1. Raden Ajimantri / Raden Keling Sakawayana b. 1555 d. 1660 - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:855277
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> 1. Raden Ajimantri / Raden Keling Sakawayana [Pajajaran]
Рођење: 1555, Pakwan
Професија : Menikah : 1583
Професија : од 1580, Penasehat Kerajaan Sumedang Larang
Професија : од 1610, Mahaguru Perguruan "Sumedang Kahyangan"
Смрт: 1660, Dusun Serang - Cimalaka - Sumedang
Сахрана: Makam Kramat Gunung Keling / Sakawayana
Oleh :R. Endang Suhendar Diponegoro


Artikel tentang Raden Adji Mantri, Santowan Kandang Serang, Tanduran Sawita / Kyai Perlaya, Kyai Singamanggala dan Kyai Tanujiwa, sebetulnya sudah ada pada Naskah Kuno "Buk Sakawayana" yang ditulis ulang pada tahun 1841 oleh Jibah pada hari kamis 14 Rayagung, tahun Je, Hijriah Nabi SAW 1262 (lihat cipakudarmaraja.blogspot.com, ditulis oleh : Tutun Anwar Muh. Dahlan, Lembah Gunung Keling Kamis, 18 juli 2011).

Referensi lainnya adalah tertulis dalam Buku "Soendasche Schetsen", halaman 120, karya : Cornelis Marinus Pleyte, 1905, kemudian dikutif oleh F. De Haan dalam bukunya yang berjudul "PRIANGAN", 1910. Selain itu dalam sebuah artikel koran Locomotief terbitan 22 Mei 1905 memberitakan tentang tokoh-tokoh tersebut, sebagai berikut :


Kutipan Koran De Locomotief, tanggal 22 Mei 1905

Terjemahannya kurang-lebih sebagai berikut :

Raden Adji Mantri yang menjadi calon penerus Pajajaran masih hidup setelah penyerbuan Keraton Pakuan (Pajajaran), kemudian melarikan diri dan pindah ke Sumedang, kemudian disebut Sumedang Suci. Dia sudah menikah di sana dan memiliki seorang putra bernama Santowan Kandang Serang / Sorang. Kemudian Santowan Kadang Serang mempunyai 3 anak laki-laki, yaitu : Kjai Pralaya, Kjai Singa Manggala dan Kjai Tanudjiwa, Mereka kemudian menetap di Jakarta, tiba pada saat penaklukan kota (penyerbuan Batavia oleh Pasukan Kerajaan Mataram ke2 Mei 1629), bersama dengan Pangeran Jayakarta ketika dia berusaha mengusir VOC dari Jakarta. Jasa dan dedikasi mereka kepada VOC cukup tinggi, dengan telah menyelesaikan tugas membuka Kota Tahi, Petjenongan (Welvreden), Bidara Tjina (Mester), Tjipinang, Bantardjati dan Kampong Baroe.

Dijelaskan juga bahwa sebagian penduduk Pakuan (Zaman Pajajaran) pindah ke Pelabuhan Ratu, mengingat Kerajaan Pajajaran sudah burak/bubar.

2

21/2 <1+?> 1. Santowan Kadang Serang [Pajajaran]
Рођење: 1585изр
32/2 <1> 2. Santowan Sawana Buwana [Pajajaran]
Рођење: 1586изр
43/2 <1+?> 3. Santowan Pergong Jaya [Pajajaran]
Рођење: 1588изр
54/2 <1> 4. Santowan Jagabaya (Nangtung-Sumedang) [Pajajaran]
Рођење: 1590изр
65/2 <1> 5. Nyai Ayu Ratna Ayu [Pajajaran]
Рођење: 1592изр
76/2 <1+?> 6. Nyai Jili / Nyai Jili Tahunyu (Sumedang) [Pajajaran]
Рођење: 1594изр

3

81/3 <2+?> 1. Tanduran Sawita / Kyai Perlaya / Letnan Pengiring [Pajajaran]
Рођење: 1610изр
Титуле : < 1680, Luitenan, Hilang dihutan Ciluar-Buitenzorg dlm perjalanan ke Sumedang
92/3 <2+?> 2. Kyai Singa Manggala / Embah Gede / Sersan Kertasinga / Tmg. Singaraksa / Kiyai Nargan [Pajajaran]
Рођење: 1612изр
Титуле : < 1680, Sersan
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Generasi Ke 4 7.1.1.2. Kyai Singa Manggala / Sersan Kertasinga / Tmg. Singaraksa / Kiyai Nargan, berputra :

7.1.1.2.1. Nyai Bentang
7.1.1.2.2. Mas Kalipa
7.1.1.2.3. Mas Komali
7.1.1.2.4. Nyai Epoh
7.1.1.2.5. Nyai Mirah
7.1.1.2.6. Nyai Enis Raksadikara
7.1.1.2.7. Asisten Wadana Pabyosongan Abu Said / Asisten Abud
7.1.1.2.8. Nyai Kamsah
7.1.1.2.9. Nyai Fatimah
7.1.1.2.10. Mas Narman
7.1.1.2.11. Nyai Sarfah
7.1.1.2.12. Mas Kasan
7.1.1.2.13. Nyai Suwita
7.1.1.2.14. Nyai Sariyah
LAMBANG           KABUPATEN  BOGOR
LAMBANG KABUPATEN BOGOR
103/3 <2+?> 3. Raden Tanujiwa / Kyai Tanujiwa / Ki Mas Tanu [Pajajaran]
Рођење: 1615изр
Титуле : < 1680, Luitenant
Титуле : од 1689, Bupati Kampung Baru / Bogor ke 1 (1689-1705)
Смрт: фебруар 1723, Cape of Good Hope (South Africa), De Haan, Deel 3, p. 277
==KYAI TANUJIWA SANG EXPLORER==
Oleh :R. Endang Suhendar Diponegoro

Dari beberapa referensi yang saya baca, dibawah ini saya uraikan beberapa analisa mengenai keberadaan Kyai Tanujiwa atau Ki Mastanu atau Raden Kyai Tanujiwa beserta saudaranya dan hal-hal yang melatar-belakangi aktivitasnya terutama pada saat dia dan saudaranya menjadi opsir Voc, kemudian menjadi perwira, dan bahkan akhirnya menjadi Regent/ Adipati / Bupati sehingga melahirkan sindiran dalam bentuk pantun-lagu "Ayang-Ayang-Gung".


Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1482-1579), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚F /22˚C). Gubernur-Djenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor

Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.


leungiteun...kuring leungiteun..., dikamanakeun...ieuh...dikamanakeun, genclang herang cikahuripan di leuwi sipatahunan, direkana papantunan kiwari ngan kari ngaran, leungiteun ...kuring leungiteun...., dikamanakeun ieuh...., dikamanakeun (kehilangan....aku kehilangan..., dibawa kemana (Pajajaran)....dibawa kemana?, air bening Cikahuripan di Leuwi Sipatahunan, dibuatnya lagu...saat ini hanya tinggal nama, kehilangan aku kehilangan....dibawa kemana?, dibawa kemana?)
.

Cuplikan lirik ini adalah ekspresi kesedihan masyarakat Sunda atas hilangnya Kerajaan Pajajaran di muka bumi (Pajajaran / Bogor Ngahyang / Menghilang), Sumber : Youtube, Neneng Dinar.


Садржај

ASAL-USUL

Ilustrasi Kyai Tanujiwa Sang Explore sumber :anikartick.blogspot.com
Ilustrasi Kyai Tanujiwa Sang Explore sumber :anikartick.blogspot.com

KYAI TANUJIWA bersaudara adalah generasi ke 3 dari Raja Pajajaran terakhir yaitu PRABU SURYAKENCANA/RAGAMULYA, silsilahnya adalah : TANUJIWA putera SANTOWAN KADANG SERANG putera RADEN AJIMANTRI putera PRABU SURYAKENCANA. Kalau Pajajaran tetap berdiri, tidak mustahil dia sebagai nominator penerus tahta berikutnya. (Rujukan:"BUK SAKAWAYANA" disalin tahun 1841 dari naskah < 1579 M >).

Kyai Tanujiwa memiliki 2 kakak laki-laki : kakak pertama bernama KYAI SINGA MANGGALA dan kakak tertua bernama TANDURAN SAWITA/KYAI PERLAYA, F. De Haan, dalam bukunya yang berjudul "Priangan", mengutip buku "Soendasche Schetsen", Pleyte, p 120 : (2) Volgens Pleyte, Soendasche schetsen p. 120, had Tanoedjiwa twee broers, Pralaya (sic) en Singamanggala. Dezen laatsten naam vind in do Tanggerangsche bovenlanden [(2) Menurut Pleyte, dalam "Sketsa Soendasche hal. 120, Tanudjiwa memiliki dua saudara lelaki, Pralaya (sic) dan Singamanggala. Nama-nama tersebut berasal/ditemukan/berdomisili di daerah dataran tinggi Tanggerang].

Dalam sebuah artikel / blog dari Trah Keturunan Sumedang Larang dinyatakan bahwa dalam silsilah keluarga besar keturunan Kerajaan Sumedang Larang tidak ditemukan sosok Tanujiwa, akan tetapi nama yang diawali "Tanu" memang ada dan popular pada masanya seperti : Tumenggung Tanumadja (1706 – 1709) dan Adipati Tanubaya (1773-1775). Dalam hal ini menguatkan analisa bahwa Kyai Tanujiwa bukan Keturunan Sumedang Larang melainkan orang Pakuan/Pajajaran yang menetap di Sumedang dan diberi nama oleh orang tuanya mengikuti nama-nama yang popular di Sumedang pada jaman itu;

Pada masa Prabu Suryakencana Ragamulya Raja Pajajaran terakhir yang memerintah (1567-1569 M), Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan dibawah penguasaan Pajajaran yang diistimewakan, karena banyak Raja-raja Pajajaran dan Kerajaan Galoeh-Pakuan berasal dari keturunan Kerajaan Talaga sebagai asal mula kerajaan Sumedang Larang. Pada saat Kesultanan Banten dbawah Kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf (putra Sultan Hasanuddin) menyerang Pajajaran, Prabu Suryakencana Ragamulya memerintah tidak di Ibukota Pajajaran di Pakuan (Bogor) tetapi di daerah Pulasari (Kabupaten Pandeglang, Banten), oleh karenanya kehancuran Pajajaran tidak langsung pada tahun 1579 M, akan tetapi dari tahun 1578 Prabu Suryakencana sudah menyerah kepada Sultan Banten.

Pada saat yang sama, di tahun 1578 M Prabu Suryakencana memerintahkan para Senopatinya untuk menyelamatkan Putra Mahkotanya yang bernama Raden Ajimantri dengan cara mengungsi ke Kerajaan bawahannya yang masih merupakan kerabat dekatnya, yaitu Kerajaan Sumedang Larang. Dalam pengungsian tersebut juga rombongan dari Pakuan membawa Mahkota Raja yang bernama Makuta Binokasih Sanghyang Pake beserta pustaka-pustaka kerajaan lainnya selain Singgasana Raja atau Palangka Sriman Sriwacana yang diboyong pasukan Banten dan diserahkan ke Sultan Maulana Yusuf di Banten.

Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata I merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran [1]

Mulai tahun 1610 sampai akhir masa colonial Belanda 1940, Sumedang menjadi wilayah Regentschap yang dipimpin oleh setingkat Regent / Bupati, dimana Bupati yang memerintah lebih dominan berasal dari keturunan langsung Kerajaan Sumedang Larang, sedangkan keturunan dari Prabu Ragamulya yang notabene sudah memberikan sebagian Pusaka Kerajaan Pajajaran, dan para Senopatinya sudah membantu berjuang melawan musuh-musuhnya, relative ditiadakan;

Layaknya keturunan Raja, Tanujiwa memiliki pendidikan, keahlian dan pengetahuan yang cukup untuk ukuran rakyat biasa. Dia mengetahui secara pasti sejarah leluhurnya, nalar dengan kondisi terkini bahwa Kerajaannya sudah burak, sadar keadaan bahwa sekarang Kerajaan leluhurnya yang digdaya sudah beralih kepada Kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran, termasuk Kerajaan Sumedang Larang dimana dia dan keluarganya sekarang tinggal. Dia juga mengetahui dan menguasai medan wilayah Pajajaran termasuk Pakuan dan Batavia, mengerti tata pemerintahan dan politik kerajaan, ahli dalam beladiri dan kemiliteran;

Sebagai keturunan langsung Raja Pajajaran, Kyai Tanujiwa berserta kakak-kakanya pasti memiliki obsesi dan ambisi ingin menghidupkan kembali kerajaan leluhurnya yang sudah 50 tahun ditinggal oleh pasukan Banten setelah menghancurkan Pajajaran tahun 1579 M, disisi lain wilayah Batavia yg dulunya sebagai andalan Pajajaran yang sekarang dikuasai Banten, akhirnya pada tahun 1619 dapat dikuasai VOC, semakin memperkuat keinginannya untuk memainkan peran politiknya pada jaman yang tidak menentu;


KARIER


Ilustrasi : Kyai Tanujiwa sedang memandu tim ekspedisi VOC
Ilustrasi : Kyai Tanujiwa sedang memandu tim ekspedisi VOC
  1. Menurut catatan "Buk Sakawayana", Sunan Amangkurat I Sultan Mataram ke 4 (1646-1677) menikah dengan saudara sepupu Kyai Tanujiwa bersaudara yaitu Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon I, kalau melihat kekerabatan dan tahun kelahirannya tidak tertutup kemungkinan mereka diikut-sertakan sebagai prajurit Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Adipati Ukur yang berangkat pada periode kedua Mei 1629. Kyai Tanujiwa dikalkulasi lahir pada tahun 1615, Kyai Singa Manggala dikalkulasi lahir pada 1612, dan kakak tertuanya Tanduran Sawita dikalkulasi lahir pada tahun 1610, jadi umur mereka pada saat Mataram menyerang Batavia ke 2 adalah Kyai Tanujiwa antara 13-16 tahun, Kyai Singa Manggala antara 17-20 tahun, dan Kyai Perlaya antara 19-22 tahun.
  2. Pasca perang Mataram dengan VOC pada tahun 1629 dan Mataram mengalami kekalahan, dimana prajurit yang selamat pulang ke daerahnya masing-masing, sebagian lagi malah menetap di pinggiran Batavia dengan cara membabat hutan membuat hunian baru yang akhirnya sekarang dikenal dengan daerah MATRAMAN, kemungkinan besar di tempat inilah Kyai Tanujiwa bersaudara menetap;
  3. Langkah politik berikutnya, Kyai TANUJIWA /TANUWIJAYA, bersama kedua kakaknya TANDURAN SAWITA/KYAI PERLAYA dan KYAI SINGA MANGGALA di Batavia bekerja pada 7 Gubernur Jenderal Hindia Belanda : 1) Joan Maetsuyker (1653-1678), 2) Rycklof van Goens (1678-1681), 3) Cornelis Speelman (1681-1684), 4) Johannes Camphuys (1684-1691), 5) Willem van Outhoorn (1691-1704), 6) Joan van Hoorn (1704-1709), 7) Abraham van Riebeeck,sebelum jadi Gubernur (1703, 1704)
  4. Setelah menjadi opsir selama kurang lebih 35 tahun, Kyai Tanujiwa beserta 2 orang kakaknya telah berhasil membuka wilayah baru di Batavia yaitu daerah Kota Tahi, Patjenongan, Bidara Tjina (Mester), Tjipinang, Bantardjati dan Kampong Baroe (Bogor), akhirnya Gubernur Jenderal VOC pada saat itu memberikan penghargaan kenaikan pangkat kepada Kyai Tanujiwa menjadi Leuitenant Der Javanen (Letnan orang-orang Jawa), juga kepada Tanduran Sawita menjadi Luitenant Pangiering, dan kakaknya yang lain Kyai Singamanggala menjadi Sersan.
  5. Atas keberhasilannya membuka daerah selatan Batavia yang bernama Kampung Baru atau Parung Angsana, Luitenant Tanujiwa diangkat menjadi penguasa Kampung Baru / Pakuan / Buitenzorg selama 6 tahun (1689-1705) dalam usia 74-80 tahun. Pencapaiannya tersebut membuktikan bahwa dia sebagai penerus kerajaan Pajajaran yang sudah runtuh 120 tahun sebelumnya dapat menghidupkannya lagi dalam dunia yang sudah berbeda, karena pada dasarnya semua kerajaan di Nusantara pada saat itu sudah padam semua.
  6. DIKOTOMI AYANG-AYANG-GUNG : Pada saat Kyai Tanujiwa atau Leutenan Tanujiwa menjadi Bupati Kampung Baru, ada sebagian kalangan pribumi yang tidak suka dengan keberhasilannya, lagu tersebut sudah pasti diciptakan bukan oleh rakyat biasa (mungkin kalangan atas pribumi) akhirnya melontarkan sindiran dalam bentuk lagu-pantun "Ayang-ayang Gung" lagu tersebut begitu popular didaerah asalnya sampai menyebar ke masyarakat jelata di Kampung Baru yang pada akhirnya lagu tersebut merupakan sangsi social masyarakat kepada Raden Tanujiwa keturunan langsung Pajajaran, orang Asli Pakuan / Kampung Baru;
  7. Menurut sumber yang diperoleh, Haji Raden Perwatasari (De Haan menulis : Paap Perwata) adalah Putera Raden Aria Wiratanu I dari isteri kedua (Putri Raja Jampang Manggung). Ia mendapatkan pendidikan bermacam-macam ilmu dari Raden Wiradimanggala (Dalem Cikondang), kalaulah informasi ini benar, Raden Perwatasari (yang dianggap VOC Pengacau) adalah masih keturunan Prabu Siliwangi, sama seperti Kyai Tanujiwa yang juga keturunan Prabu Siliwangi. Semula Kyai Tanujiwa bersama-sama Scipio diperintahkan Gubernur Jenderal untuk memburu Paap Parwata sejak tahun 1703, akan tetapi karena timbulnya rasa "satu Pajajaran", akhirnya Kyai Tanujiwa malah melindungi/berkomplot/berkonspirasi dengan Perwatasari, hal ini ketahuan oleh Scipio, sehingga pada 6 Januari 1705 ditangkap dan ditahan di Kastil Batavia dan diberhentikan dari jabatan Regent/Demang Kampong Baroe pada 23 Februari 1705, kemudian di buang ke Tanjung Harapan-Afrika Selatan bersama 5 orang lainnya, berangkat menggunakan Kapal "Lockhorst" pada 22/23 September 1705, sedangkan Haji Perwatasari tertangkap dan dibunuh pada tanggal 12-07-1707 di Kartasura, jasadnya dimakamkan di Makam Keramat Teja Kembang, Cijeruk, Dayeuh Luhur, Cilacap.

MENJADI TIM EKSPEDISI VOC



Surat Penugasan/Permohonan Gubernur Jenderal J. Camphuys, kepada Luitenant Patinggi (Ambon) dan Luitenant Tanoe Djiwa beserta kelompoknya  (kompagnie) untuk memandu   3 orang Belanda termasuk Sersan Scipio untuk melakukan Ekspedisi ke dataran tinggi di Selatan Batavia (Sumber : ANRI)
Surat Penugasan/Permohonan Gubernur Jenderal J. Camphuys, kepada Luitenant Patinggi (Ambon) dan Luitenant Tanoe Djiwa beserta kelompoknya (kompagnie) untuk memandu 3 orang Belanda termasuk Sersan Scipio untuk melakukan Ekspedisi ke dataran tinggi di Selatan Batavia (Sumber : ANRI)


Ilustrasi Hutan di daerah Kampoeng Baroe (Bogor)
Ilustrasi Hutan di daerah Kampoeng Baroe (Bogor)

Keputusan Gubernur Jenderal J. Camphuys 21 Juli 1687, dimana gubernur memerintahkan Luitenant Pattinggi dari Ambon dan Luitenant Tanoedjiwa asal Soemedang untuk membantu 3 orang Belanda (termasuk Sersan SCIPIO) untuk melakukan ekspedisi ke wilayah dataran tinggi (bovenlanden) di selatan Batavia ("Last op de “Javaense hoofden en mindere regenten” in de Jakatrasche zuider-bovenlanden de behulpzame hand te bieden aan den Ambonschen luitenant, patinggi, en aan den luitenant eener Javaansche kompagnie, Tanah Djiwa, met hun gevolg „waeronder 3 Hollanders”)

Pada tahun 1667 Mataram menyerahkan sebagian wilayahnya kepada VOC termasuk wilayah Pakuan sebagai hutang kekalahan pada tahun 1629, 20 tahun kemudian pada tahun 1687 Johannes Camphuys Gubernur Jenderal VOC, memerintahkan Luitenant Tanujiwa beserta saudaranya dengan opsir VOC Sersan Scipio untuk melakukan ekspedisi yang berturut-turut ke wilayah selatan Batavia. Apa yang menjadi alasan utama VOC melakukan ekspedisi ke selatan Batavia? Analisa saya sebagai berikut :

  • Kyai Tanujiwa bersaudara sudah bekerja di VOC selama 38 tahun (1629-1687), dengan masa kerja selama itu kemungkinan besar rencana membuka wilayah selatan Batavia datang dari Kyai Tanuwijaya bersaudara, karena mereka adalah ahli waris Kerajaan Pajajaran, dengan sendirinya dalam usianya yang tidak muda lagi mereka menginginkan kerajaannya hidup lagi walaupun harus bekerja-sama dengan VOC;
  • Bangsa barat yang pernah berkunjung ke Pakuan ibu kota kerajaan Pajajaran adalah Portugis (lihat catatan Tome Pires dalam "Suma Oriental", dimana informasi dari Portugis mengenai Catatan perjalanan Tome Pires pada saat itu belum terungkap ( Padrau ditemukan pada tahun 1918,, ketika orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota), sehingga tidak mungkin mereka mendapatkan informasi yang lengkap mengenai wilayah selatan Batavia selain dari Kyai Tanujiwa bersaudara;
  • Pada saat itu wilayah Jawa Barat yang dikuasai VOC hanya Batavia, dengan sumber daya alamnya yang semakin menipis hal ini tidak menguntungkan bagi mereka, akhirnya VOC harus mengembangkan wilayah untuk menambah komoditas yang lebih banyak lagi;

Atas dasar analisis diataslah yang pada akhirnya Luitenan Tanujiwa berhasil membuka perkampungan baru di bekas wilayah Kerajaan Pajajaran. Usia Tanujiwa dan saudaranya pada saat itu sudah agak lanjut (Tanujiwa 73 tahun, Kyai Singa Manggala 75 Tahun dan Kyai Tanduran Sawita 77 tahun dan menghilang di hutan Ciluar pada exspedisi pertama);




KAMPOENG BAROE, KOTA YANG DIBUKA OLEH KYAI TANOEDJIWA SEBAGAI CIKAL BAKAL KOTA BOGOR
Lukisan Kampoeng Baroe Tahun 1770, Johannes Rach: Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.  Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).
Lukisan Kampoeng Baroe Tahun 1770, Johannes Rach: Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran. Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).




Litografi Istana Bogor Tahun 1850, KITLV : Pada tahun 1745 Bogor ditetapkan Sebagai Kota Buitenzorg yang artinya kota tanpa kesibukan dengan sembilan buah kampung digabungkan menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang, daerah tersebut disebut Regentschap Kampung Baru yang kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg. Sewaktu masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1740) dibangunlah tempat peristirahatan, pada lokasi Istana Bogor sekarang yang diberi nama Buitenzorg
Litografi Istana Bogor Tahun 1850, KITLV : Pada tahun 1745 Bogor ditetapkan Sebagai Kota Buitenzorg yang artinya kota tanpa kesibukan dengan sembilan buah kampung digabungkan menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung Baru yang diberi gelar Demang, daerah tersebut disebut Regentschap Kampung Baru yang kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg. Sewaktu masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1740) dibangunlah tempat peristirahatan, pada lokasi Istana Bogor sekarang yang diberi nama Buitenzorg
Daftar Manifes "Kapal LOCKHORST" yang mengangkut Tanoe Djiwa, Javanese Lieutenant bersama-sama dengan : Rossa Bangsa of Passaroeang, Jalolita of Imbanagara, Astra Saja of Loerentenga, Laxana of Bandjoemas, Tanda Widjaja ordinary Javanese (Letters received, 1695-1708 - Page 371 Cape of Good Hope, H.C.V. Leibbrandt 1896)
Daftar Manifes "Kapal LOCKHORST" yang mengangkut Tanoe Djiwa, Javanese Lieutenant bersama-sama dengan : Rossa Bangsa of Passaroeang, Jalolita of Imbanagara, Astra Saja of Loerentenga, Laxana of Bandjoemas, Tanda Widjaja ordinary Javanese (Letters received, 1695-1708 - Page 371 Cape of Good Hope, H.C.V. Leibbrandt 1896)

MEMBUKA KOTA BOGOR


Ilustrasi pada saat Kyai Tanujiwa sedang membuka Kampong Baroe
Ilustrasi pada saat Kyai Tanujiwa sedang membuka Kampong Baroe

Setelah sekian lama hilang dari percaturan historis yang berarti kurang lebih selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan. Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah tersebut terlebih dahulu. Untuk meneliti wilayah dimaksud, dilakukan ekspedisi pada tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa, seorang Sunda terah Sumedang.

Dari ekspedisi tersebut serta ekspedisi lainnya, tidak ditemukannya pemukiman di bekas ibukota kerajaan, kecuali di beberapa tempat, seperti Cikeas, Citeureup, Kedung Halang dan Parung Angsana. Pada tahun 1687 juga, Tanujiwa yang mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran, akhirnya berhasil mendirikan sebuah perkampungan di Parung Angsana yang kemudian diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal tempat kelahiran Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. Kampung-kampung lain yang didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasukannya adalah: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dengan adanya Kampung Baru menjadi semacam Pusat Pemerintahan bagi kampung-kampung lainnya.

Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, De Haan memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745.

Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.


NAMA "BOGOR dan BUITENZORG

Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.

Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor
Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.

Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam. Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.

Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :

  1. . Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
  2. . Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
  3. . Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
  4. . Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
  5. . Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.

Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur). Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia . Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon , dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius meneluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.

Ilustrasi Kondisi Hutan yang dibuka oleh Kyai Tanujiwa
Ilustrasi Kondisi Hutan yang dibuka oleh Kyai Tanujiwa

Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor . Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar. Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanu­jiwa ini (1689-1705), walaupun secara resmi peng­gabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru ter­jadi tahun 1745. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena ser­san itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekua­saan VOC. Mereka kalah Tanoedjiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika dan Perwatasari tertangkap dan dibunuh di Cilacap.

Orang saling menyindirnya bahwa ia mengejar harapan kosong dan "bermesraan" dengan orang ompong (Per­watasari). Yang jelas, penyusun babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan Tanujiwa sebagai "Bupati Pertama". Sebaliknya para penulis Belanda menyebut Tanu­jiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor. Saleh Danasasmita (1983) juga menyebutkan bahwa malam hari tanggal 4 & 5 Januari 1699 Gunung Salak meletus dengan iringan gempa yang sangat kuat. Sebuah catalan dari tahun 1702 melaporkan akibat-akibat yang ditimbulkannya:

  1. Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (Pakuan) yang tadinya berupa hutan besar berubah menjadi lapangan luas terbuka tanpa pohon-pohon sama sekali.
  2. Permukaan tanah tertutup tanah liat merah halus. Di beberapa tempat tanah telah mengeras hingga me­nyulitkan orang berjalan di atasnya.
  3. Aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Tidak terdapat berita mengenai keadaan penduduk sepanjang aliran sungai itu.
Situs Batutulis ditemukan oleh Tim Abraham Van Reebeck, berarti kesaksian Kyai Tanujiwa tentang Kerajaan Pajajaran...terbukti sudah
Situs Batutulis ditemukan oleh Tim Abraham Van Reebeck, berarti kesaksian Kyai Tanujiwa tentang Kerajaan Pajajaran...terbukti sudah

Abraham Van Reebeck-lah yang kemudian mcmber­sihkan sumbatan tersebut, tetapi ia juga mengajukan usul agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai imbalan. Pada tahun 1703 ia tidak mencatat tentang sisa-sisa letusan itu. Setahun kemudian ia mendirikan pondok peristirahatan di daerah Batutulis, karena Gunung Salak tidak dianggap menakutkan lagi.

Pada tahun 1709, Van Reebeck menyuruh membangun jalan ke arah pantai selatan. Disini Pada tahun 1711 atas biaya Wali Negeri didirikan 4 daerah yaitu Gunung Guru, Citarik, Pondok ope dan Cidurian. Daerah-daerah ini men­jadi tempat pelarian beberapa orang asal Banten yang kurang puas terhadap kewajiban mengumpulkan indigo, benang katun dan penanaman kopi.

Pada tahun 1744 yaitu dari tanggal 20 Agustus sampai Septcmber, Gubernur Baron Van Imhoff mengadakan peninjauan. Ia menaruh perhatian Pada Kampung Baru (kelak menjadi Buitenzorg) yang dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian dan tempat perislirahatan Gubernur Jenderal. Selanjutnya Pada tahun 1745, Baron mengajukan petisi kepada Dewan Perwakilan Resmi Pemerintahan Hindia Belanda yang isinya :

  1. Daerah Kampung Baru diubah menjadi suatu tempat peristirahatan gubernur Jenderal dan Staf VOC.
  2. Menjadikan derah ini daerah pertanian dan perkebunan sebagai contoh daerah lain.
  3. Merencanakan perubahan perilaku masyarakat yang dianggap malas (pada waktu itu), menjadi masyarakat yang mempunyai kemampuan atau keahlian misalnya ambtenar (pegawai negeri), ahli pertanian, ahli perkebunan dan sebagainya.
Daerah Indramago atau Darmaga, Lukisan Johannes Rach 1769. Lokasi ini pada tahun 1756 disewa selama 500 tahun oleh DEMANG JAWITARA yang kemudian dikuasai oleh Tuan Tanah Van Motman pada abad 19 yang kemudian lokasi ini juga beralih menjadi Kampus IPB Darmaga
Daerah Indramago atau Darmaga, Lukisan Johannes Rach 1769. Lokasi ini pada tahun 1756 disewa selama 500 tahun oleh DEMANG JAWITARA yang kemudian dikuasai oleh Tuan Tanah Van Motman pada abad 19 yang kemudian lokasi ini juga beralih menjadi Kampus IPB Darmaga

Pada tahun yang sama pula, 9 buah distrik, yaitu : Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabung menjadi “satu pemerintahan” di bawah kepala Kampung Baru yang bergelar Demang. Gabungan 9 distrik ini disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Dalam lambang Kabupaten Bogor, sungai Cisadane dan Ciliwung masing-masing digambarkan dengan 9 garis gelombang. Ini mengungkapkan gabungan 9 distrik tersebut, jadi benar, pendapat ahli Belanda Riesz, yang mengatakan bahwa Kampung Baru adalah “de Bakermat” (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor. Banyak orang mengatakan bahwa Istana Bogor di kawasan Kebun Raya itu merupakan gagasan Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Dugaan tersebut dianggap kurang tepat, sebenarnya ia tidak pernah merencanakan sebuah istana. Sebaliknya ia mendirikan sebuah rumah sakit militer di cipanas. Pada lokasi Istana Bogor sekarang, didirikannya sebuah bangunan sederhana sebagai tempat persinggahan dalam perjalan dari benteng Batavia ke Cipanas. Van Imhoff cenderung pada liberalisme Perancis. Iapun penganut setia faham romantisme ajaran Rosseau, yang menganjurkan manusia kembali kepada alam. Pada waktu itu mode para pencari kewajaran alami ialah dengan mcmbangun villa sederhana, mungil, dan serasi dengan alam sekitar. Vila ini disebut Sans Souci (bahwa Perancis) atau istilah Belandanya “Buitenzorg” yang berarti : tanpa rasa gundah. Demikian pula bangunan sederhana yang ia bangun pada lokasi Istana Bogor ia beri nama Buitenzorg. Buitenzorg meliputi Puncak – Telaga Warna – Mega Mendung – Ciliwung – Muara Cihideung – Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede. Dan Baron Van Imhoff diresmikan menjadi tuan tanah dari kawasan itu. Van Imhoff merupakan pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem percetakan sawah. Politik ini berguna untuk mcmpertinggi hasil padi dan mengikat penduduk pada pemukiman yang tetap. Perkebunan kopi, lada dan tarum juga berkembang pesat di daerah Buitenzorg. Pada tanggal 1 januari 1800 VOC atau Kompeni Hindia Belanda menerima persetujuan untuk memperluas ke selatan (hulu atas) Kampung Baru. Pada waktu itu, Batavia yang menjadi pusat pemerintahan Belanda VOC dirasakan padat dan jika musim hujan tiba, banjir meluap dan melanda kota . Akibatnya sering berjangkit penyakit menular yang berkepanjangan, sehingga VOC memilih daerah selatan dengan tujuan atau pertimbangan antara lain :

  1. Daerah selatan subur dan baik tanahnya, merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
  2. Tidak terlalu jauh dari pusat Pemerintahan VOC, yaitu Batavia.
  3. Letak, keadaan tanah dan iklimnya dinilai sesuai dengan keinCinan Belanda, sehingga sangat cocok untuk tempat peristirahatan pejabat-pejabat Belanda.

Secara bertahap lembaga pemerintaha melakukan mutasi, seperti dilakukan terhadap Sekretaris Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1928. kemudian disusul pembentukan departemen kerajinan tangan, departemen pertanian dan pendidikan.

Lukisan Pasar di Bogor, sumber : Geschiedenis van NI - Buddingh 1859. Buitenzorg sudah mulai ramai setelah berusia 150 tahunan
Lukisan Pasar di Bogor, sumber : Geschiedenis van NI - Buddingh 1859. Buitenzorg sudah mulai ramai setelah berusia 150 tahunan

Demikian pula penyebaran penduduk. Sesuai dengan politik pemerintahan jajahan pada waktu itu, penyebaran penduduk didasarkan perbedaan kelas masyarakat, menurut warna kulit, diskriminasi rasial. Bangsa berkulit kuning atau Cina mendiami daerah Pecinan atau Lawang Seketeng dan daerah tersebut dijadikan pusat per­dagangan dan jalur ekonomi. Sisa-sisa kejayaannya masih terlihat sekarang di daerah sekitar Pasar Bogor dan Suryakencana. Bangsa Arab mendiami daerah sekitar Empang. Sedangkan bangsa pribumi sebagai penduduk asli yang menurut klasifikasi masyarakat adalah warga kelas empat (IV) hanya mendiami pelosok-pelosok desa, yaitu sekarang daerah sekitar Bondongan. Bangsa Eropah atau yang berkulit putih sebagai warga utama dan terhormat saat itu, mendapat daerah kelas satu (I) yang memiliki Pemandangan bagus yaitu daerah sekitar Kedung Halang, serta jalan raya pusat kota yang disebut Preanger Lijn (saat ini Jalan Ir. H. Juanda) yang diresmikan tahun 1872.

Perkembangan selanjutnya, Pada tahun 1941, Buiten­zorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonominya sendiri. Keputusan dari Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda No. 11 tahun 1866, No. 208 tahun 1905 dan No. 289 tahun 1924 menyebutkan bahwa wilayah Bogor pada waktu itu seluas 22 km persegi, ter­diri dari 2 sub-distrik dan 7 desa. Pemandangan alam dan keadaan topografi Buitenzorg yang indah menyebabkan pemerintahan Hindia Belanda menjadikannya sebagai tempat rekreasi dan pemukiman yang ideal, dengan rumah Gubernur Jenderal yang berada di jantung kota yang kemudian berkembang men­jadi Istana Bogor.


Situs Terkait


134/3 <5> 1. Embah Bage [Pajajaran]
Рођење: 1615изр, Panjalu-Ciamis
145/3 <5> 2. Raden Singa Nurun / Singakerta [Pajajaran]
Рођење: 1617изр, Keturunannya di Nangtung-Sumedang
156/3 <5> 3. Raden Nayamanggala / Nayapenggala [Pajajaran]
Рођење: 1619изр
167/3 <5> 4. Ratu Kulon I / Raden Apun Pananjung [Pajajaran]
Рођење: Kanjeng Ratu Kulon I (Cicit Raja Pajajaran terakhir, Prabu Suryakencana)
Рођење: 1621изр
118/3 <3> Tanduran Mataram [Pajajaran]
129/3 <4+?> Ψ Tasikmalaya dan Ciamis [?]

4

LAMBANG           KABUPATEN  BOGOR
LAMBANG KABUPATEN BOGOR
171/4 <10> R.Dmg. Martakara (Banten) [Pajajaran]
Рођење: 1645изр
Титуле : Kepala Kampong Baru / Bogor Ke 3 (1706-1718)
182/4 <11> Kiriya Manggala Sakawayana [Pajajaran]
193/4 <15> 1. Raden Inayapatra [Pajajaran]
204/4 <15> 2. Nyai Mas Unggeng [Pajajaran]
215/4 <9> 1. Nyai Bentang [Pajajaran]
226/4 <9> 2. Mas Kalipa [Pajajaran]
237/4 <9> 3. Mas Komali [Pajajaran]
248/4 <9> 4. Nyai Epoh [Pajajaran]
259/4 <9> 5. Nyai Mirah [Pajajaran]
2610/4 <9> 6. Nyai Enis Raksadikara [Pajajaran]
2711/4 <9> 7. Asisten Wadana Pabyosongan Abu Said / Asisten Abud [Pajajaran]
Mas Abusa'id Rakyadikaria pernah menjabat sebagai asisten wedana Pabyosongan Kabupaten Serang, Banten. Ketika muda ayah Salmun terkenal penari ulung dan penulis sandiwara yang dahulu dikenal dengan istilah "Kamidi".
2812/4 <9> 8. Nyai Kamsah [Pajajaran]
2913/4 <9> 9. Nyai Fatimah [Pajajaran]
3014/4 <9> 10. Mas Narman [Pajajaran]
3115/4 <9> 11. Nyai Sarfah [Pajajaran]
3216/4 <9> 12. Mas Kasan [Pajajaran]
3317/4 <9> 13. Nyai Suwita [Pajajaran]
3418/4 <9> 14. Nyai Sariyah [Pajajaran]
3519/4 <16+?> 17. Raden Doberes [Mataram]

5

391/5 <20> Naya [Pajajaran]
Професија : Sumedang, Jagasatru
LAMBANG           KABUPATEN  BOGOR
LAMBANG KABUPATEN BOGOR
402/5 <17> R.Dmg. Martawangsa (Panjaungan) [Pajajaran]
Рођење: 1672изр
Титуле : од 10 септембар 1718, Kepala Kampung Baru/Buitenzorg/Bogor ke 4 (1718-1741)
363/5 <27+?> MA. Salmun Rakyadikaria [Rakyadikaria]
Рођење: 23 април 1903, Rangkasbitung - Banten
Смрт: 10 фебруар 1972, Bogor (Blender-Kebon Pedes)
Image:idang-9.jpg

Oleh : R. Endang Suhendar Diponegoro (Idang), generasi ke 7 Pangeran Diponegoro


Садржај

SIAPAKAH DIA ?

Pujangga yang dikenal dengan nama M.A. Salmun lengkapnya adalah Mas Atje Salmun Rakyadikaria lahir di Rangkasbitung pada tanggal 23 April 1903 dan wafat di Bogor pada tanggal 10 Pebruari 1972, dimakamkan dipemakanan Blender Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Salmun lahir dari Ayah seorang asisten wedana Pabyosongan Kabupaten Serang, Banten, bernama Mas Abusa'id Rakyadikaria. Ayah Salmun terkenal penari ulung dan penulis sandiwara yang dahulu dikenal dengan istilah" Kamidi", Sedangkan Ibu Salmun bernama Nyi Mas Samayi, yang masih keturunan bangsawan Lebak. Sang Ibu, secara otodidak pandai membaca bahasa Latin, Jawa, Sunda, dan Arab. Pada zamannya Ibu Salmun dianggap sebagai ahli bahasa, karena mahir berbahasa Sunda, Jawa, Kawi, serta lancar berbahasa Melayu. Disamping itu dapat pula sedikit-sedikit berbahasa Belanda Arab dan Tionghoa. Selain itu Ibu Salmun pun faham pula berbagai pustaka Klasik, sehingga sering menjadi tempat bertanya sarjana-sarjana Belanda.

MA. Salmun menikah dengan R. ANONG KRAMA ATMADJA generasi ke 6 dari Pangeran Diponegoro. Dari perkawinannya dikaruniai 8 orang anak, 3 putra dan 5 putri.

BUAH KARYA ?

Karya perdana Salmun dalam bentuk dangding dan cerita pendek yang muncul dalam penerbitan Volksalmanak Soenda dan Majalah Parahiangan terbitan Balai Poestaka. Kemudian menulis wawacan, gending karesmen, bahasan (essay), roman, sajak-sajak dan yang lainnya.

Setamat HIS (setara SD 6 tahun sekarang) bekerja di Kantor Pos dan Telepon-Telegrap (PTT) Rangkasbitung, kemudian dipindah ke Tanjung Karang dan selanjutnya ke Cianjur. Sewaktu dinas di Tanjung Karang, Salmun mulai mengarang serius dan senantiasa mengirim tulisan-tulisan ke Balai Poestaka. Namun bukunya yang pertama berjudul Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing (1923) dan Sungkeman Gelung (1928) terbit bukan oleh Balai Poestaka.

Tahun 1938 Salmun ditarik ke Sidang Pengarang Soenda, Balai Poestaka. Pada waktu itu banyak menerbitkan wawacan antara lain, Ciung Wanara (1939), Mundinglaya (1940), Ekalaya Palastra (1940), Asmarandhana (1942), Goda Rancana (1942). Tahun 1943 Salmun keluar dari Balai Poestaka, kemudian menjadi pegawai tinggi Pamong Praja di Banten, tapi kemudian kembali lagi (1948-1951).

Setelah kembali ke Balai Poestaka Salmun menerbitkan buku Padalangan Pasundan (1949), menyunting Mahabharata (1950), Wawangsalan Jeung Sisindiran Karya Mas Adiwinata dan Raden Bratakusumah menjadi Sisindiran pada tahun 1950 dan Gogoda Ka Nu Ngarora (1951).

Keluar dari Balai Peostaka menjadi pegawai tinggi di Departemen Sosial sampai pensiun. Ketika Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta membuka Kuliah Bahasa Sunda, Salmun diminta menjadi Dosen luar biasa tahun 1951. Ia juga aktif dalam Konperensi Basa Sunda di Bandung pada tahun 1952. Konperensi ini melahirkan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS). Dalam setiap kongres yang diselenggarakan oleh LBSS, Salmun sering memberikan prasaran tentang bahasa dan sastra sunda, perkembangan dan tantangannya.

M.A. Salmun termasuk yang ikut membangun dan menerbitkan Majalah Sunda Tjandra di Bogor pada tahun 1954. Berturut-turut tahun 1957 Majalah Panglipur Mangle dan Majalah Sari pada tahun 1963. Hingga saat ini, tahun 2006, Majalah Mangle masih terbit dengan teratur dan semakin menarik seiring dengan perkembangan teknologi Informatika. Di dalam setiap majalah yang diasuhnya, Salmun senantiasa menulis cerita bersambung dan bahasan tentang sastra. Beberapa cerita bersambung banyak yang dibukukan antara lain, Budah Cikapundung (1965), Angeun Haseum (1965), Villa Bati Nyeri (1966), Neangan Bapa (1966). Selain itu apabila menengok ke belakang, Salmun banyak menulis naskah Gending Karesmen seperti Mundinglaya (1933), Kelenting Kuning (1933), Lenggang Kancana yang kemudian disadur oleh sastrawan Armijn Pane dalam Bahasa Indonesia pada 1934. Pada masa sesudah perang, Salmun menulis Gending Karesmen Arya Jalak Harupat riwayat Otto Iskandardinata pada tahun 1954.

Karya-karya yang jumlahnya ratusan itu sayang hingga saat ini belum seluruhnya terkumpul dengan baik dan lengkap. Masih banyak karangan yang terbenam dalam media yang memuatnya seperti Volksalmanak Soenda, Parahiangan, Surat Kabar Sipatahoenan, Majalah Sunda, Candra, Sari, Mangle dan yang lainnya. Kecuali karya kreaatif baik dangding, sajak, roman dan Gending Karesmen, Salmun banyak menulis artikel tentang sastra wayang dan Padalangan. Bukunya tentang sastra sunda berjudul Kandaga Sastra Sunda yang terbit 1957 di Bandung. Kandaga Sastra Sunda adalah buku yang sifatnya berseri, isinya menelaah tentang sastra dan tata bahasa sunda. Di dalam buku ini pula diguar aspek-aspek bahasa yang lengkap mulai dari ejaan, perbendaharaan, dan fenomena-fenomena kebahasaan yang ditelaah secara mendalam.

Salmun tak hanya mahir menulis dalam bahasa Sunda ia pun sanggup dengan baik menulis di dalam bahasa Indonesia. Gaya menulisan dan bahasa Salmun selain penuh humor, ia pun secara serius sering memaparkan tentang filsafat, etika kehidupan dan agama. Sebagai seorang yang mendalami sastra wayang dan pedalangan karya-karya tulis Salmun tentang wayang dan pedalangan tersebut penuh dengan nasihat, petuah dan filsafat kemanusiaan.

Tahun 1971 dengan kondisi mata yang 80% yang tidak melihat, Salmun berhasil menyelesaikan naskah Paribasa Sunda yang dikirimnya ke penerbit Sumur Bandung. Karya terakhir Salmun yang beripa naskah tentang pribahasa Sunda tersebut pada tahun 1971 beberapa bulan sebelum akhir hayatnya.

Hasil karya Salmun tercatat dan terkumpulkan sebanyak 480 judul, termasuk karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indinesia. Ke-480 judul tersebut adalah terbitan tahun 1929 sampai 1967, terdiri dari : guguritan 122 judul, wawacan 6 judul, sanjak 25 judul, cerita pendek 103 judul, roman 7 judul, anekdot 26 judul, drama dangding dan gending karesmen 5 judul, bahasan 172 judul, pengetahuan bacaan umum 6 judul, buku pelajaran

ANUGRAH ?

Pemerintah Anugerahkan Penghargaan Kepada Tiga Budayawan dan Seniman Kota Bogor

Koranbogor.com, Bogor – Pemerintah Kota Bogor menganugrahkan pengharagan kepada tiga tokoh budayawan dan seniman yang telah berkiprah memberikan pengabdian, sumbangsih, prestasi karya nyata dalam bidangnya masing-masing.

Tiga tokoh yang dianugrahi penghargaan adalah alm Uka Tjadrasasmita (arkeolog), alm M A Salmun (Budayawan), dan alm Entah Lirayana (dalang).

MA Salmun nama lengkapnya adalah Mas Atje Salmun Rakyadikaria lahir di Rangkasbitung pada tanggal 23 April 1903 dan wafat di Bogor pada tanggal 10 Pebruari 1972. Salmun dimakamkan TPU Blender Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal. Semasa hidupnya Salmun dikenal sebagai sastrawan generasi tahun 1920 an yang paling produktif sejak masa muda hingga akhir hayatnya. Meskipun penglihatannya terganggu dan nyaris tidak melihat, ia tetap menulis. Indra mata adalah organ terpenting di dalam upaya tulis menulis khususnya bagi seorang pujangga sekaliber Salmun.

Karya Salmun semula dalam bentuk dangding dan cerita pendek yang muncul dalam penerbitan Volksalmanak Soenda dan Majalah Parahiyangan terbitan Balai Poestaka. Kemudian menulis wawacan, gending karesmen, bahasan (essay), roman, sajak-sajak dan yang lainnya.


SUMBER : http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg63730.html

http://koranbogor.com/nusantara/20/06/2011/pemerintah-anugrahkan-penghargaan-kepada-tiga-budayawan-dan-seniman-kota-bogor.html
374/5 <18> Darma Manggala [Pajajaran]
385/5 <19+?> Raden Arjawayang / Raden Antareja [Pajajaran]
416/5 <26+?> 1.1.1.11.1.1. Rd. Mas Soleman [Sumedang Larang]
427/5 <26+?> 1.1.1.11.1.2. Rd. Mas Samaun [Sumedang Larang]
438/5 <26+?> 1.1.1.11.1.3. Nyai Sabariyah di Rangkasbitung [Sumedang Larang]
449/5 <26+?> 1.1.1.11.1.4. Nyai Sariyah di Ciseeng [Sumedang Larang]
4510/5 <26+?> 1.1.1.11.1.5. Nyai Asih di Karawang [Sumedang Larang]

6

LAMBANG           KABUPATEN  BOGOR
LAMBANG KABUPATEN BOGOR
561/6 <40> 1. R.Dmg. Martawirya [Pajajaran]
Рођење: 1702изр
Титуле : од 15 август 1741, Kepala Kampung Baru/Buitenzorg/Bogor ke 4 (1741-1749)
Kutipan buku F. De Haan 1910, p.139:

1706 — 1718 Martakara, in de Staml.: Luitenant Menteng Kara, komt het eerst voor in het resolutieboek van Heemr. 13 Juli 1688 als Jav. Vendrig en Opsiender over het lant van juffrouw de weduwe van Capt. Muller, genaamt Tsiepajong” (zie Muller’s Personalia). Uit het verband van zaken, blijkend in onze geographica, zou kunnen worden afgeleid dat hij een zoon van Tanoedjiwa is geweest; het blijft echter zeer onzeker. Hij wordt het eerst vermeld als „klooft van Campon Baroe” H. 21 Juli 1708, terwijl R. 18 Jan. 1709 wordt besloten, eene acte te verleenen aan „den Javaans Lieutenant Marta Karra, als hooft over ’s Comps. landerijen van Campon Baroe, dewijle die charge nu ruijm twee en een half jaar ten genoegen heeft waargenomen.” De bijna gelijkluidende acte staat D. 25 Jan. 1709. Hij wordt verder genoemd D. 11 Febr. 1716 en H. 9 April 1718, terwijl

1718—1741 H. 10 Sept. 1718 wordt genoteerd dat „in plaatse van den Javaan Marta Kara, die het opsigt heeft gehad en med eenen d’insameling der tiende heeft gedaan van het district Campong Baroe en nu jongst afgesturven is”, door de Regeer, is aangesteldter preuve eene sijner zoonen genaamt Marta Wangsa (of dit dezelfde persoon is als de gelijknamige die in eene attestatie Deldijm 4 Dec. 1705 voorkomt als woonachtig op „het” land van den G-.-G. Van Hoorn, kan ik niet beslissen). Deze heet R. en D.29 Febr. 1724 „opsigter over Camp. Bar.”, R. 25 Aug. 1724 Lieutenant, R. 3 April 1 725 en 16 April 1 728 „Luitenant der Javanen Regent op Camp. Baroe”. Omtrent zijn rijkdom en zijne woning bij Batavia zie elders. R. 21 Juli 1730 wordt opgemerkt dat hij „mede den naam van Luijtenant heeft maar diende daeronder niet begrepen te zijn”; hij erlangt nu den titel Demang „omme denzelven aldus te distingeeren van andere officiers”; wordt als Demang Marta wangsa vermeld in de Staml.; R. 11 Jan. 1732 enz. Zijn lof wordt in 1731 gezongen door Bollmann (Bijl. 29). Zijn overlijden vernemen wij

1741 — 1749 R. 15 Aug. 1741, waarbij zijn zoon, volgens de Bijl. geheeten Martawiria, die „nu eenigen tijt den dienst van zijn overleden vader waargenomen” heeft, tot zijn opvolger wordt aangesteld en eene acte erlangt met den titel Demang Martawangsa. Onder dezen titel komt hij voor D. 15 Nov. 1741 ; B. R. 16 Jan. en 10 Aug. 1 742 en 6 Dec. 1746; daarentegen noemt de Staml. hem Demang Martawiria, evenals ook H. 29 Juni 1743, 18 April 1744, 19 Maart 1 746. In R. 24 Aug. 1751 wordt herinnerd aan het slechte bestuur van dezen Regent; het kan echter wezen dat zijn ontslag samenhing met het graven der Groote Slokan (waartoe bij R. 1 Juli 1749 was besloten); althans er wordt tevens geklaagd over volksverloop, en de last van dat graafwerk is bijna geheel op Kamp. Baroe gelegd. Hoe dit zij, op eene klacht van den Gecomm. dat hij de cultuur verwaarloost, wordt hij bij R, 19 Dec. 1749 afgezet. Over het met hem gelijknamige Hoofd van Dramaga zie de geographica. Uit verschillende acten Van Girssen 4 Maart 1 752 blijkt dat Martawangsa bij zijn overlijden naliet de zoons Martapada, Martadipa, Martagoena en eene dochter Kadoet, gehuwd met een Martabangsa.

1749 — 1758 Bij R. 19 Dec. 1749 werd de Tjiandjoer’sche Raden WlRANATA benoemd tot opvolger van Martawangsa. Volgens de Bijl. was deze nieuwe Regent „ al wat oud van dagen”; uit de Tjiandjoer’ sche regentenlijst ziet men, dat hij een broeder was van den in 1726 vermoorden en een oom van den 1727 — 1761 regeerenden Regent van Tjiandjoer, terwijl men R. 10 Dec. 1751 bespeurt dat hij, behalve Hoofd van Kampongbaroe, ook Patih van Tjiandjoer was (en als zoodanig met eene bende Tjiandjoer’ders de Bantamsche opstandelingen had bevochten). Dit verklaart waarom deze beide regentschappen voortaan steeds meer als een geheel worden beschouwd, althans wat de cultures aangaat


terjemahan :

1706 - 1718 Martakara, di Staml: Letnan Menteng Kara, muncul pertama kali dalam buku resolusi Heemr. 13 Juli 1688 sebagai Jav.Vendrig dan "Opsiender pada lentera Miss the widow dari Capt. Muller, bernama Tsiepajong "(lihat Personalia Muller). Dapat disimpulkan dari hubungan hal-hal, seperti yang ditunjukkan dalam geografi kami, bahwa ia adalah putra Tanudjiwa; Namun, itu tetap sangat tidak pasti. Dia pertama kali disebut sebagai "Kepala Campong Baroe", pada tanggal 21 Juli 1708, sedangkan pada tanggal 18 Jan. 1709 diputuskan untuk memberikan keputusan kepada "orang Jawa Letnan Marta Karra, sebagai kepala komplek lahan pertanian Kampong Baroe, yang senang dengan tuduhan itu selama dua setengah tahun. "Keputusan yang hampir identik adalah tanggal 25 Jan. 1709, disebutkan lebih lanjut pada tanggal 11 Febr. 1716 dan tanggal 9 April 1718, sementara;

1718-1741 tanggal 10 September 1718 dicatat bahwa "di tempat orang Jawa Marta Kara, yang telah memilikinya dan telah melakukan pengumpulan sepersepuluh distrik Kampong Baroe dan yang sekarang termuda untuk dideportasi", oleh Pemerintah, ia ditunjuk sebagai putra yang unggul. bernama Marta Wangsa (apakah ini orang yang sama dengan yang disebutkan dalam sertifikat Deldijm 4 Desember 1705 yang tinggal di" negara "G-G. van Hoorn, saya tidak bisa memutuskan). Ini disebut pada tanggal 29 Febr. 1724 "opsigter tentang Kampong Baroe. ", tanggal 25 Agustus 1724 Letnan, tanggal 3 April 1725 dan 16 April 1728 "Letnan Bupati Jawa di Kamp. Baroe". Mengenai kekayaannya dan rumahnya di Batavia lihat di tempat lain, pada tanggal 21 Juli 1730, dicatat bahwa dia "memiliki nama Luijtenant, tetapi seharusnya tidak dipahami"; dia sekarang menemukan gelar Demang "sangat berbeda dari perwira lain"; disebut sebagai Demang Marta wangsa di Staml tertanggal 11 Jan. 1732 dll. Pujiannya dinyanyikan pada 1731 oleh Bollmann (Bijl 29). di saat kematiannya.

(1741 - 1749 R. 15 Agustus 1741, tempat putranya, menurut catatan adalah Martawiria, yang saat ini sedang terlihat mengurus ayahnya yang sudah meninggal", ditunjuk sebagai penggantinya dan bertindak atas nama Demang Martawangsa. Di bawah ini dia datang sebelum D. 15 November. 1741; B. R. 16 Jan. dan 10 Agustus 1 742 dan 6 Des. 1746; di sisi lain, Staml menyebutkan. dia Demang Martawiria, serta H. 29 Juni 1743, 18 April 1744, 19 Maret 1 746. Dalam R. 24 Agustus 1751 diingatkan tentang administrasi Bupati yang buruk ini; namun, mungkin pengunduran dirinya terkait dengan penggalian Slokan Besar (sebagaimana diputuskan oleh R. 1 Juli 1749); setidaknya ada juga yang mengeluh tentang perkembangan rakyat, dan beban penggalian itu hampir seluruhnya ada di Kamp. Baroe berbaring. Bagaimana ini, pada keluhan dari Gecomm. bahwa ia mengabaikan budaya, ia menjadi di R, 19 Desember. 1749 disimpan. Tentang kepala Dramaga dengan nama yang sama melihat geografi. Dari berbagai tindakan Van Girssen 4 Maret 1 752 tampak bahwa Martawangsa pada saat kematiannya meninggalkan putra-putra Martapada, Martadipa, Martagoena dan seorang putri Kadoet, menikah dengan seorang Martabangsa);

(1749 - 1758 Oleh R. 19 Des. Pada 1749, Dewan Tjiandjoan WlRANATA ditunjuk sebagai pengganti Martawangsa. Menurut Axe. Bupati yang baru ini "sudah tua"; dari daftar bupati Tjandjoer orang melihat bahwa ia adalah saudara lelaki dari pembunuhan tahun 1726 dan paman dari tahun 1727 - 1761 memerintah Bupati Tjiandjoer, sedangkan R. 10 Des. 1751 menemukan bahwa ia, selain Kepala Kampongbaru, juga Patih dari Tjiandjoer (dan jika demikian dengan sekelompok Tjiandjoer telah berperang melawan pemberontak Banten). Ini menjelaskan mengapa kedua kabupaten ini sekarang semakin dianggap sebagai satu kesatuan, setidaknya sejauh menyangkut budaya).
532/6 <36+?> R. Jatayu Wiaty Salmun (uyu) [Hamengku Buwono]
Рођење: 23 децембар 1956, Bogor
463/6 <36+?> R. Yeti [Hamengku Buwono]
474/6 <36+?> R. Parti [Hamengku Buwono]
485/6 <36+?> R. Iwan [Hamengku Buwono]
496/6 <36+?> R. AAS [Hamengku Buwono]
507/6 <36+?> R. Neni [Hamengku Buwono]
518/6 <36+?> R. Hedi [Hamengku Buwono]
529/6 <36+?> R. Ented [Hamengku Buwono]
5410/6 <37> Antamanggala [Pajajaran]
5511/6 <38> Kyai Aris Surakarta [Pajajaran]
5712/6 <40> 2. R. Martapada [Pajajaran]
5813/6 <40> 3. R. Martadipa [Pajajaran]
5914/6 <40> 4. R. Martagoena [Pajajaran]
6015/6 <40> 5. R. Martabangsa [Pajajaran] 6116/6 <41+?> 1. Sarikani/ Mbah Gunung [Sumedang Larang]
6217/6 <41+?> 2. Mudrikah [Sumedang Larang]
6318/6 <41+?> 3. Ama Rana [Sumedang Larang]
6419/6 <41+?> 4. Ama Adra'i [Sumedang Larang]
6520/6 <42> 1. Suhana [Sumedang Larang]
6621/6 <42> 2. Musikah [Sumedang Larang]
6722/6 <42> 3. Mukinah [Sumedang Larang]
6823/6 <42> 4. Sari [Sumedang Larang]

7

731/7 <56> R.Dmg. H. Jawitara [Pajajaran]
Рођење: 1728изр, Darmaga Pekapuran
Титуле : 5 децембар 1756, Oemboel Darmaga-Kampong Baroe
Досељавање: од 1760, Tanjung Harapan (Afrika Selatan)
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Kutipan dari buku F. De Haan: I. Commentaar § 1-1500. II. Staten en Tabellen, 1912 :

"Wat Dramaga aan gaat, dit maakte ongetwijfeld van den beginne af § 247 een deel uit van Kampongbaroe. B. R. 18 Mei 1745 vermeldt een Jawi Carra, oemboel van Demang Martawangsa van K. Baroe. Bij N. 5 Dec. 1756" ("Mengenai Dramaga, tidak diragukan lagi adalah merupakan bagian dari Kampongbaroe sejak dahulu. Dokumen tanggal 18 Mei 1745, menyebutkan bahwa Jawi Carra, adalah Oemboel Demang Martawangsa dari K. Baroe sejak 5 Desember 1756")


Kutipan dari Jurnal :Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 18, 1856 (2e deel), no 9

"Zondag den 16 ïen. November vertrokken wij naar Sampia ten 5 ure 50 minuten, en passeerden de kalk steenbakkerijen, de rivier Tjidani op een "gitti " of draaibrug ten 6 ure 5 minuten, voorts de mindere rivieren, die in haar vallen, als de Sinawaran , die de scheiding is tusschen Buitenzorg en Dermaga, de Poeti en de Tjipoas, en kwamen ten 6 ure 50 minuten op Dermaga, alwaar wij door den demang JAWIKAKA ontvangen werden. Voo r deze twaalf jaren is hij aan de Kaa p gebannen geweest; met het schip de Maria Jacoba terug gekomen , heeft hij ter gedachtenis een bamboe schip laten maken. Voor het huis staat een opgezette tijger, zeer groot, waarvan wij de klaauwen tot een present kregen. Dermaga behoort onder Buitenzorg; de demang' heeft het in huur. Dermaga pleegde voor dezen onder Buitenzorg te staan; doch staat nu onder den demang JAWITARA, die het voor 500 's jaars huurt."

"(Minggu tanggal 16. November kami berangkat ke Sampia pada jam 5, 50 menit, dan melewati bukit batu kapur, sungai Tjidani dengan "gitti" atau memutar jembatan pada 6 ½ menit, lebih jauh lagi sungai-sungai kecil, yang dikenal dengan nama kampung Sinawaran (Sindangbarang), yang merupakan batas antara Buitenzorg dan Dermaga, Poeti dan Tjipoas (Ciapus), dan tiba di Dermaga pada jam 6, 30 menit, di mana kami disambut oleh JAWIKAKA (JAWITARA) manusia setengah dewa. Selama dua belas tahun ini dia diasingkan (di Tanjung Harapan, Afrika Selatan); Dengan kapal Maria Jacoba ia kembali, ia memiliki kapal bambu yang dibuatnya sebagai kenang-kenangan. Di depan rumah ada boneka macan sangat besar, dimana kita mendapatkan kukunya sebagai hadiah. Dermaga adalah bagian dari wilayah Buitenzorg; demang 'memilikinya dengan menyewa. Dermaga berkomitmen untuk tetap di bawah Buitenzorg; tetapi sekarang di bawah penguasaan Demang JAWITARA, yang menyewanya selama 500 tahun)"
692/7 <53+?> R. Riefa Sayyidina [Hamengku Buwono]
Рођење: 26 фебруар 1982, Jakarta
703/7 <53> Rr. Yutimma Dewiaty [Hamengku Buwono]
Рођење: 26 август 1986, Bogor
714/7 <54> Wangsamanggala [Pajajaran]
725/7 <55> Kyai Lukman Candra Wisuta [Pajajaran]

8

761/8 <73> RH. Jawitara-2 [Pajajaran]
Рођење: 1756, Darmaga Pekapuran
742/8 <71> Akmal Sutamanggala [Pajajaran]
753/8 <72> Raden Kanduruan Cakrayuda [Pajajaran]