Ratu Anum Kasuma Yuda ? (Pangeran Kasuma Negara) - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:311754
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?> Ratu Anum Kasuma Yuda ? (Pangeran Kasuma Negara) [?]

2

21/2 <1> Husien ? (Ratu Kasuma Yuda) [?]

3

31/3 <2> Idris [Husien]

4

41/4 <3> Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari [Idris]
http://laluansuteraulamaknusantara.blogspot.com/2009/03/muhammad-nafis-al-banjari.html

Muhammad Nafis Al Banjari

Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.


Muhammad Nafis Al Banjari

Dalam deretan ulama Banjar, nama Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Dialah pengarang “Durr Al-Nafis”, kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada dalam urutan kedua setelah Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan. Apa yang yang harus dilakukan kaum muslimin agar memperoleh kemajuan dalam hidup? Mengapa Belanda melarang kitabnya beredar di Indonesia?

Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun 1148 H./1735 M.,di Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran Samudera.

Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning Desa Bintaru, sekarang menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya Martapura.

Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.

Dari para gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.

Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795. Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam di sana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti-Belanda.

Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.

Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.

Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.

Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.

Islamisasi di Kalimantan

Bebeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.

Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.

Dengan berdirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan.

Daya Spiritual dan Kewajiban Syari’at

Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”. Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/1928) dan oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak faham bahasa Arab.

Seperti diungkapkan Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam” (Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.

Kitab itu membicarakan sufisme dan tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.

Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.

Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan Muhammad Nafis al-Banjari dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut. Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.

5

51/5 <4> Pangeran Hadji Moesa (Goesti Moesa) [Pangeran Hadji Moehammad]
Свадба: <1> Ratu Salamah (Ratoe Hadji Moesa) [Sultan Sulaiman]
Свадба: <2> Nyai Dimalu [Pangeran Haji Musa]
Смрт: јануар 1840, Usianya hampir 80 tahun ketika wafat Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Jilid 1 Oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten

6

91/6 <5+1> Pangeran Panji [Raja Batulicin]
Свадба: <3> Aji Landasan ? (Pangeran Aji Jawi) [?] d. 1844
Смрт: Jakarta, Batavia
72/6 <5+1> Pangeran M. Nafis (Pangeran Mohamad Napis) [Raja Koesan]
Смрт: 1845
63/6 <5+1> Pangeran Abdoel Kadir [Raja Poelau Laoet]
Свадба: <4> Ratu Intan II (Aji Tukul (Ratu Agung)) [Raja Tanah Bumbu]
Број брака: 1849, Tahun 1849 menikahi Aji Tukul yang bergelar Ratu Agung. Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Jilid 1 Oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten
Raja Poelau Laoet ke-2 periode tahun 1861-1873, keturunan kerajaan Banjar dan Pulau Laoet, Kalimantan Selatan

Disadur dari silsilah Keluarga Banjar dari Kel. Gusti Abdul Azis

apabila ada koreksi mohon hub: Andi Dwijuwono (infohots@email.com)
84/6 <5+?> Pangeran Djaja Soemitra (Pangeran Djaija Samitra) [Raja Koesan]
* Pangeran Jaya Samitra anak selir Pangeran Haji Musa Pangeran Djaja Soemitra adalah anak dari pangeran M. Nafis dan menjadi Raja Koesan ke-IV tahun 1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampoeng Malino dan menjadi Raja Pulau Laut ke I pada tahun 1850-1861
105/6 <5+1> Gusti Jamaluddin (Pangeran Bendahara) [Pangeran Haji Musa]
116/6 <5+?> Gusti Umi (Putri Kacil) [Pangeran Haji Musa]
127/6 <5+2> Gusti Pengulu [Pangeran Haji Musa]
138/6 <5> Gusti Awang [Pangeran Haji Musa]
149/6 <5+1> Pangeran Kasuma Indra [Pangeran Haji Musa]
1510/6 <5+1> Ratu Sapura [Pangeran Musa]

7

161/7 <6> Pangeran ? (Berangta Kasoema, Raja Poelau Laoet, Kerajaan Pulau Laut) [?]
Шаблон:TranslationNeeded

Raja Poelau Laoet ke-3 periode 1873-1881 - Keturunan Kerajaan Banjar dan Poelau Laoet, Kalimantan Selatan


Disadur dari silsilah Keluarga Banjar dari Gusti Abdul Azis apabila ada koreksi mohon hub. Andi Dwijuwono (infohots@gmail.com)

di posting oleh Andi Dwijuwono

infohots@gmail.com dwijuwono@gmail.com

+62-818-82-3355
172/7 <7> Ratoe Wira Kesoema ? (Ratu Wira Kasuma, Pangeran Muhammad Nafis) [?] 183/7 <14> Putri Intan Jumantan [Pangeran Kasuma Indra] 194/7 <8> Pangeran Kasuma Giri [Pangeran Djaja Soemitra]

8

201/8 <16+18!> Pangeran ? (Amir Hoesin Kasoema, Raja Pulau Laut) [?]
Raja Pulau Laut ke-4 tahun 1881-1900 Keturunan Soeltan Banjar - kerajaan Banjar dan Pulau Laut - Kalimantan Selatan
212/8 <16+18!> Pangeran ? (Abdoerachman Kasoema, Raja Pulau Laut) [?]
223/8 <16> Ratu Tarum [?] 234/8 <19> Gusti Mulia (Moelik) [Binti Pangeran Kusuma Giri Bin Pangeran Jaya Sumitra]