Jaka Dillah / Arya Damar (Raja Palembang) - Индекс потомака
Из пројекта Родовид
Свадба: <2> ♀ Wandan Kuning [Kuning]
Свадба: <3> ♀ Siu Ban Ci / Wandan Sari [Siu]
Свадба: <4> ♀ Puteri Sandang Biduk ? (Demang Lebar Daun) [?]
Титуле : од 1445, Palembang, Raja Palembang
Arya Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak.
Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.
Namun, ketika sedang mengandung, Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.
Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu Dwarawati (putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya Damar untuk dijadikan istri.
Arya Damar membawa putri Cina ke Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden Kusen.
Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja pertama Kesultanan Demak, dengan bergelar Panembahan Jimbun.
Seputar Tokoh Swan Liong Kisah hidup Raden Patah juga tercatat dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Dalam naskah itu, Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah tirinya bukan bernama Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong.
Swan Liong adalah putra raja Majapahit bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua nama ini ditemukan dalam naskah Pararaton.
Swan Liong bekerja sebagai kepala pabrik bahan peledak di Semarang. Pada tahun 1443 ia diangkat menjadi kapten Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di Jawa.
Swan Liong di Palembang memiliki asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swi Hoo pindah ke Jawa dan menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi Hoo mendirikan pusat perguruan agama Islam di Surabaya, dan ia pun terkenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Swan Liong di Palembang memiliki istri seorang bekas selir Kung-ta-bu-mi raja Majapahit. Mungkin Kung-ta-bu-mi adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Dari wanita itu lahir dua orang putra bernama Jin Bun dan Kin San.
Pada tahun 1474 Jin Bun dan Kin San pindah ke Jawa untuk berguru kepada Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tahun berikutnya, Jin Bun mendirikan kota Demak sedangkan Kin San mengabdi kepada Kung-ta-bu-mi di Majapahit.
Tidak diketahui dengan pasti sumber mana yang digunakan oleh pengarang kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di atas. Kemungkinan besar si pengarang pernah membaca Pararaton sehingga nama-nama raja Majapahit yang ia sebutkan mirip dengan nama-nama raja dalam naskah dari Bali tersebut. Misalnya, si pengarang kronik tidak menggunakan nama Brawijaya yang lazim digunakan dalam naskah-naskah babad.
Jika dibandingkan dengan Babad Tanah Jawi, isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal. Misalnya, ibu Arya Damar adalah seorang raksasa, sedangkan ibu Swan Liong adalah manusia biasa. Ayah Arya Damar sama dengan ayah Raden Patah, sedangkan ayah Swan Liong dan Jin Bun berbeda.
[sunting] Arya Dilah dari Palembang Lain lagi dengan naskah dari Jawa Barat, misalnya Hikayat Hasanuddin atau Sejarah Banten. Naskah-naskah tersebut menggabungkan nama Arya Damar dengan Jaka Dilah menjadi Arya Dilah, yang juga menjabat sebagai bupati Palembang. Selain itu, nama Arya Dilah juga diduga berasal dari nama Arya Abdilah.
Dikisahkan ada seorang perdana menteri dari Munggul bernama Cek Ko Po yang mengabdi ke Majapahit. Putranya yang bernama Cu Cu berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati Demak, bergelar Molana Arya Sumangsang.
Dengan demikian, Arya Sumangsang berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan Arya Dilah. Kisah dari Jawa Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja Demak disebut sebagai anak tiri bupati Palembang.
Sementara itu, berita tentang pemberontakan Palembang ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina dari Dinasti Ming mencatat bahwa pada tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang.
Rupanya pengarang naskah di atas pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit. Namun ia tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi. Pemberontakan Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu rangkaian, padahal sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari 100 tahun.2
21/2 <1+3> ♂ 3.4.2. Raden Kusen / Pangeran Pamalekaran (Arya Abdillah) [Brawijaya V]Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah.
Naskah babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali.
Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun.
Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor.
Menurut kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.
Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus.
Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu.
Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit. Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa.
Menurut kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.