2. RAA Surianata Legawa (Patih Sukabumi) / Rd. Kartawinata - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:906223
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> 2. RAA Surianata Legawa (Patih Sukabumi) / Rd. Kartawinata [Wiratanudatar]
Професија : од 1852, Patih Sumedang
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


AYOBANDUNG.COM--Tutup kepalanya bendo, pandangannya tertuju ke depan, bajunya beskap dengan kalung tali yang melingkar di leher hingga pinggangnya, tangan kiri berkacak di pinggang dan telapak tangan kanannya menindih sebuah buku tebal di atas meja bundar berkaki tiga. Ke bawahnya kain batik hingga menutupi bagian kakinya yang tak beralas kaki. Inilah potret Raden Kartawinata (1852-1907) yang dikoleksi oleh KITLV dengan kode 7257.

Keterangan yang menyertai potret berwarna sepia ini tertulis, “zoon van Raden Hadji Moehamad Moesa, hoofdpenghoeloe van Garoet” alias anak lelaki Raden Haji Moehamad Moesa (1822-1886) yang menjabat sebagai hoofdpenghoeloe di Garut (1864-1886). Selain itu, ada perkiraan pembuat potretnya, yakni W.J. Beynon di Cirebon sekitar 1865. Bila melihat tampangnya dan 1852 sebagai tahun kelahirannya, saya tidak yakin potret tersebut dibuat pada 1865, karena penampilannya kayak menyiratkan umur sekitar 18 atau 20 tahun.

Anggapan tersebut bisa jadi beralasan bila mengingat ada potret ayahnya yang juga dikoleksi KITLV dengan kode 42181. Di situ ada keterangan “Penghoeloe te Garoet” dan sama diperkirakan dibuat W.J. Beynon tetapi memberi angka perkiraan tahun pembuatannya 1870. Bila kita anggap potret Kartawinata maupun ayahnya dibuat saat bersamaan, saya cenderung memilih 1870 sebagai waktu pembuatannya, saat Kartawinata berumur 18 tahun, ketika sedang atau baru menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Kabupaten di Sumedang.

Yang jelas, baik Moehamad Moesa maupun Kartawinata merupakan sosok-sosok penting dalam perkembangan tradisi cetak di Tatar Sunda. Keduanya bahkan dianggap sebagai perintis penulisan buku cetak Sunda sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam tulisan ini dan tulisan-tulisan mendatang yang hendak saya lacak jejaknya terutama Kartawinata. Mengapa sosok Kartawinata alias Raden Adipati Aria Suria Nata Legawa layak diangkat dan patut diperbincangkan kembali? Salah satunya, dari kaca mata saya sebagai seorang penerjemah ke bahasa Sunda, dialah penerjemah resmi pertama bahasa Sunda dari kalangan pribumi (1872-1905). Sebelum Kartawinata, tidak ada pribumi Sunda yang dijadikan sebagai penerjemah bahasa Sunda.

Lebih jauhnya, dengan kemampuannya ditambah ihwal lainnya, Kartawinata beroleh manfaat besar dari mempelajari bahasa Sunda. Di samping menerjemahkan dari bahasa Belanda dan Jawa ke bahasa Sunda, ia menulis dalam bahasa Sunda, menyusun kamus Belanda-Sunda bersama P. Blusse (1876), menjadi anggota Perhimpunan Batavia (sejak 1879), menulis makalah ilmiah dalam bahasa Belanda, diangkat menjadi patih Sumedang (1883-1892), hingga beroleh posisi tertinggi yang dapat diraih oleh seorang pribumi: menjadi patih setaraf bupati (zelfstandig patih) bagi Sukabumi (1892-1905).

Ihwal Kartawinata telah dibahas antara lain oleh Tom van Den Berge (Karel Frederik Holle, Theeplanter in Indië 1829-1896, 1998) dan Mikihiro Moriyama (A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of Writing m Nineteenth Century West Java, 2003; atau Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, 2005). Ketiga buku tersebut pada gilirannya nanti akan saya gunakan sebagai titik pijak dan bahan rujukan untuk melacak jejak sekaligus menghimpun informasi mengenai Kartawinata.

Untuk kali pertama ini, saya akan membahas jejak keluarganya, termasuk leluhurnya. Dari pihak ayahnya, kakek Kartawinata adalah Patih Limbangan Raden Rangga Soerjadikoesoemah sementara dari pihak ibunya, R.A. Perbatamirah, kakeknya adalah Dalem Tumenggung Sindangraja Suriadilaga (III) dengan leluhur Pangeran Santri dari Sumedang. Jadi, sebenarnya baik dari pihak ayahnya maupun ibunya, Kartawinata termasuk ke dalam kelompok menak tinggi, karena dekat dengan orang nomor satu di kabupaten.

Dari keterangan yang dihimpun Moriyama (2005) yang diperolehnya dari A. Rachman Prawiranata pada 27 Oktober 1994 di Bandung, Moehamad Moesa enam kali menikah. Istri pertamanya R.A. Perbata dan memiliki anak R.A.A. Soeria Nata Ningrat (Bupati Lebak), R.A.A. Soeria Nata Legawa atau Kartawinata (Patih Sumedang), R.S. Domas, dan R.H. Zainal Asikin (Hoofdpanghulu Limbangan). Istri keduanya R.A. Banonagara yang melahirkan R. Soeria Nata Madenda, R. Radja Bodedar, dan R. Niswan Radjanagara. Istri ketiganya R.A. Rija yang menurunkan R.A. Lasminingrat (istri Bupati Limbangan), R.A. Ratna Ningroem, R.A. Lenggang Kancana.

Lalu, istri keempatnya adalah R.A. Djoehro yang melahirkan R. Moerminah, R. Siti Rahmah, dan R.A.A. Prawirakoesoemah (Bupati Serang). Istri kelimanya R.A. Lendra Karaton dengan anak-anak yang dilahirkannya R. Ahmad Natalegawa (Wedana Singaparna) dan R. Moehamad Prawiradilaga (Wedana Cibeber). Sementara istri keenamnya adalah R. Tedjamantri yang melahirkan R. Andu Surja Adi Widjaja (Hoofdjaksa Bandung).

Dengan demikian, Kartawinata adalah anak kedua Moehamad Moesa dari istri pertamanya, dengan saudara kandung tiga orang dan saudara tiri sebanyak 12 orang. Di antara saudara kandung dan tirinya tersebut banyak pula yang menjadi pejabat pemerintahan pribumi.

Informasi lainnya terkait ibu dan saudara Kartawinata dapat diperoleh dari “Silsilah Pangeran Santri (Gen.01-13) (2014-05-27)” yang dimuat dalam silsilah-ernimuthalib.blogspot.com. Di situ disebutkan bahwa istri Moehamad Moesa bernama RA. Perbatamirah Soeriadilaga dan mempunyai anak Rd. Aria Suria Nata Legawa dan RA. Domas. Dari silsilah ini, nama Soeria Nata Ningrat dan Zainal Asikin tidak dimasukkan, entah apa alasannya. Namun, saya cenderung percaya pada keterangan Prawiranata (1994) di atas, karena pada salah satu tulisannya (“Pangeling-ngeling ka Padoeka Toewan Karel Frederik Holle”, 1897), Kartawinata mengonfirmasi keberadaan kakaknya, Soeria Nata Ningrat.


Satu lagi adalah ihwal tahun kelahiran Kartawinata. Moriyama (2005) secara konsisten menyatakan tahun kelahiran Kartawinata pada 1846. Saya tidak tahu dari mana Moriyama mendapatkan keterangan tahun tersebut. Namun, saya punya temuan lain dari dua sumber. Pertama dari keterangan yang dimuat dalam Verslag van het inlandsch onderwijs in Nederlandsch-Indie 1869 (1872) dan kedua dari tulisan Clockener Brousson (“Indische Penkrassen, XLV” dalam Arnhemsche courant edisi 23 Januari 1904).

Dari Verslag 1869, saya jadi tahu bahwa nama kecil Kartawinata adalah Raden Brata Koesoema yang kemudian setelah masuk sekolah di Sumedang berubah menjadi Kartawinata. Namun, yang lebih penting lagi adalah informasi yang menyebutkan bahwa Kartawinata masuk ke sekolah tersebut pada Agustus 1868 saat berusia 16 tahun. Nah, dari keterangan tersebut jelas sudah bahwa Kartawinata lahir pada 1852. Sementara dari keterangan Brousson (1904) saya mendapatkan tahun kelahirannya pada 1853. Di situ Brousson menyebutkan bahwa Raden Ario Soeria Nata Legawa, Patih Sukabumi lahir di Garut pada 1853. Alhasil, ada selisih setahun antara keterangan dari Verslag 1869 dan dari Brousson.

Di satu sisi, Brousson, yang pada kesempatan selanjutnya akan saya bahas, menunjukkan kedekatan dengan Kartawinata melalui kunjungan-kunjungannya ke Sukabumi saat dia memimpin Bintang Hindia dan bahkan kemungkinan besar mewawancarai serta mengajaknya bergabung untuk mengisi berkala yang dipimpinnya dengan kontribusi tulisan berbahasa Sunda. Kenyataan ini jadi menguatkan tahun 1853 sebagai tahun kelahiran Kartawinata. Meskipun tidak juga menutup kemungkinan adanya kekeliruan menuliskan angkanya atau barangkali adanya kekeliruan Kartawinata saat menyebutkan tahun kelahirannya.

Di sisi lain, Verslag 1869 juga sangat meyakinkan, karena saat itu Kartawinata masih menjadi pelajar di Sumedang, pada tahun keduanya, sehingga pasti penulis Verslag mendasarkan angka tahunnya dari pendaftaran Kartawinata sebagai pelajar di sekolah tersebut. Dengan demikian, untuk sementara, saya berpegang pada keterangan ini. Meski ini pun tidak menutup kemungkinan keliru saat menuliskannya.

Barangkali jawaban pastinya dapat dilihat pada epitaf di batu nisannya. Namun, sayangnya, hingga saat ini saya belum memiliki informasi di mana Kartawinata dikuburkan. Semoga saja dalam waktu yang tidak lama lagi, saya akan mendapatkan keterangan pastinya.

2

KABUPATEN GARUT
KABUPATEN GARUT
21/2 <1+?> 1. Rd. Adipati Aria Soeria Kartalegawa I [Wiratanudatar]
Титуле : Bupati Garut ke V (1915-1929)
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Foto :http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sekilas_bupati2 www.garutkab.go.id


Deskripsi Bupati Garut dari Masa ke Masa

Sejak periode Kabupaten Limbangan baru yang beribukota di Suci sebagai cikal bakal Kabupaten Garut sampai dengan periode setelah muncul nama resmi “Kabupaten Garut”, terdapat 23 bupati yang pernah menjabat.

Seperti yang telah dijelaskan dalam halaman Sejarah Singkat Garut, pembentukan Kabupaten Limbangan-baru berdasarkan Surat Keputusan Raffles sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor) di Indonesia adalah tanggal 16 Februari 1813. Bupati yang menjabat pada saat itu adalah RAA Adiwijaya (1813-1831), karena itu jika perhitungan masa pemerintahan Kabupaten Garut berawal dari sini maka RAA Adiwijaya merupakan Bupati Garut yang pertama.

Sejak 1 Juli 1913 Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut yang terjadi pada masa pemerintahan periode ke-4 sejak 1813, yaitu masa Bupati RAA Wiratanudatar (1871-1915), berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 7 Mei 1913 (Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No.356: Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 7 Mei 1913 No. 60). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa RAA Wiratanudatar merupakan Bupati pertama yang memimpin wilayah pemerintahan dengan nama Kabupaten Garut.

Pada tanggal 14 Agustus 1925, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan sebagai daerah pemerintahan yang berdiri sendiri (otonom). Ini terjadi pada masa pemerintahan RAA Soeria Kartalegawa yang menjadi Bupati ke-5 sejak 1813 atau Bupati ke-2 sejak muncul nama Kabupaten Garut. Oleh karena itu, RAA Soeria Kartalegawa merupakan bupati pertama yang memimpin Kabupaten Garut sebagai daerah otonom.

Pada zaman kolonial Belanda, pergantian bupati yang berlaku di Kabupaten Garut identik dengan yang berlaku di kerajaan-kerajaan kuno Indonesia, yaitu bila Bupati meninggal atau berhenti karena hal tertentu, maka yang berhak menggantikannya adalah putera laki-laki tertua atau menantu laki-laki. Kalau pun tidak demikian, penggantinya masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan yang dekat. Dari masa ke masa, tercatat bupati pertama RAA Adiwijaya (1813-1831) digantikan oleh puteranya RAA Kusumadinata (1831-1833) sebagai bupati kedua. Lalu bupati kedua diteruskan oleh menantunya Tumenggung Jayadiningrat (1833-1871) sebagai bupati yang ketiga. Masih memiliki ikatan kekeluargaan, bupati ketiga digantikan oleh RAA Wiratanudatar (1871-1915) sebagai bupati yang keempat. Selanjutnya bupati keempat digantikan oleh keponakannya Adipati Suria Kartalegawa (1915-1929) yang menjadi bupati kelima. Kemudian ia diteruskan oleh puteranya Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa (1929-1944) sebagai bupati keenam.

Dalam sejarah Garut, tercatat periode Bupati terlama yang memimpin hingga mencapai lebih dari 40 tahun yaitu RAA Wiaratanudatar (1971-1915). Sedikitnya ada tiga orang Bupati yang memimpin kurang dari satu atau dua tahun seperti R. Tumenggung Endung Suriaputra (1944-1945) atau Letkol Akil Ahyar Masyur (1966-1967).

Sejarah juga mencatat, bahwa sejak pemilihan bupati berdasarkan periode waktu, belum terdapat Bupati Garut yang memegang masa jabatan lebih dari satu periode.

Foto - Foto Bupati Garut Dari Masa Ke Masa
LAMBANG           KABUPATEN CIANJUR
LAMBANG KABUPATEN CIANJUR
32/2 <1+?> 2. Rd. Aria Adipati Surianataatmaja (Rd. Abas) [Wiratanudatar]
Титуле : Bupati Cianjur ke 14 (1932 - 1934)

3

KABUPATEN GARUT
KABUPATEN GARUT
41/3 <2> Adipati Moh. Musa Suria Angga Kartalegawa [Wiratanudatar]
Титуле : Bupati Garut Ke VI (1929-1944)