I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:1005969
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna [Raja Gowa]
Титуле : Sultan Gowa Islam Ke1
Титуле : од 1593, Raja Gowa Ke 14

2

21/2 <1> I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna [Raja Gowa]
Рођење: 11 децембар 1605
Титуле : од 1639, Sultan Gowa Islam Ke2, Raja Gowa Ke 15
Смрт: 6 новембар 1653

3

41/3 <2> I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana [Raja Gowa]
Рођење: 12 јун 1631
Титуле : од 1653, Sultan/Raja Gowa Ke 16
Смрт: 12 јун 1670
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang



KARIER DAN SEJARAH KEPAHLAWANAN

Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]

Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, merupakan putera I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikulsaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Kerajaan Gowa. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa. Gowa wa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.


SILISLAH KELUARGA

Pada tahun 1411 [Orang:359642|Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra] menikah dengan Putri Raja Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna (Raja Gowa Sulawesi Selatan), dan melahirkan beberapa anak, yaitu :

  1. Sayyid Hasan Jumadil Kubra lahir tahun1413 M (Menjadi Syekh Mufti Kesultanan Gowa, tahun 1453 M, bertepatan dengan wafatnya Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra, dan wafat tahun 1591 M,berusia 138 tahun).
  2. Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar, lahir tahun 1443M.
  • Sayyid Hasan Jumadil Kubra bin Sayyid HusainJamaluddin Jumadil Kubra, menikah dengan Sepupunya yaitu Puteri TunggalHalimah binti I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (Raja Gowa, berkuasa1590 -1593), melahirkan:
  1. Sultan Gowa Islam Pertama (I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna), kemudian ia melahirkan putera bernama:
    1. Sultan Gowa Islam Kedua (I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna), kemudian ia melahirkan putera bernama:
      1. Sultan Gowa Islam Ketiga (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana), bergelar SULTAN HASANUDDIN alias AYAM JANTAN DARI TIMUR, (PAHLAWAN NASIONAL).Dan keturunannya sampai sekarang terdata di Kitab Al-Mausu'ah Li Ansabi Al-ImamAl-Husaini.
  • Adapun Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar,lahir tahun 1443 M, Pada tahun 1473 M menikah dengan Puteri Wajo binti LaTadampare Puangrimaggalatung (Raja Wajo), pada tahun 1483 M melahirkan putera bernama Sulaiman alias Dato Sulaiman (Qadhi & Mufti Kesultanan WajoPertama). Dato Sulaiman ini keturunannya banyak di Wajo dan di Pasuruan dan Bangil, Jawa timur.


Referensi

^ Peranginangin, Marlon dkk; Buku Pintar Pahlawan Nasional. Banten: Scientific Press, 2007.
32/3 <2> Daeng Melu / Daeng Sikontu (Putri Karaeng Kasuarang) [Raja Gowa]

4

Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
51/4 <3+?> 2. Sultan Abdul Khair Sirajuddin / Ruma Mantau Uma Jati / La Mbila / I Ambela [Kesultanan Bima]
Рођење: април 1627, Sultan Bima II (1640 M)
Смрт: 22 јул 1682
72/4 <4> Dato' Tonggara / Dato' Tenggara [Raja Gowa]
Рођење: 1658изр, Nasab Ke 30
==Asal-Usul Dato' Tonggara==

Dalam beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa Dato' Tonggara berasal dari Sulawesi Selatan. Kemudian dari daerah mana Sulawesi Selatannya ? Kami berpendapat bahwa Dato' Tonggara adalah putera Raja Gowa / Sultan Gowa yang tidak menjadi penerus Raja, alias Puang (Kalau di Jawa, Pangeran). Puang yang berprofesi di bidang Agama (Islam), menggunakan Gelar "Dato'/Datoek". Sebagai contoh, Sayyid Husain Jumadil Kubra Al-Asghar putra ke 19 Asy Syaikh Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Jumadil Kubra yang menikah dengan Puteri Raja Wajo ke 4 LaTadampare Puangrimaggalatung, memiliki putra yang bernama Dato' Sulaeman.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa. Gowa wa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Sepeninggal Sultan Hasanuddin, Belanda melakukan kriminalisasi terhadap Kesultanan Gowa dengan cara mengasingkan keluarga dekat Sultan Hasanuddin termasuk putera-puteranya ke Batavia. Di Batavia, antara tahun 1673-1686 VOC membuat perkampungan baru bekas hutan Jati yang kemudian dinamakan Kampung Makasar. Disamping keluarga dan kerabat Sultan Hasanudin juga ditempatkan mantan pasukan tempur Kerajaan Gowa dijadikan budak untuk membantu VOC di Pulau Jawa, dan mereka juga di tempatkan di perkampungan lain dekat Batavia, seperti Depok, Cimanggis dan tempat-tempat lainnya.

Sultan Hasanuddin lahir pada tahun 1631, wafat tahun 1670, tahta Kesultaan Gowa pada tahun 1669 dilanjutkan oleh Putranya yang bernama I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' yang lahir pada tahun 1656. Sedangkan Dato Tonggara lahir pada tahun 1658, diperkirakan ia adalah putera ke 2 Sultan Hasanudin yang berprofesi dibidang keagamaan (Qadhi & Mufti Kesultanan Gowa). Kemudian Dato-Dato lainnya sepeti : Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawabangke, juga masih putera-putera Sultan Hasanudin, kakak-beradik dengan Dato Tonggara, yang menjadi korban kriminalisasi VOC.
63/4 <4> I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' Lahir 31 Maret 1656, Berkuasa Mulai Tahun 1669 Hingga 1674, dan Wafat 7 Mei 1681. [Raja Gowa]

5

101/5 <7> Pangeran Astawana [Raja Gowa]
Рођење: 1683изр
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
82/5 <5> 1. Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1682 – 1687) [Kesultanan Bima]
93/5 <6> I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna [Raja Gowa]

6

Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
111/6 <8+?> 1. Kyai Ageng Datuk Sulaiman / Kyai Suleman Bekel Jamus [Kesultanan Bima]
Рођење: 1601, Bima (Tahun Saka)
Рођење: 1680, Bima (Masehi)
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang

ASAL-USUL

Versi 1

Dalam babad Lombok dijelaskan bahwa Islam dibawa ke Lombok oleh Sunan Prapen dari Giri (Gresik). Setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen bergerak ke timur untuk mengislamkan Sumbawa dan Bima. Sementara Rouffaer berpendapat bahwa Islam di Bima berasal dari Melayu, Aceh dan Cirebon. Pendapatnya ini didasarkan pada inskripsi-inskripsi yang tersebar di Bima. Muballig-muballig ini datang pada sekitar tahun 1605 M.

Menurut Sejarawan H Abdullah Tayeb dalam buku Sejarah Bima – Dana Mbojo, salah seorang keturunan Raja Bima kelak hijrah ke tanah Jawa dan dikenal dengan nama Kyai Ageng Datuk Sulaiman Bekel Jamus. Berdasarkan genealogy Kesultanan Yogyakarta, Kyai Ageng Sulaiman (Suleman) menikah dengan putri Madura bernama Ratu Kedhaton, dan memiliki putri bernama Roro Widuri atau dikenal sebagai Nyai Ageng Derpayuda.

Salah seorang putri dari Nyai Ageng Derpayuda bernama Niken Lara Yuwati, kelak menjadi permaisuri Sultan Hamengku Buwono I dan dikenal dengan nama Ratu Ageng Tegalrejo. Ratu Ageng Tegalrejo merupakan buyut dari Pangeran Diponegoro, sekaligus menjadi pengasuh sang pangeran ketika masih kecil

Image:bima2.jpg

Catatan Penambahan :

  • Berdasarkan data situs akasara.com, Ratu Ageng Tegalrejo lahir pada tahun 1735, jika jarak usia dengan sang kakek Kyai Ageng Datuk Sulaiman adalah sekitar 50-60 tahun, maka diperkirakan Kyai Ageng Datuk Sulaiman lahir sekitar tahun 1675-1685.
  • Diperkirakan Kyai Ageng Datuk Sulaiman satu generasi dengan Sultan Bima ke-4 yang bernama Sultan Jamaluddin. Hal tersebut bermakna Kyai Ageng Datuk Sulaiman kemungkinan putra Sultan Bima ke-3 yang bernama Sultan Nuruddin bin Sultan Abil Khair bin Sultan Abdul Kahir.
  • Menurut catatan Genealogy Kesultanan Bima, ibunda dari Sultan Nuruddin Bima adalah adik kandung dari Sultan Hasanuddin Gowa yang bernama Karaeng Bonto Je’ne.
  • Berdasarkan buku Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, Sultan Nuruddin pernah mambantu perlawanan Trunojoyo dalam polemik internal wangsa Mataram. Sultan Nuruddin bersama pasukannya berada di Jawa dari tahun 1676 hingga 1682. Sultan Nuruddin juga tercatat ikut membantu perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa Banten dalam menghadapi kolonial Belanda. Bahkan Sultan Nuruddin pernah menjadi tawanan Belanda di wilayah Tambora Jakarta Barat.
  • Terkait dokumen yang menyatakan Kyai Ageng Suleman lahir tahun 1601 kemungkinan yang dimaksud adalah tahun saka, atau dengan kata lain bersamaan dengan sekitar tahun 1679 – 1680 Masehi.
  • Garis silsilah Kyai Derpoyudo (Kyai Ageng Derpayuda) yang merupakan suami dari Nyai Ageng Derpayuda adalah sebagai berikut Kyai Ageng Derpoyudo bin Ki Ageng Wiroyudo bin Tumenggung Sontoyudo II bin Tumenggung Sontoyudo I (sumber: Trah Derpoyudo). Dalam beberapa catatan, ibunda dari Ratu Kedaton Madura adalah Raden Ayu Sontoyudo binti Tumenggung Sontoyudo I.


ASAL-USUL

Versi-2

Mungkin kita sudah banyak tahu bahwa dari beberapa tulisan sejarah yang menyatakan tentang keabsahan Diponegoro sebagai keturunan Raja Bima. Dalam buku Sejarah Bima Dana Mbojo jelas terurai dengan apik oleh Alm. H. Abdullah Tajib tentang Pangeran Diponegoro. Pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan Dr. Peter Carey tertulis :

“Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng ( Tegalrejo ) ( C. 1735 - 1803 ) adalah putera Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur pada awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui Ibunya Ni Agung Derpayuda ratu Ageng ( Tegalrejo ) dilahirkan dalam generasi Ketiga dari Sultan Bima di Sumbawa, kesultanan di Indonesia bagian Timur yang tersohor ketaatannya pada agama Islam. Karena itu dalam diri Dipanegara mengalir darah Madura ( dari neneknya ratu Kedhaton yang meninggal tahun 1620) dan darah Bima”.

Yang menarik sesungguhnya bukan pada keberadaan Pangeran Diponegoro sebagai turunan dalam transmisi genetik Raja Bima. Melainkan pada sosok fenomenal misterius bernama Sulaiman. Untuk sekedar diketahui, dalam Sejarah Nganjuk (Kerajaan Berbek dan Godean), nama Sulaiman juga muncul. Kali ini dengan sebutan Haji Datuk Sulaiman, dan dalam silsilah tersebut beliau didudukkan pada posisi pertama. Pada dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan : “ Kyai Suleman Bekel Jamus ( Surakarta ) adalah putera raja Bima dan lahir 1601”. Dokumen ini memberikan petunjuk bahwa dalam abad 17 di Kerajaan Mataram terdapat putera Raja Bima yang sedang mengabdi di sana. Dihubungkan dengan tulisan Dr. Peter Carey, maka kedua dokumen itu saling mengukuhkan dan membenarkan.

Dari uraian tersebut menjadi kian jelas, bahwa Sulaiman yang muncul dalam transmisi silsilah Diponegoro dengan silsilah para pemimpin Berbek-Godean adalah sosok yang sama. Dan Ratu Kedhaton yang dipersunting oleh Kyai Sulaiman tersebut ialah puteri dari Kyain Wiroyudo.

Siapa sesungguhnya Kyai Sulaiman ini ?

Untuk menelusuri asal-usul Kyai Sulaiman, saya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan fenomenologis dan pendekatan kritik teks. Secara fenomenologis, saya akan sampai pada kesimpulan bahwa Sulaiman adalah anak dari Sultan Abdul Kahir I, sedangkan kritik teks silsilah mengarahkan saya pada kesimpulan bahwa Sulaiman adalah anak dari Tureli Belo, masih dalam lingkup bangsa Rato Cingi.


Dugaan Pertama : KYAI SULAIMAN ADALAH PUTERA DARI LA KAI

Untuk melacak transmisi genetik Kyai Sulaiman dalam silsilah Raja Bima, maka kita perlu menggarisbawahi beberapa hal, yaitu :

  1. Dari LAMPIRAN V BO’ Sangaji Kai tertulis bahwa Abdul Kahir Mantau Bata Wadu diperkirakan lahir pada tahun 1583, kawin dengan Daeng Melu, dan wafat pada sekitar 22-12-1640. (Saya cenderung menduga kalau Abdul Kahir mangkat di usia renta, sekitar ±65 tahun, buktinya adalah penghormatan Kesultanan kepada beliau dengan menempatkan makamnya di atas bukit Danatraha).
  2. Masa pemerintahan Sultan pertama, Abdul Kahir, hanya samar diketahui. Setelah Bima dikalahkan dua kali oleh armada Makassar tahun 1618 dan 1619.
  3. Raja Bima masuk Islam pada tanggal 7 Februari 1621 (Noorduyn 1987a : 317, 319); saya sendiri menduga kalau tanggal ini adalah waktu penyerahan diri seorang pemimpin Hindu-Syiwa di Nagari Bima, yang bersedia masuk Islam setelah kalah dari Makassar, sekaligus berakhirnya masa kekuasaan Bima Nagari ditandai pengukuhan Abdul Kahir sebagai Sultan Bima oleh Raja Goa Alauddin. (Baca juga : TAFSIR FITUA TENTANG KUDETA NAGARI BIMA)
  4. Tahun 1632 terjadi perang besar ketika sebahagian masyarakat Bima dibantu oleh Raja Dompu menyerang Abdul Kahir, dan selanjutnya tahun 1633 sebuah kapal Belanda yang melewati perairan Bima melihat semua sawah, rumah dan desa dibakar dan dihancurkan oleh armada Makassar sebesar 400 perahu dan ribuan orang.
  5. Pada tahun 1640 Abdul Kahir mangkat, dan diganti di atas tahta kerajaan oleh anak yang diperoleh dari perkawinannya dengan putri Makassar. Sultan baru digelarkan dengan nama Abi’l Khair Sirajuddin, namun ketika diangkat sebagai Sultan, dia baru berumur 11 tahun. (Berarti Abi’l Khair Sirajuddin diperkirakan lahir pada tahun 1629 M)

Dari petunjuk di atas dapatlah kita uraikan kemunculan Kyai Sulaiman sebagai berikut :

  1. Dalam postingan lain saya menulis bahwa La Kai sejak awal adalah seorang muslim yang tinggal di belahan lain wilayah Nagari Bima, dalam artian bahwa pada masa pemerintahan Nagari Bima Hindu, sebenarnya di Bima sudah ada perkampungan muslim awal yang dirintis oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah dan menetap di sana. (Lihat : SALISI DAN LA KAI)
  2. Konsolidasi awal La Kai dan Dato’ Ri Bandang untuk mengambil alih kekuasaan Nagari Bima sudah dimulai pada tahun 1609 M. Pada masa ini, La Kai sudah menjadi seorang kepala keluarga, dan telah dikaruniai anak, mungkin usia La Kai sekitar ±25 tahun.
  3. Pernikahan antara Abdul Kahir dengan saudara ipar Sultan Alauddin adalah usaha untuk merekatkan kekerabatan dua kebudayaan, yang sudah dipersatukan dalam semangat ideologi kerajaan yang sama, yakni Islam. Dan di sini, peran para mubalig Melayu masih dominan.
  4. Kemungkinan besar, La Kai memiliki isteri pertama yang melahirkan anak-anaknya yang lain.
  5. Pada saat Nagari Bima mulai memasuki kemelut di awal tahun 1609 M, putera-putera Abdul Kahir masih kecil (Abil Khair Sirajuddin belum lahir), dan pada masa ini Nagari Bima masih menjadi Kerajaan Hindu yang kuat.
  6. Sekira di atas tahun 1610 M, Abdul Kahir sudah membangun kontak dengan Raja Goa yang lebih dahulu sudah merubah statuta Kerajaannya menjadi Kesultanan. Kontak ini difasilitasi langsung oleh Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro.
  7. Ketika pada tahun 1618 dan 1619, armada Makassar mulai menyerang Nagari Bima (Hindu), dan sejak saat ini konstalasi kemelut di Bima terus meningkat. Tahun 1633, armada Makassar menyerbu Bima secara sporadis karena masih adanya pemberontakan dan pembangkangan karena tidak mengakui kepemimpinan Sultan Abdul Kahir sebagai Raja baru mereka, apalagi pemberontakan orang-orang Bima tersebut diback-up oleh Raja Dompu yang pada masa itu mungkin menjadi Kerajaan eks Majapahit yang tersisa.

Setelah dikukuhkan menjadi Pemimpin baru nagari Bima pada tahun 1621, Abdul Kahir harus menghadapi pergolakan dan guncangan-guncangan sosio-politik domestik. Meski Makassar berada di belakangnya, namun itu bukan berarti bahwa Abdul Kahir sudah aman dari pemberontakan. Di satu sisi, dia sudah harus berpikir untuk mempersiapkan seorang pengganti jika kelak dirinya sudah tiada. Karena itulah, Abdul Kahir memutuskan untuk mengirim Sulaiman ke Jawa, agar belajar dan memperdalam ilmu agama Islam di sana. Mungkin sebahagian dari kita bertanya; kenapa tidak diutus ke Goa (?). Jawabannya sederhana saja, karena Goa pada masa itu juga baru merintis sebuah Kerajaan Islam, sehingga belum ada pusat-pusat pesantren untuk memperdalam ilmu agama, terlebih lagi para Ulama sebagai guru yang menguasai ilmu Islam hanya berpusat di Jawa dan Malaka, sedangkan di Jawa selain terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan di Nusantara, juga di sana sudah tersohor keberadaan pesantren Kasunanan Giri.

Di sanalah kemudian, Sulaiman belajar dan menunjukkan kedalaman pengetahuan agamanya. Kepergian Sulaiman sepertinya juga direstui oleh sahabat sekaligus guru spiritual Ayahnya, yakni Datuk Ri Bandang, karena konon Datuk Ri Bandang adalah salah satu murid dari panembahan Giri yang berasal dari Pagaruyung Minangkabau (beliau diutus untuk membantu proses dakwah di kerajaan-kerajaan tengah seperti Bima dan Goa). Itulah sebabnya, kenapa kemudian di depan nama Sulaiman dicantumkan gelar Haji Datuk Sulaiman; karena sepertinya Sulaiman hadir ke Jawa dengan menyebut dirinya sebagai putera Raja Bima sekaligus kerabat Datuk Ri Bandang, dan kemungkinan besar di penghujung masa hidupnya sosok fenomenal ini sepertinya sudah menunaikan ibadah Haji.

Lalu kenapa Sulaiman justru menyebut dirinya sebagai Raja Bima, kenapa tidak menyebut dirinya sebagai putera Sultan Bima (?). Perlu dicatat, bahwa pada masa awal-awal merintis Kerajaan Islam, gelar Sultan belum serta merta digunakan sebagai gelar, penamaan tersebut muncul kemudian sebagai akibat dari politik identitas yang dilakukan oleh seluruh mubaligh dan guru spiritual para Raja, gelar Sultan sendiri muncul dari Malaka (Samudera Pasai). Dan setahu Sulaiman, ayahnya adalah seorang Raja Nagari Bima. Betapa kedalaman spiritual dan kecintaannya pada ilmu agama itulah yang membuatnya mendapat gelar Bekel Jamus, Bekel dalam istilah Jawa adalah setara Pamong Desa atau seorang pembantu Ulama; sedangkan Jamus berarti azimat, jadi pencantuman itu dinobatkan karena kekeramatan beliau sebagai seorang Ulama dan Pemimpin wilayah. Inilah yang memikat hati Kyai Wiroyudo untuk mempersuntingkan puterinya Derpayuda dengan Sulaiman. Dari pernikahan inilah kemudian kalangan bangsawan Jawa menyebutnya dengan Kyai Sulaiman.

Meskipun kita membutuhkan penelusuran-penelusuran secara ilmiah, namun dari fakta fenomonologis ini dapat terlihat sebuah gambaran, bahwa Abdul Kahir sejak mudanya sudah mempunyai kontak-kontak awal yang akrab dengan beberapa santri dari Jawa, termasuk adanya kemungkinan persahabatannya dengan santri langsung dari Sunan Prapen seperti Sayyid Ali Murtadho’ yang diutus Sunan Prapen pada akhir abad ke XVI ke pulau Sumbawa, dari sinilah kemudian Abdul Kahir mempelajari Islam secara mendalam (atau boleh jadi, Abdul Kahir adalah seorang pemuda Bima yang pernah ditempa secara khusus oleh beberapa santri Sunan Giri di Gresik). Dari sinilah saya makin menguatkan dugaan, bahwa Kyai Sulaiman yang disebut-sebut sebagai leluhur Pangeran Diponegoro dan dicatat dalam beberapa dokumen silsilah Raja Berbek maupun wilayah Jawa lainnya, tidak lain adalah putera pertama dari Abdul Kahir, sehingga dia tepatnya bernama HAJI SULAIMAN BIN ABDUL KAHIR. Dan bersaudara lain ibu dengan Abi’l Khair Sirajuddin. Antara Sulaiman dengan Sirajuddin sepertinya berselisih jauh usianya sekitar 19 tahun.

Dari pernikahannya dengan puteri dari Kyai Wiroyudho, Haji Datuk Sulaeman dianugerahi empat orang anak, yakni :

  1. Nyai Sontoyudo
  2. Nyai Honggoyudo
  3. Kyai Derpoyudo
  4. Nyai Damis Rembang

Lihat : Sejarah Nganjuk (http://www.nganjukkab.go.id) Dari Kyai Ageng Derpayuda inilah, transmisi genetik ini kemudian berkembang melahirkan Ki Ageng Tegalrejo, ayah dari Raden Ayu Mangkarawati (dipersunting oleh Sultan Hamengkubuwono III) yang tidak lain merupakan ibu kandung Pangeran Diponegoro.

Sedangkan dari puterinya Nyai Hanggayuda, melahirkan generasi Raja di wilayah Berbek-Godean, yakni Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro, selanjutnya Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro I menjadi Bupati Grobongan (mempunyai putra sebanyak 30 orang), salah satunya Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I (Bupati Berbek).

Dari gambaran inilah kemudian kita tidak perlu terkejut ketika membaca sejarah pemberontakan Trunojoyo. Seperti yang sudah dikupas oleh sejarah, bahwa Trunojoyo adalah seorang pangeran dari Madura yang memerangi Amangkurat I dan Mataram yang dituding bekerjasama dengan VOC. Pada kesempatan itu, Raden Trunojoyo disebutkan mendapat dukungan dari blok spiritual Panembahan Giri di Surabaya dan bala bantuan dari Karaeng Galesong Makassar, termasuk di dalamnya Sultan Abil Khair Sirajuddin sendiri ikut memberikan dukungan, ini bukan tidak beralasan, karena Kyai Sulaiman menjadi simpul pemersatu transmisi ideologis empat kutub sekaligus yakni Panembahan Giri, Madura, Gowa dan Bima. Kyai Sulaimanlah yang kemudian mendekatkan hubungan emosional antara Pangeran Trunojoyo, Karaeng Galesong dan Abi’l Khair Sirajuddin dalam semangat jihad yang sama untuk melawan Belanda. Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1676 M, dan Kyai Sulaiman –kalaupun masih hidup- sudah berusia ±75 tahun. Mungkin karena beliau yang dituakan, sehingga tidak sulit untuk mempengaruhi adik-adiknya sendiri. Di kemudian hari, sejarah pun mencatat bahwa Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah (putera dari Abi’l Khair Sirajuddin) juga menuntut ilmu selama enam tahun di tanah Jawa (Kerajaan Mataram), sebelum dikukuhkan menjadi Sultan Bima menggantikan ayahnya. Dalam urutan silsilah, Kyai Sulaiman adalah Ua’ dari Sultan Nuruddin, boleh jadi Sultan Abi’l Khair Sirajuddin menitipkan Nuruddin kepada saudara tuanya.


Dugaan Kedua : SULAIMAN KETURUNAN RATO CINGI

Dalam penjabaran silsilah Raja-Raja Bima sebelum Islam, terdapat nama La Suleiman yang merupakan keturunan pejabat Rato Cingi. Menurut penjelasan silsilah Bo’ Sangaji Kai, Rato Cingi adalah keturunan dari Mambora Ese Taja yang mempermasurikan anak perempuan Dewa Dalam Bata Ncandi, anak perempuan dari Dewa Bata Ncandi ini diperanakkan (dibesarkan) di kerajaan Majapahit. Mambora Ese Taja melahirkan Dewa Hyang Nyata di Saruhu, Dewa ini melahirkan Dewa Bata Lambu, lalu Bata Lambu melahirkan Bata Bou, yang memiliki 30 orang anak, 20 puluh laki-laki dan 10 perempuan. Dari 30 bersaudara inilah kemudian melahirkan Manggampo Donggo, Bilmana dan Mambora Ba Pili Tuta.

Mambora Ba Pili Tuta melahirkan beberapa orang anak, salah satunya adalah Rato Manggegiri, yang merupakan kakek buyut dari Tureli Belo yang melahirkan Sulaiman. Bangsa Rato Cingi sendiri sangat identik dengan Majapahit, hal tersebut bisa terungkap dari silsilah ke bawah dari Rato Cingi sebagai berikut :

  1. Perempuan, Inilah Dewa diperanakkan di Majapahit, ialah asal bangsa Rato Cingi, cucu daripada anak perempuan oleh Sebangi Ama Cuna.
  2. Perempuan, inilah anaknya Dewa diperanakkan di Majapahit, Rato Cingi yang kemudian lagi.
  3. Laki-Laki, Anak Rumata yang dibunuh oleh orang mencuri, ialah Mambora Ba Iso di Dompu.
  4. Perempuan, Cucu dewa diperanakkan di Majapahit, Rato Cingi lagi.
  5. Laki-Laki, Cucu daripada anak perempuan oleh Rumata Tureli itu, ia lagi cucu daripada anak laki-laki oleh Rumata Mawa’a Taho di Dompu anak mabora Balonde Ombo, naik kerajaan dalam tanah Dompu.
  6. Laki-Laki, Cucu daripada anak perempuan oleh Rato Cingi, maka beranak empat orang, dua perempuan dua laki-laki. Maka yang pertama isterinya Rato Waro Nggau, anak Rumata Mawa’a Ndapa, ialah bunda waro siri. Dan seorang lagi isterinya cucu daripada anak laki-laki Rumata Mambora Aka Ramba Ranggo, ialah Bunda Waro Suma, dan [yang laki-laki] Tureli Donggo dan Tureli Belo ayahnya La Suleiman. Ompu Mambora Ba Rige diperistrikan Rato Waro Siri maka beranak tiga perempuan, ialah bunda Tureli Woha empunya kubur di Muku dan Rato Lewi empunya kubur di Pane, dan Bumi Punti bernama La Nggawu, dan Bumi Donggo Bolo bernama Ladu.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang siapa Tureli Belo dan anaknya La Suleiman yang disebut dalam turunan silsilah di atas. Dari uraian itu saya menguraikan beberapa point penting :

  1. Bahwa Rato Cingi bukanlah nama orang, melainkan adalah sebuah jabatan yang diembankan kepada salah satu keturunan dari Dewa yang Nyata di Saruhu.
  2. Rato Cingi adalah sebuah klan besar yang bertalian erat dengan Nggampo Jawa, serta berhubungan langsung dengan Majapahit.
  3. Semenjak Bima menjadi Kesultanan, klan Rato Cingi dihilangkan dalam struktur hadat kerajaan, tetapi sebagian orang diberikan jabatan sepadan sebagai bentuk kompromi politik antara beberapa klan yang berkepentingan pasca kudeta Bima terjadi. Sedangkan sebagian lagi justru memilih untuk kembali ke Jawa.
  4. Sultan-sultan Bima dan para penutur sejarah lama mungkin tidak tahu tentang siapa La Suleiman yang mereka tulis itu, karena dalam silsilah resmi Raja Bima sebelum kesultanan, justru muncul nama-nama Islami seperti Wahid, Brahim dan Suleiman sendiri. Bahkan, butir keterangan tersebut hanya tertulis dalam margin dan agaknya merupakan koreksi atas keterangan yang disalin dalam teks sebelumnya. Sehingga penyebutan Tureli Donggo dan Tureli Belo ayahnya La Suleiman merupakan usulan yang disisipkan kemudian.

Oleh karena itu, kesimpulan saya yang kedua ialah, bahwa Datuk Haji Sulaiman yang muncul dalam catatan Jawa ialah putera dari Tureli Belo, yang dilahirkan dalam keturunan keempat Klan Rato Cingi, dari namanya saja dengan label Rato menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kendali penting dalam Kerajaan Bima. Hanya saja, silsilah ini menjadi kabur karena hanya nama Suleiman yang muncul dengan nama Islami, sisanya semua masih menggunakan nama-nama julukan lama orang Bima.

Mudah-mudahan catatan ini bermanfaat bagi para sejarawan untuk menelusuri lebih jauh tentang asal muasal Kyai Suleiman Bekel Jamus yang menjadi salah satu tokoh penting leluhur Raja-Raja Berbek di Nganjuk.

Sebagai wujud penghormatan kita pada jasa-jasanya mengembangkan Islam dan meretas keturunan bangsawan-bangsawan Jawa, alangkah indahnya jika posting ini kita tutup dengan sama-sama mengirimkan Al Faatihah kepada Almarhum Haji Datuk Sulaiman Al Bimawi. Al Faatihah !!!

Sumber Tambahan : BO' Sangaji Kai (Henry Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin)
142/6 <10+?> Pangeran Astawana-2 [Raja Gowa]
Рођење: 1708изр
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
123/6 <8+?+?+?+?> Sultan Jamaluddin Inayat Shah bin Sultan Nuruddin A bu Bakar Ali Shah (1687 – 1695) [Kesultanan Bima]
134/6 <9> Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir 29 November 1654, Berkuasa Mulai 1674 Sampai 1677, dan Wafat 15 Agustus 1681 [Raja Gowa]

7

Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
151/7 <11+?> Nyai Ageng Derpoyudo / Roro Widuri [Kesultanan Bima]
Рођење: Keturunan Ke 2 Sultan Bima
Сахрана: Kuncen, Yokyakarta
192/7 <14> Pangeran Astawana-3 [Raja Gowa]
Рођење: 1733изр
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
163/7 <12+?> Sultan Hasanuddin Muhammed Ali Shah bin Sultan Jama Luddin (1695 – 1731) [Kesultanan Bima]
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
174/7 <11+?> Penghulu Ibrahim (Ayahnya Penghulub Pekih Ibrahim) [Kesultanan Bima]
185/7 <13> I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709) [Raja Gowa]

8

Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
211/8 <15+?> 2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya (Kanjeng Ratu Mas) [Mataram]
Рођење: 1734проц, Peter Carey (Kuasa Ramalan, 913)
Свадба: <1> Sri Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Haryo Mangkubumi (Raden Mas Sujono) [Amangkurat IV] b. 6 август 1717 d. 24 март 1792
Смрт: 17 октобар 1803, Tegalrejo, Yogyakarta
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Ratu Ageng Tegalrejo : Wanita Perkasa yang Tercuri dari Sejarah

Lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan ini menggambarkan aktivitas spiritual Diponegoro saat mengajari putranya, Pangeran Ali Basah, teks mistik Islam. Banthengwareng berada di tengah, dekat Diponegoro
Lukisan koleksi Snouck Hurgronje, yang tersimpan di Universitas Leiden dengan codex 7398. Lukisan ini menggambarkan aktivitas spiritual Diponegoro saat mengajari putranya, Pangeran Ali Basah, teks mistik Islam. Banthengwareng berada di tengah, dekat Diponegoro

Ratu Ageng nama yang mirip dengan nama pahlawan Nyai Ageng Serang tapi dua wanita ini adalah beda orang. Ratu Ageng atau seringkali disebut juga Ratu Ageng Tegalrejo ini bukanlah wanita baen-baen (sembarangan). Wanita pendidik yang lahir pada tahun 1735 ini adalah seorang permaisuri dari Sultan Hamengku Buwoni I, dan juga wanita yang melahirkan Sultan Hamengku Buwono II dan ia juga merupakan nenek buyut Ontowiryo.

Belum cukup hanya itu saja, ia juga merupakan seorang Panglima Bregada Langen Kesuma. Bregada Langen Kesuma ini semacam kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat Kenya di zaman Amangkurat I yang fenomenal karena kejamnya itu.

Meski personilnya semua dari kaum Hawa, jangan berpikir mereka ini lebay meminjam istilah anak muda jama sekarang. Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat tangguh. Meskipun semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula, dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan jangan diragukan lagi. Misal sampeyan suit-suit mereka ini, salah – salah kena gibeng saja masih untung!

Anggapan diatas bukan hanya mitos atau legenda semata, setidaknya kehebatan Bregada Langen Kesuma ini diakui oleh Daendels saat berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada bulan Juli 1809. Ceritanya, dalam acara penyambutan Daendels Bregada Langen Kesuma ini memperagakan salvo senapan dan meriam yang dipergilirkan dengan sempurna. Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton. Untuk lebih lanjut tentang Bregada Langen Kesuma ini di lain kesempatan kita akan membahasnya lebih jauh.

Bobot – bibit - bebet, saya yakin kata tersebut tidak asing indera dengar kita. Tiga kata dalam satu kesatuan tersebut adalah filosofi Jawa yang berkait erat mecari jodoh atau pasangan hidup. Lazimnya ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon pasangan hidup menurut pandangan orang Jawa.

Bukan karena tipikal pemilih atau mengkotak-kotakkan manusia. Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa terkesan sangat berhati-hati , meski tidak terlalu selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning urep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.

Dalam pengertian umum, ada tiga perkara yang tidak akan terjangkau untuk diketahui manusia yakni, mati, jodoh, dan rejeki. Namun bagi masyarakat Jawa, setidaknya ada lima perkara yang mana manusia tidak dapat mengetahui dengan pasti akan nasib dalam perjalanan hidupnya ; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), dan lima bandha (rejeki).

Merujuk dari filosifi bobot – bibit – bebet di atas tak lain adalah, dalam hal memilih pasangan hidup yang ideal bagi masyarakat Jawa adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup ketika berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Bahkan ada pepatah mengatakan, “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya”.

Dalam konteks Ratu Ageng ini, filosofi Jawa diatas semuanya komplit ada pada dirinya. Bagaimana tidak, selain yang sudah saya narasikan di atas jika ia adalah seorang permaisuri sekaligus dari rahimnya terlahir seorang Nata. Hal ini tidaklah mengherankan, karena Ratu Ageng ini adalah anak perempuan dari seorang kyai masyur pada jamannya, yakni Kyai Ageng Derpoyudho dari Majangjati, Sragen. Lumrah adanya selain karena kecerdasannyam Ratu Ageng ini terkenal karena alimnya.

Jika kita telisik lebih jauh lagi tentang silsilah Ratu Ageng ini, bisa jadi ada pengetahuan yang benar-benar baru dan baru kita ketahui. Kyai Ageng Depoyudho ini adalah putera dari Kyai Ageng Datuk Sulaiman atau sering disebut juga Kyai Sulaiman Bekel yang lahir sekitar tahun 1601, ia adalah anak tertua dari Sultan Abdul Kahir. Leluhur Ratu Ageng dapat dilacak dari sisi ibunya hingga ke Sultan Bima Pertama Abdul Kahir, Sumbawa, yang telah menghabiskan banyak waktu di Jawa untuk mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren. Pada kesempatan lain kita akan membahasnya, biar lebih mudah untuk kita menguarainya.

Kasih sayang sang permaisuri yang tercurah terhadap cucu uyutnya ini bertolak belakang dengan anaknya sendiri, Raden Mas Sundoro. Bahkan bisa dikatakan hubungan ibu dan anak ini tidak akur. Lazimnya seorang ibu yang berharap anaknya berbudi pekerti yang baik, hal ini disalah pahami oleh Sundoro (kelak adalah HB II) yang dididik secara keras sesuai tuntunan agama. Tapi begitulan manusia, apapun latarbelakangnya, apakah dari trah bangsawan atau rakyat jelata selalu ada saja yang mbeling.

Karena hubungan ini pula yang mendasari keluarnya Ratu Ageng dari lingkungan keraton ketika suaminya, Hamengku Buwono I mangkat pada tahun 1792 yang kemudian tahtanya diwariskan pada anaknya Raden Mas Sujono ini. Ia lebih memilih tinggal di sebuah dusun kecil sejam perjalan kaki dari keraton, yakni Tegalrejo. Meskipun ia juga tahu jika Raden Mas Sujono pun sangat membenci Belanda. Tapi apa boleh buat, gaya hidup anak kesayangannya tersebut bahkan mengalahkan orang Belanda itu sendiri. Ontowiryo yang masih bocah pun diboyongnya dan hidup ditengah-tengah wong cilik, rakyatnya sendiri.

Bisa jadi, karena dibesarkan dalam lingkungan wong cilik atau rakyat kecil, maka dalam jiwa bocah Ontowiryo tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang kecil. Apalagi dalam keseharian, Ontowiryo melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul dengan kawulo alit.

Pun, ketika bocah Ontowiryo tanpa canggung membantu nenek uyutnya yang seorang ibu suri ini tangannya belepotan lumpur demi menghidupinya. Bahkan, keteguhan Ratu Ageng yang tidak mau menerima bantuan keuangan dari keraton sangat tertanam kuat dalam alam pikir Ontowiryo yang terbawa hingga akhir hayatnya.

Sebagai wanita ningrat yang terbilang cerdas, hal ini sangat beralasan karena Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di Tegalrejo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda, Ratu Ageng tidak begitu terobsesi. Bahkan, dalam satu riwayat mengatakan Ratu Ageng ini hanya memiliki barang-barang primer yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Dalam pembentukan watak spiritual Ontowiryo, pola pengasuhan Ratu Ageng terhadap cucu uyutnya ini sangatlah keras. Sejak kecil Ontowiryo telah diajarkan mengenai keislaman dan adat istiadat Jawa tradisional. Hal yang sangat ditanamkan pada diri pangeran kecil mengenai nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.

Dari Ratu Ageng inilah menjadikan Ontowiryo tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan diskusi keagamaan. Selain itu wilayah Tegalrejo ketika itu pun sudah merupakan daerah yang kental dengan budaya pesantren. Hingga akhirnya pendidikan yang diterima oleh Diponegoro jauh lebih intensif dibandingkan anak-anak dari keluarga ningrat pada umumnya.

Tidak hanya itu banyak kitab-kitab yang dipelajari oleh Pangeran Diponegoro, diantaranya Kitab Tuhfah berisi ajaran sufisme, kitab-kitab ushul Fiqh, teks-teks Islam-Jawa yang berisi moral dan dasar-dasar sastra Jawa, beliau juga mempelajari syair-syair Jawa dan materi ketatatanegaraan serta kerajaan. Salah satu gurunya adalah Kyai Taptojani yang kelak dikemudian hari sebagai penasihat utama untuk urusan agama Diponegoro.

Berkat nenek buyutnya Diponegoro belajar banyak perihal disiplin diri, ketaatan beragama, dan kemampuan atau kepekaan untuk membaur dengan semua kelas masyarakat Jawa. Hidup di Tegalrejo juga mengajarkannya keuntungan yang diraih dari sikap menjaga diri dari lingkungan Keraton Yogyakarta, masuk ke dalam dunia batin sendiri secara intensif, menjadi seorang pecinta kesunyian dan nilai hidup bahwa kedamaian batin itu datang dari olah tapa dan refleksi diri dalam keheningan.

Nah, dipenghujung akhir tulisan ini, ada satu simpulan bahwa pengaruh Ratu Ageng inilah yang mempunyai andil besar dalam pembentukakan kepribadian Diponegoro. Pengalaman agama yang mendalam dan pengaruh yang kuat serta hubungan Ratu Ageng yang luas dengan komunitas-komunitas santri di Jawa Tengah secara tidak langsung memberikan satu kemudahan tersendiri bagi Diponegoro dalam usaha mewujudkan cita-citanya. Membebaskan orang Jawa dari intervensi dan kolonialisasi bangsa Belanda.

Meski dalam hal ini kita tidak mengesampingkan peran tidak langsung dari ibu kandung Diponegoro sendiri, Raden Ayu Mangkarawati yang merupakan selir Hamengku Buwono III yang tak lain adalah anak perempuan dari Kyai Prampelan yang kesohor tersebut. Pun halnya, sang nenek sendiri Ratu Kedhaton yang merupakan wanita sholehah.

Maka tidak berlebihan jika kita beranggapan di balik nama besar Diponegoro ada wanita hebat dibelakangnya, yakni Ratu Ageng atau dalam nama gadisnya Niken Ayu Yuwati ini. Wanita sholehah yang masih terbilang trah Ampel yang sekaligus cucu Sultan Bima di Sumbawa. Meski dalam lembaran sejarah tidak banyak disebutkan seolah tenggelam oleh cucu uyut kesayangannya tersebut. Maka, satu kesimpulan yang bisa jadi sangat provokatif, Ratu Ageng : Wanita Tangguh yang Tercuri dari Sejarah.

Perempuan Ini di Balik Nama Besar Pangeran Diponegoro

Nyai Ageng Tegalrejo adalah satu di antara beberapa tokoh pe rempuan di Jawa yang punya andil besar dalam sejarah negeri ini. Ia adalah pejuang sekaligus ulama dan nenek buyut dari pahla wan nasional Pangeran Dipone goro. Ia juga berada dibalik pembentukan karakter kepribadian Pangeran Diponegoro Nyai Ageng Tegalrejo yang lahir pada 1735 ini merupakan istri dari Sultan Hamengku Buwono I. Sosoknya dikisahkan sebagai perempuan pejuang. Ia mewarisi bakat militer dari tokoh ber kembangnya Islam di Bima, Sultan Abdul Qahir (Sultan Bima ke , (1621-1640). Dalam Pe rang Giyanti, Ia ikut mendam pingi suaminya bergerilya.

Nyai Ageng Tegalrejo merupakan anak dari Kiai Ageng Der poyudhi dari Majangjati, Sragen, kiai masyhur pada waktu itu. Kiai Ageng Derpoyudho sendiri ada lah putra dari Kiai Ageng Da tuk Sulaiman atau sering akrab disebut Kiai Sulaiman Bekel. Kealimannya juga tak lepas dari darah yang mengalir dari silsilah keturunannya.

Terkait kisah Nyai Ageng Te galrejo dalam kehidupan keluarga Keraton Ngayogyakarta, pada suatu waktu ia memilih keluar dari keraton setelah suaminya mangkat karena hubungan buruk dengan anaknya Sundoro (kelak HB II). Ia kemudian memilih ting gal di Tegalrejo, sebuah desa yang terletak di tenggara Keraton. Nyai Ageng Tegalrejo berani mening galkan Istana karena melihat anaknya yang dinilai mulai menyepelekan perintah agama. Di Tegalrejo, Nyai Ageng Tegalrejo giat bertani tanpa meninggalkankan ibadah.

Sebagai keturunan bangsawan Jawa, kehidupannya juga tidak bisa dilepaskan dari filosofi dan tradisi Jawa. Dalam sebuah artikel bertajuk "Ratu Ageng Tegalrejo: Wanita Perkasa yang Tercuri Sejarah" disebutkan bahwa Nyai Ageng Tegalrejo memegang filosofi Jawa dalam memilih pasangan hidup, yaitu mempertimbangan bebet, bibit, dan bobot.

Ia pernah menjadi komando Korp Prajurit Estri yang terdiri da ri para pendekar perempuan. Di bawah kepemimpinannya, Korp Prajurit Estri ini mengalami kemajuan. Bahkan beberapa ta hun menjelang Perang Jawa, korps ini membuat utusan negara dan Eropa terkagum-kagum dengan kemampuan para pendekar perempuan dalam menaiki kuda, melepaskan tembakan salvo dan ketepatan membidik.

Di samping itu, cucu dari Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus ini dikenal sebagai perempuan yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan ia tularkan kepada Pangeran Diponegoro sebagai orang yang diasuhnya. Karena itu, dalam beberapa sumber disebutkan Nyai Ageng Tegalrejo mempunyai peran besar dibalik nama besar Pangeran Diponegoro. Diponegoro kemudian menjadi sosok yang banyak mempelajari kitab-kitab fikih melalui para ulama yang sering diundang ber diskusi di Balairung, kediamannya di Tegalrejo.

Diponegoro mempelajari kitab Muharrar karya Imam ar- Fari'i dan Lubab al-Fiqh karya Al-Mahamili. Kitab Taqrib karya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab karya Imam Zakari yah al-Anshari merupakan favo rit bacaannya. Di tangan Nyai Ageng Tegalrejo, Pangeran Dipo negoro menjadi mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan aksara pegon. Nyai Ageng Tegalrejo juga yang memperkenalkan Pangeran Diponegoro terhadap tradisi akademis Tarekat Syattari yah melalui kitab Tuhfat al-Mursalahila Ruhan-Nabi karya Syekh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri.

Peran besar Nyai Ageng Te gal rejo sangat terasa pada diri Diponegoro. Itu terlihat ketika sosok pembimbingnya wafat pa da 17 Oktober 1803. Ia merasa ke hilangan pembimbing utama sejak usia remaja hingga dewasa. Kendati demikian, rasa kehilangannya tersebut tak membuat Diponegoro lemah. Ia menjadi lebih dekat dengan rakyat.
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
232/8 <15+?> 4. Raden Ronggo Prawirosentiko (1) / Raden Ronggo Prawirodirjo I [Mataram]
Титуле : од 1755, Bupati Madiun Ke 14, di Kranggan
Смрт: 1784, dimakamkan di Pemakaman Taman
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


MADIUN DIBAWAH TRAH BUPATI PRAWIRODIRJO

Setelah Perjanjian Gianti Pangeran Ronggo Prawirosentiko di angkat sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo dan berkedudukan di istana lama di Kranggan.

Masa pemerintahan Ronggo Prawirodirjo I, dibangun istana baru di Desa Wonosari, sebelah utara kali catur, tidak jauh dari istana Kranggan. Istana ini digunakan sebagai kantor Dinas Bupati Wedono. Menurut buku ”De Stand der Voedingsmidellen” oleh De Vorstenlanden. Struktur pemerintahan pada waktu itu terdiri :

Bupati : dibantu kerabat ( kaum sentana) sebagai pemegang policy daerah serta penerus perintah dari Pusat.

Patih : tugas pokok mengemudikan jalannya pemerintahan sehari-hari

Mantri Besar : tugas membagi pekerjaan negara dan sekaligus mengawasi

Mantri : terdiri beberapa orang Mantri yang menguasai di bidang masing-masing yaitu, Mantri Praja, Mantri Tani, Mantri Keuangan, Mantri Hukum

Beberapa Pegawai Istana

Kelima jajaran itu disebut Kaum Priyayi

Pada tingkat Desa susunannya adalah :

Bekel (Kepala Desa) : Pejabat pemerintahan di Desa

Carik : pelaksana jalannya pemerintahan

Kebayan : memberi perintah dan menarik pajak

Kepetengan : Mengatur keamanan desa

Modin : urusan keagamaan (islam) perkawinan, kelahiran dan kematian

Beberapa desa yang berdekatan , dibentuk seorang DEMANG dengan tugas sebagai koordinator dari para Bekel dan beberapa Kademangan di bentuk lah seorang Koordinator yaitu, PALANG atau disebut juga Lurah Palang.

Dalam Buku ”Kebudayaan Islam” oleh Mohammad Natsir mengutarakan bahwa, pertemuan pejabat-pejabat tertentu biasanya dilaksanakan pada hari Senin, Rabu dan Sabtu. Bertempat di Pendopo istana atau disebut Mandapan ( mandapa, Pendapa)

Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) selama 13 tahun sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama, Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (sekarang Demangan/Kuto Miring) sebagai Istana Bupati Wedono Madiun. Raden Mangundirjo, adalah seorang yang pemberani, cakap dan lincah. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengkubuwono I.

RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau berkediaman di 3 tempat yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari. Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Ds. Sekaran (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup dekat makam Imogiri. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.


PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.

Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.

Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.

Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.

Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.

Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.

Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :

1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.

2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.

(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)

3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)

4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.


PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA

Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.

Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara

Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda

Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan

Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.

Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.

Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.

Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo

Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta,

versi Peter Carey : 1.Prambanan 2.Klaten 3.Delanggu (21 November 1810) 4.Kartasura (22 November 1810) 5.Masaran * 6.Padas (24 November 1810) 7.Sragen * 8.Tarik (25 November 1810) 9.Jagaraga 10.Magetan (27 November 1810) 11.Maospati (28 November 1810) 12.Madiun 13.Sentul (3 Desember 1810) 14.Caruban (8 Desember 1810) 15.Tunggur (9 Desember 1810) 16.Berbek 17.Pace * 18.Nganjuk (10 Desember 1810) 19.Gabar 20.Kertasana (11 Desember 1810) 21.Munung (12 Desember 1810) 22.Pandhantoya 23.Cabean (14-16 Desember 1810) 24.Sekaran (16-17 Desember 1810)

  • = daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III

Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn kesultanan

PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.


YOGYAKARTA SETELAH PERLAWANAN BUPATI MADIUN

Sejak terjadi pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap Belanda, disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang kuat, bahkan setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda menambah kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi keinginan Belanda untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih belum puas, tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan mengangkat putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun pengganti Raden Ronggo Prawirodirjo III ), Sultan Hamengku Buwono II kemudian disebut Sultan sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu seperti Grebeg Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya, hadir mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.

Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke Semarang oleh Hamengku Buwono II sebagai jaminan atas janji untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III, baru di kembalikan ke Istana Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu pun, karena ada perubahan politik dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis) yaitu, kekalahan Pemerintah Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda menginginkan kedua pangeran tersebut untuk di binasakan.

Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto berpusat di India mengepung pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat pertahanan pasukan Belanda di Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti Daendels) yang semula Gubernur Kaap Kolonie ( Afrika Selatan) menghadapi nasib tragis. J.W. Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan mendapat bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat simpati. Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam membantu tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah Yogyakarta. Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada Jendral Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian ”Kapitulasi Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.

Pergantian Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh untuk mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan Hamengku Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan menjadi Putra Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan pembersihan di lingkungan Istana, Patih Danuredjo II di bunuh dan pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap dan dipenjara atau di bunuh.

Setelah Kapitulasi Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan di Nusantara kepada Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Rafless.

Pada masa Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II mengajak Kasunanan Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram, termasuk tata cara Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku Buwono II ini membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran Notokusumo, tanggal 18-20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral Gillespie menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun Pasukan Inggris berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun tahta , Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra mahkota), kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon

Pada tanggal 1 Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku Buwono III untuk memenuhi keinginan Pemerintah Inggris , yaitu antara lain :

- Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh Pacitan, Rembang, Japan, Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah Inggris yang diberi ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun

- Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai angkatan bersenjata yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton

- Memberikan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah Inggris.

Tanggal 17 Maret 1813 Pemerintah Inggris mengangkat serta membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815 kekuasaan Inggris di Nusantara diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda

Tahun 1820, Bupati Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif menjalankan roda pemerintahan dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika penguasa berhalangan dibentuklah perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu itu Patih Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun. Penerus Trah Prawirodirjo yaitu Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum cukup dewasa


MASA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN

Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.

Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :

Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon )

Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)

Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.

Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.

Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang Belanda.

Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya serangan mendadak tentara Belanda di rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya di Tegalrejo.

Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun 1825-1826. periode II, tahun 1827-1830.

Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :

Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :

- Maospati

(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )

- Wonorejo

- Kranggan atau Wonokerto

- Muneng dan Bagi

- Keniten (Ngawi)

- Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)

- Bangil (Ngawi)

- Purwodadi (Magetan)

- Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)

- Ponorogo ( terdiri dari 6 kabupaten)

- Caruban

- Lorog ( Pacitan)

- Panggul (Pacitan)

Selain daerah Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.

Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih dikenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara Timur.

Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :

- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro ), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.

- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul

- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten

- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati

- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng

- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi

- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran Diponegoro.

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro.

Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang, walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.

Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.

Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun,Maospati, Magetan, Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.

Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan lapangan dari Surabaya.
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
263/8 <17> Penghulu Pekih Ibrahim / Diponingrat [Kesultanan Bima]
Титуле : од 1755
Peter Carey (Kuasa Ramalan, 913)
284/8 <19> Pangeran Astawana-4 [Raja Gowa]
Рођење: 1758изр
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
205/8 <15+?> 1. Raden Kertomenggolo / Raden Kertodirjo I [Mataram]
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
226/8 <15+?> 3. Raden Prawiromantri / Sedo Perang [Mataram]
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
247/8 <16+?> Sultan Alauddin Muhammed Shah Zillullahi fi al Alam bin Sultan Hasanuddin (1731 – 1748) [Kesultanan Bima]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Sitti Maryam Rachmat Salahuddin (1999:56) dalam Catatan Kerajaan Bima Bo' Sangaji Kai pada Naskah No. 34 yang ditulis sejaman Raja Sumbawa Lalu Muhammad (Sultan Muhammad Kaharuddin II) menyebutkan: Manuru Daha anak dari Datu Tengah binti Sultan Sumbawa Mas Bantan Datu Loka.

Turunan Raja-Raja di Sumbawa

Bahwa ini peringatan turun-temurun bangsa raja yang empunya kerajaan Sumbawa, itulah raja yang bernama Raja Paruwa yang memperanakkan dua orang perempuan, yaitu seorang yang diperistrikan oleh Raja Banjar, maka beranak seorang laki-laki, itulah menjadi Raja Taliwang yang hilang di Tallo'. Kemudian berapa lama antaranya maka matilah istrinya Raja Banjar itu anak Raja Maja Paruwa, maka takdir Allah taala maka diperistrikan pula adik istrinya anak Raja Maja Paruwa, maka diperanakkan lagi seorang laki-laki, itulah yang dinamai Datu Loka menjadi Raja Sumbawa, itulah yang pergi di Mengkasar memperistrikan anak Raja Tallo' Taminar Lampana, yaitu cucunya oleh Yang Dipertuan Kita Mantau Uma Jati ialah Sirajudin, memperanakkan empat orang, seorang bernama Balasawo, dan seorang lagi Raja Sumbawa yang hilang di Bali, dan seorang perempuan bernama [Datu] Tengah, dan seorang lagi bernama Datu Jereweh.

Adapun yang bernama Balasawo itu tiada beranak, dan Raja Sumbawa yang hilang di Bali beranak seorang perempuan bernama Datu Bini. Maka Datu Bini diperistrikan oleh Raja Mengkasar bernama Karaeng Bonto Langkasa, maka beranak seorang perempuan bernama Siti Hadijah, itulah diperistrikan oleh Datu Pengantin anak Raja Taliwang dengan Raja Banjar. Maka ialah beranak seorang laki-laki, itulah Raja Sumbawa yang besar badannya. Maka Raja Sumbawa yang besar badannya itu diperanakkan lagi seorang laki-laki bernama Lalu Muhammad, menjadi Raja Sumbawa sekarang ini adanya.

Seperkara lagi Datu Jereweh saudaranya oleh yang hilang di Bali, maka beranak seorang laki-laki bernama Datu Susun, itulah menjadi raja yang memperistrikan anak raja yang hilang di Bali bernama Datu Bini itu akan tetapi tiada beranak. Dan lagi seperti saudaranya bernama Datu Tengah, itulah yang beranak empat orang, pertama-tama Tuan Kita Manuru Daha, dan kedua Tuan Kita bernama Abdullah yang hilang di Bali, ketiga perempuan Paduka Tallo', dan keempat laki-laki Raja Sumbawa yang empunya kubur di Tanah Taraha, itulah pangkatnya yang tiada berhingga menjadi Raja Sumbawa sampai sekarang ini. Intaha demikianlah adanya. Datu Tengah diperistrikan oleh Tuan Kita Sultan Hasanuddin ma Bata Bou.
Lambang Kesultanan Bima
Lambang Kesultanan Bima
258/8 <15+?> 5. Nyai Ageng Penghulu [Mataram]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Peter Carey (Kuasa Ramalan, 913)
279/8 <18> La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711) [Raja Gowa]