnya lagu tersebut merupakan sangsi social masyarakat kepada Raden Tanujiwa keturunan langsung Pajajaran, orang Asli Pakuan / Kampung Baru;
- Menurut sumber yang diperoleh, Haji Raden Perwatasari (De Haan menulis : Paap Perwata) adalah Putera Raden Aria Wiratanu I dari isteri kedua (Putri Raja Jampang Manggung). Ia mendapatkan pendidikan bermacam-macam ilmu dari Raden Wiradimanggala (Dalem Cikondang), kalaulah informasi ini benar, Raden Perwatasari (yang dianggap VOC Pengacau) adalah masih keturunan Prabu Siliwangi, sama seperti Kyai Tanujiwa yang juga keturunan Prabu Siliwangi. Semula Kyai Tanujiwa bersama-sama Scipio diperintahkan Gubernur Jenderal untuk memburu Paap Parwata sejak tahun 1703, akan tetapi karena timbulnya rasa "satu Pajajaran", akhirnya Kyai Tanujiwa malah melindungi/berkomplot/berkonspirasi dengan Perwatasari, hal ini ketahuan oleh Scipio, sehingga pada 6 Januari 1705 ditangkap dan ditahan di Kastil Batavia dan diberhentikan dari jabatan Regent/Demang Kampong Baroe pada 23 Februari 1705, kemudian di buang ke Tanjung Harapan-Afrika Selatan bersama 5 orang lainnya, berangkat menggunakan Kapal "Lockhorst" pada 22/23 September 1705, sedangkan Haji Perwatasari tertangkap dan dibunuh pada tanggal 12-07-1707 di Kartasura, jasadnya dimakamkan di Makam Keramat Teja Kembang, Cijeruk, Dayeuh Luhur, Cilacap.
MENJADI TIM EKSPEDISI VOC
Keputusan Gubernur Jenderal J. Camphuys 21 Juli 1687, dimana gubernur memerintahkan Luitenant Pattinggi dari Ambon dan Luitenant Tanoedjiwa asal Soemedang untuk membantu 3 orang Belanda (termasuk Sersan SCIPIO) untuk melakukan ekspedisi ke wilayah dataran tinggi (bovenlanden) di selatan Batavia ("Last op de “Javaense hoofden en mindere regenten” in de Jakatrasche zuider-bovenlanden de behulpzame hand te bieden aan den Ambonschen luitenant, patinggi, en aan den luitenant eener Javaansche kompagnie, Tanah Djiwa, met hun gevolg „waeronder 3 Hollanders”)
Pada tahun 1667 Mataram menyerahkan sebagian wilayahnya kepada VOC termasuk wilayah Pakuan sebagai hutang kekalahan pada tahun 1629, 20 tahun kemudian pada tahun 1687 Johannes Camphuys Gubernur Jenderal VOC, memerintahkan Luitenant Tanujiwa beserta saudaranya dengan opsir VOC Sersan Scipio untuk melakukan ekspedisi yang berturut-turut ke wilayah selatan Batavia. Apa yang menjadi alasan utama VOC melakukan ekspedisi ke selatan Batavia? Analisa saya sebagai berikut :
- Kyai Tanujiwa bersaudara sudah bekerja di VOC selama 38 tahun (1629-1687), dengan masa kerja selama itu kemungkinan besar rencana membuka wilayah selatan Batavia datang dari Kyai Tanuwijaya bersaudara, karena mereka adalah ahli waris Kerajaan Pajajaran, dengan sendirinya dalam usianya yang tidak muda lagi mereka menginginkan kerajaannya hidup lagi walaupun harus bekerja-sama dengan VOC;
- Bangsa barat yang pernah berkunjung ke Pakuan ibu kota kerajaan Pajajaran adalah Portugis (lihat catatan Tome Pires dalam "Suma Oriental", dimana informasi dari Portugis mengenai Catatan perjalanan Tome Pires pada saat itu belum terungkap ( Padrau ditemukan pada tahun 1918,, ketika orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota), sehingga tidak mungkin mereka mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wilayah selatan Batavia selain dari Kyai Tanujiwa bersaudara;
- Pada saat itu wilayah Jawa Barat yang dikuasai VOC hanya Batavia, dengan sumber daya alamnya yang semakin menipis hal ini tidak menguntungkan bagi mereka, akhirnya VOC harus mengembangkan wilayah untuk menambah komoditas yang lebih banyak lagi;
Atas dasar analisis diataslah yang pada akhirnya Luitenan Tanujiwa berhasil membuka perkampungan baru di bekas wilayah Kerajaan Pajajaran. Usia Tanujiwa dan saudaranya pada saat itu sudah agak lanjut (Tanujiwa 73 tahun, Kyai Singa Manggala 75 Tahun dan Kyai Tanduran Sawita 77 tahun dan menghilang di hutan Ciluar pada exspedisi pertama);



MEMBUKA KOTA BOGOR
Setelah sekian lama hilang dari percaturan historis yang berarti kurang lebih selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan. Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah tersebut terlebih dahulu. Untuk meneliti wilayah dimaksud, dilakukan ekspedisi pada tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa, seorang Sunda terah Sumedang.
Dari ekspedisi tersebut serta ekspedisi lainnya, tidak ditemukannya pemukiman di bekas ibukota kerajaan, kecuali di beberapa tempat, seperti Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana. Pada tahun 1687 juga, Tanujiwa yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, akhirnya berhasil mendirikan sebuah perkampungan di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal tempat kelahiran Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Kampung-kampung lain yang didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya adalah: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dengan adanya Kampung Baru menjadi semacam Pusat Pemerintahan bagi kampung-kampung lainnya.
Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, De Haan memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745.
Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.
NAMA "BOGOR dan BUITENZORG
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.
Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.
Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam. Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.
Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :
- . Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
- . Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
- . Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
- . Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
- . Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.
Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur). Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia . Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon , dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius meneluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.
Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor . Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar. Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanujiwa ini (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru terjadi tahun 1745. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena sersan itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah Tanoedjiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika dan Perwatasari tertangkap dan dibunuh di Cilacap.
Orang saling menyindirnya bahwa ia mengejar harapan kosong dan "bermesraan" dengan orang ompong (Perwatasari). Yang jelas, penyusun babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan Tanujiwa sebagai "Bupati Pertama". Sebaliknya para penulis Belanda menyebut Tanujiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor. Saleh Danasasmita (1983) juga menyebutkan bahwa malam hari tanggal 4 & 5 Januari 1699 Gunung Salak meletus dengan iringan gempa yang sangat kuat. Sebuah catalan dari tahun 1702 melaporkan akibat-akibat yang ditimbulkannya:
- Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (Pakuan) yang tadinya berupa hutan besar berubah menjadi lapangan luas terbuka tanpa pohon-pohon sama sekali.
- Permukaan tanah tertutup tanah liat merah halus. Di beberapa tempat tanah telah mengeras hingga menyulitkan orang berjalan di atasnya.
- Aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Tidak terdapat berita mengenai keadaan penduduk sepanjang aliran sungai itu.
Abraham Van Reebeck-lah yang kemudian mcmbersihkan sumbatan tersebut, tetapi ia juga mengajukan usul agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai imbalan. Pada tahun 1703 ia tidak mencatat tentang sisa-sisa letusan itu. Setahun kemudian ia mendirikan pondok peristirahatan di daerah Batutulis, karena Gunung Salak tidak dianggap menakutkan lagi.
Pada tahun 1709, Van Reebeck menyuruh membangun jalan ke arah pantai selatan. Disini Pada tahun 1711 atas biaya Wali Negeri didirikan 4 daerah yaitu Gunung Guru, Citarik, Pondok ope dan Cidurian. Daerah-daerah ini menjadi tempat pelarian beberapa orang asal Banten yang kurang puas terhadap kewajiban mengumpulkan indigo, benang katun dan penanaman kopi.
Pada tahun 1744 yaitu dari tanggal 20 Agustus sampai Septcmber, Gubernur Baron Van Imhoff mengadakan peninjauan. Ia menaruh perhatian Pada Kampung Baru (kelak menjadi Buitenzorg) yang dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian dan tempat perislirahatan Gubernur Jenderal. Selanjutnya Pada tahun 1745, Baron mengajukan petisi kepada Dewan Perwakilan Resmi Pemerintahan Hindia Belanda yang isinya :
- Daerah Kampung Baru diubah menjadi suatu tempat peristirahatan gubernur Jenderal dan Staf VOC.
- Menjadikan derah ini daerah pertanian dan perkebunan sebagai contoh daerah lain.
- Merencanakan perubahan perilaku masyarakat yang dianggap malas (pada waktu itu), menjadi masyarakat yang mempunyai kemampuan atau keahlian misalnya ambtenar (pegawai negeri), ahli pertanian, ahli perkebunan dan sebagainya.

Pada tahun yang sama pula, 9 buah distrik, yaitu : Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabung menjadi “satu pemerintahan” di bawah kepala Kampung Baru yang bergelar Demang. Gabungan 9 distrik ini disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Dalam lambang Kabupaten Bogor, sungai Cisadane dan Ciliwung masing-masing digambarkan dengan 9 garis gelombang. Ini mengungkapkan gabungan 9 distrik tersebut, jadi benar, pendapat ahli Belanda Riesz, yang mengatakan bahwa Kampung Baru adalah “de Bakermat” (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor. Banyak orang mengatakan bahwa Istana Bogor di kawasan Kebun Raya itu merupakan gagasan Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Dugaan tersebut dianggap kurang tepat, sebenarnya ia tidak pernah merencanakan sebuah istana. Sebaliknya ia mendirikan sebuah rumah sakit militer di cipanas. Pada lokasi Istana Bogor sekarang, didirikannya sebuah bangunan sederhana sebagai tempat persinggahan dalam perjalan dari benteng Batavia ke Cipanas. Van Imhoff cenderung pada liberalisme Perancis. Iapun penganut setia faham romantisme ajaran Rosseau, yang menganjurkan manusia kembali kepada alam. Pada waktu itu mode para pencari kewajaran alami ialah dengan mcmbangun villa sederhana, mungil, dan serasi dengan alam sekitar. Vila ini disebut Sans Souci (bahwa Perancis) atau istilah Belandanya “Buitenzorg” yang berarti : tanpa rasa gundah. Demikian pula bangunan sederhana yang ia bangun pada lokasi Istana Bogor ia beri nama Buitenzorg. Buitenzorg meliputi Puncak – Telaga Warna – Mega Mendung – Ciliwung – Muara Cihideung – Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede. Dan Baron Van Imhoff diresmikan menjadi tuan tanah dari kawasan itu. Van Imhoff merupakan pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem percetakan sawah. Politik ini berguna untuk mcmpertinggi hasil padi dan mengikat penduduk pada pemukiman yang tetap. Perkebunan kopi, lada dan tarum juga berkembang pesat di daerah Buitenzorg. Pada tanggal 1 januari 1800 VOC atau Kompeni Hindia Belanda menerima persetujuan untuk memperluas ke selatan (hulu atas) Kampung Baru. Pada waktu itu, Batavia yang menjadi pusat pemerintahan Belanda VOC dirasakan padat dan jika musim hujan tiba, banjir meluap dan melanda kota . Akibatnya sering berjangkit penyakit menular yang berkepanjangan, sehingga VOC memilih daerah selatan dengan tujuan atau pertimbangan antara lain :
- Daerah selatan subur dan baik tanahnya, merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
- Tidak terlalu jauh dari pusat Pemerintahan VOC, yaitu Batavia.
- Letak, keadaan tanah dan iklimnya dinilai sesuai dengan keinCinan Belanda, sehingga sangat cocok untuk tempat peristirahatan pejabat-pejabat Belanda.
Secara bertahap lembaga pemerintaha melakukan mutasi, seperti dilakukan terhadap Sekretaris Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1928. kemudian disusul pembentukan departemen kerajinan tangan, departemen pertanian dan pendidikan.
Demikian pula penyebaran penduduk. Sesuai dengan politik pemerintahan jajahan pada waktu itu, penyebaran penduduk didasarkan perbedaan kelas masyarakat, menurut warna kulit, diskriminasi rasial. Bangsa berkulit kuning atau Cina mendiami daerah Pecinan atau Lawang Seketeng dan daerah tersebut dijadikan pusat perdagangan dan jalur ekonomi. Sisa-sisa kejayaannya masih terlihat sekarang di daerah sekitar Pasar Bogor dan Suryakencana. Bangsa Arab mendiami daerah sekitar Empang. Sedangkan bangsa pribumi sebagai penduduk asli yang menurut klasifikasi masyarakat adalah warga kelas empat (IV) hanya mendiami pelosok-pelosok desa, yaitu sekarang daerah sekitar Bondongan. Bangsa Eropah atau yang berkulit putih sebagai warga utama dan terhormat saat itu, mendapat daerah kelas satu (I) yang memiliki Pemandangan bagus yaitu daerah sekitar Kedung Halang, serta jalan raya pusat kota yang disebut Preanger Lijn (saat ini Jalan Ir. H. Juanda) yang diresmikan tahun 1872.
Perkembangan selanjutnya, Pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonominya sendiri. Keputusan dari Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda No. 11 tahun 1866, No. 208 tahun 1905 dan No. 289 tahun 1924 menyebutkan bahwa wilayah Bogor pada waktu itu seluas 22 km persegi, terdiri dari 2 sub-distrik dan 7 desa. Pemandangan alam dan keadaan topografi Buitenzorg yang indah menyebabkan pemerintahan Hindia Belanda menjadikannya sebagai tempat rekreasi dan pemukiman yang ideal, dengan rumah Gubernur Jenderal yang berada di jantung kota yang kemudian berkembang menjadi Istana Bogor.
Situs Terkait
Рођење: 1621изр
5
Титуле : Bupati ke 4 (1656 – 1706)
PANGERAN PANEMBAHAN / RANGGA GEMPOL III
Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi .
Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.
Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .
Makam Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan di Gunung Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan.
Cita – cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC . Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.
Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara.. Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.
Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati – bupati Sumedang lainnya.
Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.
Pangeran Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.Титуле : Kepala Kampong Baru / Bogor Ke 3 (1706-1718)
Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).
Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.
6
1051/6 <46> ♂ Naya [Pajajaran]Титуле : Bupati Sumedang Ke 5 Tahun (1706–1709)
Profil Rd. Tmg. Tanoemadja
Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.
Seperti di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden TanumadjaТитуле : од 10 септембар 1718, Kepala Kampung Baru/Buitenzorg/Bogor ke 4 (1718-1741)
Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata (1693-1706). Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul kapas.
Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.Смрт: 10 фебруар 1972, Bogor (Blender-Kebon Pedes)

Oleh : R. Endang Suhendar Diponegoro (Idang), generasi ke 7 Pangeran Diponegoro
Садржај |
SIAPAKAH DIA ?
Pujangga yang dikenal dengan nama M.A. Salmun lengkapnya adalah Mas Atje Salmun Rakyadikaria lahir di Rangkasbitung pada tanggal 23 April 1903 dan wafat di Bogor pada tanggal 10 Pebruari 1972, dimakamkan dipemakanan Blender Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Salmun lahir dari Ayah seorang asisten wedana Pabyosongan Kabupaten Serang, Banten, bernama Mas Abusa'id Rakyadikaria. Ayah Salmun terkenal penari ulung dan penulis sandiwara yang dahulu dikenal dengan istilah" Kamidi", Sedangkan Ibu Salmun bernama Nyi Mas Samayi, yang masih keturunan bangsawan Lebak. Sang Ibu, secara otodidak pandai membaca bahasa Latin, Jawa, Sunda, dan Arab. Pada zamannya Ibu Salmun dianggap sebagai ahli bahasa, karena mahir berbahasa Sunda, Jawa, Kawi, serta lancar berbahasa Melayu. Disamping itu dapat pula sedikit-sedikit berbahasa Belanda Arab dan Tionghoa. Selain itu Ibu Salmun pun faham pula berbagai pustaka Klasik, sehingga sering menjadi tempat bertanya sarjana-sarjana Belanda.
MA. Salmun menikah dengan R. ANONG KRAMA ATMADJA generasi ke 6 dari Pangeran Diponegoro. Dari perkawinannya dikaruniai 8 orang anak, 3 putra dan 5 putri.
BUAH KARYA ?
Karya perdana Salmun dalam bentuk dangding dan cerita pendek yang muncul dalam penerbitan Volksalmanak Soenda dan Majalah Parahiangan terbitan Balai Poestaka. Kemudian menulis wawacan, gending karesmen, bahasan (essay), roman, sajak-sajak dan yang lainnya.
Setamat HIS (setara SD 6 tahun sekarang) bekerja di Kantor Pos dan Telepon-Telegrap (PTT) Rangkasbitung, kemudian dipindah ke Tanjung Karang dan selanjutnya ke Cianjur. Sewaktu dinas di Tanjung Karang, Salmun mulai mengarang serius dan senantiasa mengirim tulisan-tulisan ke Balai Poestaka. Namun bukunya yang pertama berjudul Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing (1923) dan Sungkeman Gelung (1928) terbit bukan oleh Balai Poestaka.
Tahun 1938 Salmun ditarik ke Sidang Pengarang Soenda, Balai Poestaka. Pada waktu itu banyak menerbitkan wawacan antara lain, Ciung Wanara (1939), Mundinglaya (1940), Ekalaya Palastra (1940), Asmarandhana (1942), Goda Rancana (1942). Tahun 1943 Salmun keluar dari Balai Poestaka, kemudian menjadi pegawai tinggi Pamong Praja di Banten, tapi kemudian kembali lagi (1948-1951).
Setelah kembali ke Balai Poestaka Salmun menerbitkan buku Padalangan Pasundan (1949), menyunting Mahabharata (1950), Wawangsalan Jeung Sisindiran Karya Mas Adiwinata dan Raden Bratakusumah menjadi Sisindiran pada tahun 1950 dan Gogoda Ka Nu Ngarora (1951).
Keluar dari Balai Peostaka menjadi pegawai tinggi di Departemen Sosial sampai pensiun. Ketika Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta membuka Kuliah Bahasa Sunda, Salmun diminta menjadi Dosen luar biasa tahun 1951. Ia juga aktif dalam Konperensi Basa Sunda di Bandung pada tahun 1952. Konperensi ini melahirkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS). Dalam setiap kongres yang diselenggarakan oleh LBSS, Salmun sering memberikan prasaran tentang bahasa dan sastra sunda, perkembangan dan tantangannya.
M.A. Salmun termasuk yang ikut membangun dan menerbitkan Majalah Sunda Tjandra di Bogor pada tahun 1954. Berturut-turut tahun 1957 Majalah Panglipur Mangle dan Majalah Sari pada tahun 1963. Hingga saat ini, tahun 2006, Majalah Mangle masih terbit dengan teratur dan semakin menarik seiring dengan perkembangan teknologi Informatika. Di dalam setiap majalah yang diasuhnya, Salmun senantiasa menulis cerita bersambung dan bahasan tentang sastra. Beberapa cerita bersambung banyak yang dibukukan antara lain, Budah Cikapundung (1965), Angeun Haseum (1965), Villa Bati Nyeri (1966), Neangan Bapa (1966). Selain itu apabila menengok ke belakang, Salmun banyak menulis naskah Gending Karesmen seperti Mundinglaya (1933), Kelenting Kuning (1933), Lenggang Kancana yang kemudian disadur oleh sastrawan Armijn Pane dalam Bahasa Indonesia pada 1934. Pada masa sesudah perang, Salmun menulis Gending Karesmen Arya Jalak Harupat riwayat Otto Iskandardinata pada tahun 1954.
Karya-karya yang jumlahnya ratusan itu sayang hingga saat ini belum seluruhnya terkumpul dengan baik dan lengkap. Masih banyak karangan yang terbenam dalam media yang memuatnya seperti Volksalmanak Soenda, Parahiangan, Surat Kabar Sipatahoenan, Majalah Sunda, Candra, Sari, Mangle dan yang lainnya. Kecuali karya kreaatif baik dangding, sajak, roman dan Gending Karesmen, Salmun banyak menulis artikel tentang sastra wayang dan Padalangan. Bukunya tentang sastra sunda berjudul Kandaga Sastra Sunda yang terbit 1957 di Bandung. Kandaga Sastra Sunda adalah buku yang sifatnya berseri, isinya menelaah tentang sastra dan tata bahasa sunda. Di dalam buku ini pula diguar aspek-aspek bahasa yang lengkap mulai dari ejaan, perbendaharaan, dan fenomena-fenomena kebahasaan yang ditelaah secara mendalam.
Salmun tak hanya mahir menulis dalam bahasa Sunda ia pun sanggup dengan baik menulis di dalam bahasa Indonesia. Gaya menulisan dan bahasa Salmun selain penuh humor, ia pun secara serius sering memaparkan tentang filsafat, etika kehidupan dan agama. Sebagai seorang yang mendalami sastra wayang dan pedalangan karya-karya tulis Salmun tentang wayang dan pedalangan tersebut penuh dengan nasihat, petuah dan filsafat kemanusiaan.
Tahun 1971 dengan kondisi mata yang 80% yang tidak melihat, Salmun berhasil menyelesaikan naskah Paribasa Sunda yang dikirimnya ke penerbit Sumur Bandung. Karya terakhir Salmun yang beripa naskah tentang pribahasa Sunda tersebut pada tahun 1971 beberapa bulan sebelum akhir hayatnya.
Hasil karya Salmun tercatat dan terkumpulkan sebanyak 480 judul, termasuk karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indinesia. Ke-480 judul tersebut adalah terbitan tahun 1929 sampai 1967, terdiri dari : guguritan 122 judul, wawacan 6 judul, sanjak 25 judul, cerita pendek 103 judul, roman 7 judul, anekdot 26 judul, drama dangding dan gending karesmen 5 judul, bahasan 172 judul, pengetahuan bacaan umum 6 judul, buku pelajaran
ANUGRAH ?
Pemerintah Anugerahkan Penghargaan Kepada Tiga Budayawan dan Seniman Kota Bogor
Koranbogor.com, Bogor – Pemerintah Kota Bogor menganugrahkan pengharagan kepada tiga tokoh budayawan dan seniman yang telah berkiprah memberikan pengabdian, sumbangsih, prestasi karya nyata dalam bidangnya masing-masing.
Tiga tokoh yang dianugrahi penghargaan adalah alm Uka Tjadrasasmita (arkeolog), alm M A Salmun (Budayawan), dan alm Entah Lirayana (dalang).
MA Salmun nama lengkapnya adalah Mas Atje Salmun Rakyadikaria lahir di Rangkasbitung pada tanggal 23 April 1903 dan wafat di Bogor pada tanggal 10 Pebruari 1972. Salmun dimakamkan TPU Blender Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal. Semasa hidupnya Salmun dikenal sebagai sastrawan generasi tahun 1920 an yang paling produktif sejak masa muda hingga akhir hayatnya. Meskipun penglihatannya terganggu dan nyaris tidak melihat, ia tetap menulis. Indra mata adalah organ terpenting di dalam upaya tulis menulis khususnya bagi seorang pujangga sekaliber Salmun.
Karya Salmun semula dalam bentuk dangding dan cerita pendek yang muncul dalam penerbitan Volksalmanak Soenda dan Majalah Parahiyangan terbitan Balai Poestaka. Kemudian menulis wawacan, gending karesmen, bahasan (essay), roman, sajak-sajak dan yang lainnya.
SUMBER :
http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg63730.html
7
Сахрана: Pasir Baganjing
ASAL-USUL
Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal dari sanalah cikal bakalnya Sukapura. Adalah Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat . Pangeran Kusuma Diningrat merupakan salah satu pewaris tahta kerajaan pada waktu itu. sewaktu terjadi perang saudara antara Pajang dan Mataram, Pangeran Kusumah Diningrat belum dewasa, untuk menyelamatkannya beliau di titipkan pada Sultan Demak. Sambil menunggu peperangan selesai, Pangeran Kusumah Diningrat mengembara mencari ilmu, dan sampailah di tanah Sunda.Tepatnya di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. ( versi lain Kampung Padarek, Kecamatan Cigalontang ?). Beliau mendapat julukan ‘Pangeran Dago Jawa’.
Setelah menetap beberapa lama, Pangeran Kusuma diningrat menikah dengan R.A. Sudarsah, puteri dari Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 orang putera :
1. Seureupeun Manangel 2. Seureupeun Cibeuli 3. Seureupeun Cihaurbeuti 4. Seureupeun Dawagung 5. Seureupeun Cibuniagung
Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung Puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara). Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :
1). Raden Wirawangsa; 2). Raden Astawangsa; 3). Raden Pranawangsa; 4). Raden Narahita; 5). Raden Bagus Chalipah
Versi wikipedia ( Pangeran Kusumah Diningrat menikah dengan Rd. Ayu Sudarsah. Putera Pangeran Rangga Gempol (Cucu Pangeran Geusan Ulun dari Sumedang). Beliau menurunkan putera 5 orang antara lain :
- Seureupeun Manangel
- Seureupeun Cibeuli
- Seureupeun Cihaurbeuti
- Seureupeun Dawagung
- Seureupeun Cibuniagung (yang menurunkan Sukapura). Seureupeun Cibuniagung berputera :
1. Rd. Wirahadiningrat (Entol Wiraha) 2. Nyi Ageng Rd. Wirahadiningrat menikah dengan putera dalem Sukakerta, bernama Brajayuda ( Baratajayuda ? ) Keturunan dari Srigading Anteg (terah galunggung). Beliau mempunyai putera lima orang, antara lain: Rd. Wirawangsa, dari beliau lah dimulai masa pemerintahan bupati sukapura.)
BERDIRINYA SUKAPURA DAN PERKEMBANGANNYA
Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa, Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur Wangsanata (penguasa wilayah Priangan) tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I. gelar tersebut diberikan Kanjeng Sultan tidaklah beralasan akan tetapi tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.
Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :
- . Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang
- . Mandala dan Kelapa Genep
- . Cipinaha dan Lingga Sari
- . Cigugur, Parakan Tiga (Pameungpeuk) dan Maroko
- . Parung
- . Karang
- . Bojongeureun
- . Suci
- . Panembong (Garut)
- . Cisalak
- . Nagara
- . Cidamar
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :
- . Saunggantang
- . Taraju
- . Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.
PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG
Penget srat piagem *)
Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen. Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe. Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiranagunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami. Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu. Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.
- ) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-egentschappen”,
Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian. Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung. Maka, rakyat dan pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing-masing sehingga negara Sukapura pada saat itu ads peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.
Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kanjeng Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :
- Rd. Wangsadipura
- Rd. Kartijasa
- Rd. Djajamanggala
- Rd. Anggadipa
- Rd. Wangsadikusumah
- Nyi Rd. Ajoe
- Rd. Pranadjaja
- Rd. Ardimanggala
- Rd. Tjandradipa
- Nyi Rd. Doekoeh
- Rd. Digajasa
- Rd. Wirandana
- Rd. Gentoer
- Nyi Rd. Katempel
- Rd. Anggawangsa
- Nyi Rd. Wanadapa
- Nyi Rd. Pelang
- Nyi Rd. Parnati
- Nyi Rd. Adjeng
- Rd. Poespawidjaja
- Rd. Darmamanggala
- Rd. Puspamanggala
- Rd. Kartadipa
- Rd. Wangsataruna
- Nyi Rd. Djampang
- Nyi Rd. Purba
- Nyi Rd. Sampan
- Nyi Rd. Widuri
Титуле : Bupati ke 6 (1709-1744)
PANGERAN KARUHUN
Setelah Tumenggung Tanumadja wafat, putranya menggantikannya Raden Kusumahdinata VII (1709 – 1744) diangkat menjadi bupati. Raden Kusumadinata memohon memakai gelar Rangga Gempol IV seperti kakeknya. Pangeran Kusumadinata VII juga memusuhi Pangeran Aria Cirebon karena Kusumadinata tidak ingin dibawah perintahnya. Sebelum wafat Pangeran Kusumadinata menginginkan kabupatian-kabupatian di laut Jawa dan Hindia di bawah kekuasaannya tetapi sebelum keinginannya tercapai keburu wafat, setelah wafat dikenal sebagai Pangeran Karuhun. Pangeran Kusumadinata terkenal sebagai bupati yang memajukan persawahan.Титуле : од 15 август 1741, Kepala Kampung Baru/Buitenzorg/Bogor ke 4 (1741-1749)
1706 — 1718 Martakara, in de Staml.: Luitenant Menteng Kara, komt het eerst voor in het resolutieboek van Heemr. 13 Juli 1688 als Jav. Vendrig en Opsiender over het lant van juffrouw de weduwe van Capt. Muller, genaamt Tsiepajong” (zie Muller’s Personalia). Uit het verband van zaken, blijkend in onze geographica, zou kunnen worden afgeleid dat hij een zoon van Tanoedjiwa is geweest; het blijft echter zeer onzeker. Hij wordt het eerst vermeld als „klooft van Campon Baroe” H. 21 Juli 1708, terwijl R. 18 Jan. 1709 wordt besloten, eene acte te verleenen aan „den Javaans Lieutenant Marta Karra, als hooft over ’s Comps. landerijen van Campon Baroe, dewijle die charge nu ruijm twee en een half jaar ten genoegen heeft waargenomen.” De bijna gelijkluidende acte staat D. 25 Jan. 1709. Hij wordt verder genoemd D. 11 Febr. 1716 en H. 9 April 1718, terwijl
1718—1741 H. 10 Sept. 1718 wordt genoteerd dat „in plaatse van den Javaan Marta Kara, die het opsigt heeft gehad en med eenen d’insameling der tiende heeft gedaan van het district Campong Baroe en nu jongst afgesturven is”, door de Regeer, is aangesteldter preuve eene sijner zoonen genaamt Marta Wangsa (of dit dezelfde persoon is als de gelijknamige die in eene attestatie Deldijm 4 Dec. 1705 voorkomt als woonachtig op „het” land van den G-.-G. Van Hoorn, kan ik niet beslissen). Deze heet R. en D.29 Febr. 1724 „opsigter over Camp. Bar.”, R. 25 Aug. 1724 Lieutenant, R. 3 April 1 725 en 16 April 1 728 „Luitenant der Javanen Regent op Camp. Baroe”. Omtrent zijn rijkdom en zijne woning bij Batavia zie elders. R. 21 Juli 1730 wordt opgemerkt dat hij „mede den naam van Luijtenant heeft maar diende daeronder niet begrepen te zijn”; hij erlangt nu den titel Demang „omme denzelven aldus te distingeeren van andere officiers”; wordt als Demang Marta wangsa vermeld in de Staml.; R. 11 Jan. 1732 enz. Zijn lof wordt in 1731 gezongen door Bollmann (Bijl. 29). Zijn overlijden vernemen wij
1741 — 1749 R. 15 Aug. 1741, waarbij zijn zoon, volgens de Bijl. geheeten Martawiria, die „nu eenigen tijt den dienst van zijn overleden vader waargenomen” heeft, tot zijn opvolger wordt aangesteld en eene acte erlangt met den titel Demang Martawangsa. Onder dezen titel komt hij voor D. 15 Nov. 1741 ; B. R. 16 Jan. en 10 Aug. 1 742 en 6 Dec. 1746; daarentegen noemt de Staml. hem Demang Martawiria, evenals ook H. 29 Juni 1743, 18 April 1744, 19 Maart 1 746. In R. 24 Aug. 1751 wordt herinnerd aan het slechte bestuur van dezen Regent; het kan echter wezen dat zijn ontslag samenhing met het graven der Groote Slokan (waartoe bij R. 1 Juli 1749 was besloten); althans er wordt tevens geklaagd over volksverloop, en de last van dat graafwerk is bijna geheel op Kamp. Baroe gelegd. Hoe dit zij, op eene klacht van den Gecomm. dat hij de cultuur verwaarloost, wordt hij bij R, 19 Dec. 1749 afgezet. Over het met hem gelijknamige Hoofd van Dramaga zie de geographica. Uit verschillende acten Van Girssen 4 Maart 1 752 blijkt dat Martawangsa bij zijn overlijden naliet de zoons Martapada, Martadipa, Martagoena en eene dochter Kadoet, gehuwd met een Martabangsa.
1749 — 1758 Bij R. 19 Dec. 1749 werd de Tjiandjoer’sche Raden WlRANATA benoemd tot opvolger van Martawangsa. Volgens de Bijl. was deze nieuwe Regent „ al wat oud van dagen”; uit de Tjiandjoer’ sche regentenlijst ziet men, dat hij een broeder was van den in 1726 vermoorden en een oom van den 1727 — 1761 regeerenden Regent van Tjiandjoer, terwijl men R. 10 Dec. 1751 bespeurt dat hij, behalve Hoofd van Kampongbaroe, ook Patih van Tjiandjoer was (en als zoodanig met eene bende Tjiandjoer’ders de Bantamsche opstandelingen had bevochten). Dit verklaart waarom deze beide regentschappen voortaan steeds meer als een geheel worden beschouwd, althans wat de cultures aangaat
terjemahan :
1706 - 1718 Martakara, di Staml: Letnan Menteng Kara, muncul pertama kali dalam buku resolusi Heemr. 13 Juli 1688 sebagai Jav.Vendrig dan "Opsiender pada lentera Miss the widow dari Capt. Muller, bernama Tsiepajong "(lihat Personalia Muller). Dapat disimpulkan dari hubungan hal-hal, seperti yang ditunjukkan dalam geografi kami, bahwa ia adalah putra Tanudjiwa; Namun, itu tetap sangat tidak pasti. Dia pertama kali disebut sebagai "Kepala Campong Baroe", pada tanggal 21 Juli 1708, sedangkan pada tanggal 18 Jan. 1709 diputuskan untuk memberikan keputusan kepada "orang Jawa Letnan Marta Karra, sebagai kepala komplek lahan pertanian Kampong Baroe, yang senang dengan tuduhan itu selama dua setengah tahun. "Keputusan yang hampir identik adalah tanggal 25 Jan. 1709, disebutkan lebih lanjut pada tanggal 11 Febr. 1716 dan tanggal 9 April 1718, sementara;
1718-1741 tanggal 10 September 1718 dicatat bahwa "di tempat orang Jawa Marta Kara, yang telah memilikinya dan telah melakukan pengumpulan sepersepuluh distrik Kampong Baroe dan yang sekarang termuda untuk dideportasi", oleh Pemerintah, ia ditunjuk sebagai putra yang unggul. bernama Marta Wangsa (apakah ini orang yang sama dengan yang disebutkan dalam sertifikat Deldijm 4 Desember 1705 yang tinggal di" negara "G-G. van Hoorn, saya tidak bisa memutuskan). Ini disebut pada tanggal 29 Febr. 1724 "opsigter tentang Kampong Baroe. ", tanggal 25 Agustus 1724 Letnan, tanggal 3 April 1725 dan 16 April 1728 "Letnan Bupati Jawa di Kamp. Baroe". Mengenai kekayaannya dan rumahnya di Batavia lihat di tempat lain, pada tanggal 21 Juli 1730, dicatat bahwa dia "memiliki nama Luijtenant, tetapi seharusnya tidak dipahami"; dia sekarang menemukan gelar Demang "sangat berbeda dari perwira lain"; disebut sebagai Demang Marta wangsa di Staml tertanggal 11 Jan. 1732 dll. Pujiannya dinyanyikan pada 1731 oleh Bollmann (Bijl 29). di saat kematiannya.
(1741 - 1749 R. 15 Agustus 1741, tempat putranya, menurut catatan adalah Martawiria, yang saat ini sedang terlihat mengurus ayahnya yang sudah meninggal", ditunjuk sebagai penggantinya dan bertindak atas nama Demang Martawangsa. Di bawah ini dia datang sebelum D. 15 November. 1741; B. R. 16 Jan. dan 10 Agustus 1 742 dan 6 Des. 1746; di sisi lain, Staml menyebutkan. dia Demang Martawiria, serta H. 29 Juni 1743, 18 April 1744, 19 Maret 1 746. Dalam R. 24 Agustus 1751 diingatkan tentang administrasi Bupati yang buruk ini; namun, mungkin pengunduran dirinya terkait dengan penggalian Slokan Besar (sebagaimana diputuskan oleh R. 1 Juli 1749); setidaknya ada juga yang mengeluh tentang perkembangan rakyat, dan beban penggalian itu hampir seluruhnya ada di Kamp. Baroe berbaring. Bagaimana ini, pada keluhan dari Gecomm. bahwa ia mengabaikan budaya, ia menjadi di R, 19 Desember. 1749 disimpan. Tentang kepala Dramaga dengan nama yang sama melihat geografi. Dari berbagai tindakan Van Girssen 4 Maret 1 752 tampak bahwa Martawangsa pada saat kematiannya meninggalkan putra-putra Martapada, Martadipa, Martagoena dan seorang putri Kadoet, menikah dengan seorang Martabangsa);
(1749 - 1758 Oleh R. 19 Des. Pada 1749, Dewan Tjiandjoan WlRANATA ditunjuk sebagai pengganti Martawangsa. Menurut Axe. Bupati yang baru ini "sudah tua"; dari daftar bupati Tjandjoer orang melihat bahwa ia adalah saudara lelaki dari pembunuhan tahun 1726 dan paman dari tahun 1727 - 1761 memerintah Bupati Tjiandjoer, sedangkan R. 10 Des. 1751 menemukan bahwa ia, selain Kepala Kampongbaru, juga Patih dari Tjiandjoer (dan jika demikian dengan sekelompok Tjiandjoer telah berperang melawan pemberontak Banten). Ini menjelaskan mengapa kedua kabupaten ini sekarang semakin dianggap sebagai satu kesatuan, setidaknya sejauh menyangkut budaya).Pengganti Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-1727). Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.
Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai opziener.[ Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam pengawasan langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 87. ] Ia mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan Galuh, yaitu mengangkat patih Cibatu sebagai bupati Kawasen karena dianggap sebagai menak tertua dan pandai. Ia juga melebur kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.8
2801/8 <179+?> ♂ 1.1.1.5.2.1.9.2. Kd. Rangga Wangsadireja [Pajajaran]Смрт: 1674, Banjoemas, Sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat
Сахрана: 1674, Pasir Huni kecamatan Sukaraja, Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
BUPATI SUKAPURA ke II Tahun 1674
(Raden Jayamanggala / Raden Tumenggung Wiradadaha II)
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :
1. Rd. Indramanggala
2. Rd. Widjanggana
3. Nyi Rd. Gandapura
4. Nyi Rd. Apiah
5. Nyi Rd. Kusumahnagara
6. Nyi Rd. Legan
7. Nyi Rd. Djanglangas
8. Rd. Madjadikaranamun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
BUPATI SUKAPURA ke III Tahun 1674 – 1723
(Raden Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III)
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.
Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;
- . Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
- . R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
- . R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
- . R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :
1. Rd. Joedanagara 2. Rd. Soebamanggala (Penerus Bupati) 3. Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel 4. Rd. Mandoera 5. Nyi Rd. Radji 6. Rd. Soeriadinata 7. Rd. Indramanggala 8. Rd. Dipanagara 9. Rd. Tjandrakoesoemah 10. Rd. Indrataroena 11. Nyi Rd. Impoen 12. Nyi Rd. Idjah 13. Rd. Rarap 14. Rd. MS. Bagoes 15. Nyi Rd. Poespa 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah 17. Nyi Rd. Dita 18. Rd. Djiwamanggala 19. Nyi Rd. Patradanta 20. Rd. Lingga(Legan) 21. Nyi Rd. Ardi 22. Rd. Arsabaja 23. Rd. Soetra 24. Rd. Tjandramanggala 25. Rd. Betok 26. Nyi Rd. Ika 27. Rd. Soemanagara 28. Nyi Rd. Koesoemakaraton 29. Rd. Indra Widjaja 30. Rd. Kertimanggala 31. Rd. Soebang 32. Rd. Wiradimanggala 33. Nyi Rd. Wiratsari 34. Rd. Abdoel Moh. Arip 35. Rd. Wiranagara 36. Rd. Tirtapradja 37. Rd. Mertamanggala 38. Nyi Rd. Djahah 39. Rd. Singadiprana 40. Nyi Rd. Soemanimbang 41. Rd. Radjamanggala 42. Rd. Djagasatroe 43. Rd. Singadimanggala 44. Rd. Daroes (Daroe) 45. Nyi Rd. Doeji ( Dewi) 46. Rd. Bima 47. Rd. Soemadimanggala 48. Rd. Karadinata 49. Rd. Najapoespa 50. Nyi Rd. Karimah 51. Rd. Bodong 52. Rd. Wangsamanggala 53. Rd. Indradinata 54. Rd. Ardimanggala 55. Rd. Tjandradinata 56. Rd. Kartadipa 57. Rd. Bagoes II ( Saloengan ) 58. Rd. Soerajoeda 59. Rd. Djajamanggala 60. Rd. Kartamanggala 61. Rd. Natawatjana 62. Rd. Gandapradja
Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)
Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala. Bersambung…. ( sumber )Титуле : Bupati ke 7 (1744-1759)
DALEM ISTRI RADJANINGRAT
Menggantikan Pangeran Karuhun adalah puteri sulungnya Dalem Istri Radjaningrat (1744 – 1759) karena para putera Pangeran Karuhun belum ada yang dewasa. Dalem Istri Radjaningrat menikah dengan Dalem Soerianegara putera Bupati Limbangan. Dalem Istri Radjaningrat mempunyai putera sulung Raden Kusumadinata yang biasa disebut Dalem Anom yang kelak menjadi bupati menggantikan kakeknya . Para putera Pangeran Karuhun oleh kompeni dipandang tidak cukup cakap untuk menjadi bupati.Свадба: <6> ♂ 1.1.1.5.2.1.1.1.3.4. Dalem Raden Soerialaga II / Raden Tumenggung Suryalaga II (Dalem Taloen) [Sumedang Larang] b. 1764изр
- 1.1.1.5.2.1.9.1 Kd. Adipati Soerianagara X Dlm. Istri Radjaningrat, (1.1.1.5.2.1.1.1)
- 1.1.1.5.2.1.9.2 Kd. Rangga Wangsadireja . (Dalem Rangga Wangsareja Sepuh)
- 1.1.1.5.2.1.9.2.1 Rd. Wangsadiraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.2.2 NR. Kambang .
- 1.1.1.5.2.1.9.2.3 Rd. Sutapraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.2.4 Ni.Rd. Purba .
- 1.1.1.5.2.1.9.2.5 Rd. Wangsadiraja II .
- 1.1.1.5.2.1.9.3 Kd. Surapraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.4 Rd. Aria Wiradireja .
- 1.1.1.5.2.1.9.5 Kd. Adipati Wangsareja. (Dalem Rangga Wangsaredja Anom, Dalem Limbangan)
- 1.1.1.5.2.1.9.5.1 NR. Ratnamantri .
- 1.1.1.5.2.1.9.5.2 Dlm. Tmg. Wangsareja .
- 1.1.1.5.2.1.9.5.3 Dlm. Adp. Wangsaraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.5.4 Dlm .Adp. Surapraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.5.5 Rd. Wirareja .
- 1.1.1.5.2.1.9.6 Rd. Aria H. Kusumah .
- 1.1.1.5.2.1.9.7 RM. Aria Tjakrayuda X NR. Kaler (Daughter of Dalem Singaderpa Krawang)
- 1.1.1.5.2.1.9.7.1 NR. Sutaderpa .
- 1.1.1.5.2.1.9.7.2 Rd. Derpayuda X Another Wife of RM. Aria Tjakrayuda.
- 1.1.1.5.2.1.9.7.3 Rd. Patrayuda .
- 1.1.1.5.2.1.9.8 RM. Natapraja .
- 1.1.1.5.2.1.9.9 NRA. Natakaraton .
- 1.1.1.5.2.1.9.10 NR. Ratnanagara X Dlm. Rd. Soeriadilaga, II, (1.1.1.5.2.1.1.1.3.4)
- 1.1.1.5.2.1.9.11 NR. Rajakaraton .
- 1.1.1.5.2.1.9.12 NRA. Siti Gede .
- 1.1.1.5.2.1.9.13 Dlm. Rangga Bungsu .
Титуле : 5 децембар 1756, Oemboel Darmaga-Kampong Baroe
Досељавање: од 1760, Tanjung Harapan (Afrika Selatan)
Kutipan dari buku F. De Haan: I. Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen, 1912 :
"Wat Dramaga aan gaat, dit maakte ongetwijfeld van den beginne af § 247 een deel uit van Kampongbaroe. B. R. 18 Mei 1745 vermeldt een Jawi Carra, oemboel van Demang Martawangsa van K. Baroe. Bij N. 5 Dec. 1756" ("Mengenai Dramaga, tidak diragukan lagi adalah merupakan bagian dari Kampongbaroe sejak dahulu. Dokumen tanggal 18 Mei 1745, menyebutkan bahwa Jawi Carra, adalah Oemboel Demang Martawangsa dari K. Baroe sejak 5 Desember 1756")
Kutipan dari Jurnal :Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 18, 1856 (2e deel), no 9
"Zondag den 16 ïen. November vertrokken wij naar Sampia ten 5 ure 50 minuten, en passeerden de kalk steenbakkerijen, de rivier Tjidani op een "gitti " of draaibrug ten 6 ure 5 minuten, voorts de mindere rivieren, die in haar vallen, als de Sinawaran , die de scheiding is tusschen Buitenzorg en Dermaga, de Poeti en de Tjipoas, en kwamen ten 6 ure 50 minuten op Dermaga, alwaar wij door den demang JAWIKAKA ontvangen werden. Voo r deze twaalf jaren is hij aan de Kaa p gebannen geweest; met het schip de Maria Jacoba terug gekomen , heeft hij ter gedachtenis een bamboe schip laten maken. Voor het huis staat een opgezette tijger, zeer groot, waarvan wij de klaauwen tot een present kregen. Dermaga behoort onder Buitenzorg; de demang' heeft het in huur. Dermaga pleegde voor dezen onder Buitenzorg te staan; doch staat nu onder den demang JAWITARA, die het voor 500 's jaars huurt."
"(Minggu tanggal 16. November kami berangkat ke Sampia pada jam 5, 50 menit, dan melewati bukit batu kapur, sungai Tjidani dengan "gitti" atau memutar jembatan pada 6 ½ menit, lebih jauh lagi sungai-sungai kecil, yang dikenal dengan nama kampung Sinawaran (Sindangbarang), yang merupakan batas antara Buitenzorg dan Dermaga, Poeti dan Tjipoas (Ciapus), dan tiba di Dermaga pada jam 6, 30 menit, di mana kami disambut oleh JAWIKAKA (JAWITARA) manusia setengah dewa. Selama dua belas tahun ini dia diasingkan (di Tanjung Harapan, Afrika Selatan); Dengan kapal Maria Jacoba ia kembali, ia memiliki kapal bambu yang dibuatnya sebagai kenang-kenangan. Di depan rumah ada boneka macan sangat besar, dimana kita mendapatkan kukunya sebagai hadiah. Dermaga adalah bagian dari wilayah Buitenzorg; demang 'memilikinya dengan menyewa. Dermaga berkomitmen untuk tetap di bawah Buitenzorg; tetapi sekarang di bawah penguasaan Demang JAWITARA, yang menyewanya selama 500 tahun)"Титуле : од 1732, Bupati Galuh ke 9 (Patih Imbanagara sebagai wali Mas Garuda/Rd.Ad. KUSUMADINATA III)
Свадба: <7> ♀ NR. Lenggang Kusumah [Wiratanudatar] b. 1768изр
Свадба: <8> ♀ Nyai Raden Tjandra Nagara [?]
Свадба: <9> ♀ Nyi Raden Radja Mira [Parakanmuncang] b. 1765изр
Титуле : од 1791, Sumedang, Bupati ke 14 (1791-1828)
Титуле : од 1805, Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Kaisar Napoleon Bonaparte
Титуле : од 1810, Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
Титуле : од 1811, Pangeran Kornel sebagai Bupati Masa Pemerintahan Inggris
Рођење: од 1815, Pangeran Kornel sebagai Bupati Kerajaan Nederland
PANGERAN KORNEL /ADIPATI SURIANAGARA III
Setelah wafatnya Bupati Sumedang Adipati Surialaga I (1765 – 1773), posisi bupati Sumedang diisi oleh bupati penyelang dari Parakanmuncang Adipati Tanubaya (1773 – 1775) yang diangkat oleh kompeni karena putra Adipati Surianagara II, Raden Jamu masih kecil. Setelah wafatnya Adipati Tanubaya digantikan oleh Tumenggung Patrakusuma putranya Setelah menjadi bupati Tumenggung Patrakusuma (1775 – 1789) memakai gelar Adipati Tanubaya II. Setelah menginjak dewasa Raden Djamu dinikahkan dengan putri Adipati Tanubaya II Nyi Raden Radja Mira mempunyai seorang puteri bernama Nyi Raden Kasomi. Adipati Tanubaya II mendapat hasutan dari Demang Dongkol yang berambisi untuk mempunyai anak atau cucu menjadi bupati. Akhirnya Raden Djamu mengetahui niat buruk mertuanya ingin membunuhnya, segera Raden Djamu meloloskan diri ke Limbangan karena bupati Limbangan merupakan saudaranya, di limbangan posisi Raden Djamu tidak aman terus melanjutkan perjalanan ke Cianjur untuk bertemu dengan kerabat ayahnya Bupati Cianjur Adipati Aria Wiratanudatar V Bupati Cianjur ke 5 (1761-1776), dan Raden Djamu diangkat sebagai Kepala Cutak (Wedana) Cikalong dengan nama Raden Surianagara III. Setelah Adipati Tanubaya II diasingkan ke Batavia oleh kompeni ditunjuk sebagai pengganti sementara kepala pemerintahan Sumedang dipegang oleh Patih Sumedang Aria Satjapati (1789 – 1791). Aria Satjapati mengirim surat kepada Adipati Aria Wiratanudatar V memohon agar mengusulkan Raden Djamu atau Surianagara III diangkat menjadi bupati Sumedang kepada kompeni. Usul dari Wiratanudatar VI diterima oleh kompeni dan diangkatlah Raden Djamu / Surianagara III menjadi bupati Sumedang dengan gelar Pangeran Kusumadinata IX (1791 – 1828).
Pada tahun 1811 masa pemerintahan Gubernur Jenderal William Daendels, merintahkan semua bupati di tanah Jawa untuk membantu pembangunan jalan pos antara Anyer dan Banyuwangi. Di Sumedang jalan pos tersebut harus melalui gunung cadas yang keras. Pangeran Kusumadinata menghadapi pekerjaan yang berat mau tidak mau harus dilaksanakan oleh rakyatnya dan tanggung jawabnya sebagai bupati, setelah mengumpulkan rakyatnya Pangeran Kusumadinata menganjurkan dan mengajak rakyatnya untuk membantu pelaksanaan pembuatan jalan pos tersebut, rakyat Sumedang menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas itu.. Pada tanggal 26 November 1811 mulailah pembobokan gunung cadas, rakyat Sumedang pun menjadi korban “kerja paksa” Belanda, banyak rakyat menjadi korban akibat sulitnya medan jalan yang dibuat, rakyat dipaksa untuk menembus bukit cadas dengan peralatan seadanya. Pembangunan jalan pun tidak selesai pada waktunya. Daendels meminta bupati agar rakyat dikerahkan habis-habisan untuk menyelesaikan, Pangeran
Kusumadinata menolak karena tidak tega melihat rakyatnya menderita.
Peristiwa Cadas Pangeran
Ketika Daendels memeriksa pembuatan jalan tersebut, Pangeran Kusumadinata menunggunya. Sewaktu Daendels menyodorkan tangan kanannya untuk mengajak bersalam, Pangeran Kusumadinta menyambutnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang keris Nagasastra siap menghadapi segala kemungkinan, semula Daendels marah karena sikap bupati dianggap kurang ajar. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan dari Pangeran Kusumadinata bahwa ia berani membantah perintahnya (simbolis ditunjukan dengan menyalami memakai tangan kiri) demi membela rakyatnya yang menjadi korban kerja paksa Daendels dan Daendels pun salut atas keberanian Pangeran Kusumadinata. Akhirnya Daendels merintahkan pasukan zeni Belanda untuk membantu menyelesaikan pembuatan jalan dengan mengunakan dinamit membobok gunung cadas, akhirnya 12 Maret 1812 pembangunan jalan pos di Sumedang selesai, sehingga daerah itu disebut “Cadas Pangeran”.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van Der Capllen (1826 – 1830) Pangeran Kusumadinata mendapat pangkat militer sebagai Kolonel dari pemerintah Belanda atas jasanya mengamankan daerah perbatasan dengan Cirebon dan menumpas para perampok dan pemberontak terutama yang mencoba masuk ke Sumedang dari Cirebon., sebutan kolonel dalam lidah rakyat berubah menjadi “Kornel” sehingga terkenal sebagai Pangeran Kornel .
Wilayah Sumedang waktu itu hampir sama dengan wilayah pada masa Rangga Gempol III, wilayah Sumedang berbatasan dengan Parakanmuncang, Limbangan, Sukapura, Talaga dan kabupatian – kabupatian Cirebon, kemudian menyusuri kali Cipunagara sampai laut Jawa sepanjang pantai utara sampai Pamanukan.
Selain keberaniannya menentang perintah Daendels dan pemerintah Kerajaan Belanda / Inggris, Pangeran Kusumadinata adalah bupati yang jujur, berani, cerdas, paling pandai dan paling aktif dari semua para bupati di Priangan. Keadilan, kejujuran, kecerdasan, keberanian, kebijaksanaan dan kegagahan Pangeran Kornel dalam melaksanakan kewajibannya penuh rasa tanggung jawab dan mengabdi kepada rakyat sepenuh jiwa raganya. Ia pun tempat meminta nasehat bupati lainnya. Pangeran Kusumadinata sewaktu mulai menjabat bupati membuka lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi yang subur dan berhasil, sehingga keadaan Sumedang lebih baik dibandingkan masa bupati-bupati sebelumnya (penyelang). Residen Priangan Van Motman menyatakan Pangeran Kusumadinata adalah bupati pangkatnya paling tinggi antara para bupati di Priangan. Atas jasa dan kesetiaannya pemerintahan Belanda memberi bintang jasa dari mas.