La Sumangerukka To Patarai - Индекс потомака

Из пројекта Родовид

Особа:1570523
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> La Sumangerukka To Patarai [To Patarai]

2

21/2 <1+?> La Singkerurukka Arung Palakka Mangkau Bone [Arung Palakka Mangkau Bone]
Gelar : Singkeru’ Rukka Arung Palakka Mangkau Bone

Singkeru’ Rukka Arung Palakka adalah anak We Baego Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. Cucu dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng Bata. Sebelum diangkat menjadi Arumpone, Singkeru’ Rukka Arung Palakka pernah juga menjadi Arung Bulobulo. Dia diangkat menjadi Mangkau’ di Bone hanya semata-mata keinginan Kompeni Belanda dan bukan atas kesepakatan Hadat Tujuh Bone. Dia diserahkan akkarungeng di Bone oleh Kompeni Belanda, karena dialah yang selalu menemani Kompeni Belanda untuk menyerang MatinroE ri Majennang Suppa. Pada tanggal 13 Februari 1860 M. kontrak perjanjiannya dengan Kompeni Belanda selesai, sebab memang Akkarungeng ri Bone hanyalah diberi untuk sementara, karena Singkeru’ Rukka terlalu menginginkannya. Namun dalam khutbah Jumat namanya tetap disebut sebagai Sultan Ahmad.Dalam tahun 1871 M. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing dan dinamakanlah MatinroE ri Topaccing. Arumpone Singkeru’ Rukka kawin dengan sepupu datu kali ibunya yang bernama Sitti Saira Arung Lompu saudara perempuan MatinroE ri Ajang Benteng. Anak La Mappawewang Arung Lompu Anre Guru Anakarung ri Bone dengan isterinya We Tabacina Karaeng Kanjenne. Dari perkawinannya itu, lahirlah We Patima Banri Arung Timurung. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo. Anak We Pada Arung Berru dengan KaraengE ri Gowa Tu Mammenanga ri Kalabbiranna. We Patima Banri Arung Timurung dengan I Magguliga Andi Bangkung melahirkan seorang anak perempuan bernama We Sutera Arung Apala. Selanjutnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka kawin lagi dengan I Kalossong Karaeng Langelo. Dari perkawinannya itu lahirlah La Pawawoi Karaeng Sigeri. Kemudian Singkeru’ Rukka kawin lagi dengan I Tatta atau I Jora, lahirlah La Panagga, inilah yang menjadi Pangulu Jowa ri Bone. Kemudian La Panagga kawin dengan Arung Patingai, lahirlah E Suka Arung Data. E Suka Arung Data kawin dengan La Mallarangeng Daeng Mapata Arung Melle. Anak dari La Makkarodda Anre Guru Anakarung Bone dengan isterinya We Kusuma, anak Toancalo Petta CambangE Arung Amali To Marilaleng Bone. Dari perkawinan itu lahirlah La Mandapi Arung Ponceng. La Mandapi kawin dengan Daeng Tapuji anak dari La Baso Daeng Sitaba Arung Ponceng. Dari perkawinan itu lahirlah La Patarai dan We Nona. Kemudian La Patarai kawin dengan anak Arung Bettempola La Makkaraka dengan isterinya We Laje Petta Ince yang bernama We Tappu. Dari perkawinan La Patarai dengan We Tappu, lahirlah ; pertama bernama We Ratna, kedua La Takdir dan We Megawati. We Nona kawin di Parepare dengan La Dewang anak dari We Rela dengan suaminya yang bernama La Makkawaru. Kemudian La Pananrang Pangulu JowaE kawin lagi dengan We Saripa, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Maddussila Daeng Paraga Tomarilaleng Bone, juga sebagai MakkedangE Tana ri Bone. Inilah yang kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama Petta Tungke Besse Bandong anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama Daeng Matenne. Dari perkawinannya itu lahirlah Amirullah.

Arumpone Singkeru’ Rukka menjadi Mangkau’ di Bone dari tahun 1860 sampai tahun 1871. Kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Fatimah Banri. Singkeru’ Rukka meninggal dunia di Topaccing, sehingga dinamakan MatinroE ri Topaccing.
32/2 <1+?> We Pada Arung Barru [Arung Barru]

3

41/3 <3+?> Imakkulawu Somba Gowa [Gelar : Matinroe ri Bundu'na]
52/3 <2> La Pawoi Karaeng Sageri Mangkau Bone [Karaeng Sageri Mangkau Bone]
Gelar : Lapawawoi Kareng Sageri

La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone. Waktu itu La Pawawoi Karaeng Sigeri sebenarnya sudah tua, tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk untuk menjadi Mangkau’ di Bone. Seperti pada tahun 1859 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865 M, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale. Karena itulah yang dijanjikan oleh Pembesar Kompeni Belanda kepadanya ketika membantu memerangi Turate. Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Mangkau’ di Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone. Setelah selesai memerangi Turate, karena La Pawawoi dianggap berjasa dalam membantu Kompeni Belanda, maka dimintalah untuk menjadi Karaeng di Sigeri. Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 M. dan nanti pada tahun 1877 M. baru dapat dipadamkan. Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan ; De Grote Gouden ster voor traun en verdienste. Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dunia pada tahun 1903 M. Pada tanggal 16 Februari 1895 M. terjadi lagi kesepakatan antara Kompeni Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Dengan demikian, Kompeni Belanda bertambah yakin bahwa persahabatannya dengan Bone sudah sangat kuat. Akan tetapi setahun setelah terjadinya kontrak persahabatan itu, Belanda melihat adanya tanda-tanda bahwa perjanjian yang pernah disepakati bakal diingkari oleh Arumpone. Pada tanggal 16 Februari 1896 M. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan juga kepada orang banyak. Tindakan itu, seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong, dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang. Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904 M. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang dan dihalangi oleh Arumpone. Disamping itu Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri. Bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone. Karena permintaan Kompeni Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 M. Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan yang lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Baso Pagilingi mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe. Sementara tentara Belanda memburu terus, hingga akhirnya Arumpone dengan laskar serta sejumlah keluarganya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanuwa Wajo. Adapun Panglima Perang Arumpone , ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi yang lebih dikenal dengan sebutan Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Bone diserang oleh tentara Belanda mulai tanggal 30 Juli 1905 M. dan Arumpone mengungsi ke Pasempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 M. barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen. Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda, maka Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih untuk menyerah. Pertimbangannya adalah kondisi laskar yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa. Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone. Pada tanggal 2 Desember 1905 M. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanuwa inilah berkedudukan Pembesar Afdeling yang disebut Asistent Resident. Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi ; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai. Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landshap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A. Adapun bahagian-bahagian Afdeling Bone, adalah ; 1. Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa. 2. Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur. 3. Onder Afdeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur. 4. Onder Afdeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur. 5. Onder Afdeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur. Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang berada dibawah pengaruh Bone. Ketujuh wanuwa tersebut, adalah ; pertama Kera, kedua Bulete, ketiga Leworeng, keempat Lauwa, kelima Awo, keenam Tanete, ketujuh Paselloreng. Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda. Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE. Yang pertama – tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone. Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, mulai Belanda membuat jalan raya. Seluruh laki-laki yang mulai dewasa sampai kepada laki-laki yang berumur 60 tahun diwajibkan bekerja untuk membuat jalan raya tersebut. Bagi yang tidak mampu untuk bekerja dapat membayar sebesar tiga ringgit. Ketika Belanda merasa tenang dan tidak ada lagi persoalan yang berat dihadapi, maka ibu kota Afdeling Bone dipindahkan dari Pompanuwa ke Watampone. Assistent Resident Bone berkedudukan di Watampone. Adapun La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setelah La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang bakal menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone. Baso Pagilingi yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota, ternyata gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Awo. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol. Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa di Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang). Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege. Selanjutnya La Pawawoi Karaeng Sigeri kawin lagi dengan Daeng Tamene, yang juga cucu dari Arung Mangempa di Berru. Dari perkawinannya itu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya sewaktu diasingkan ke Bandung. Kemudian We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya yang bernama We Saripa. Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong yang bernama Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana. Adapun anak La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan isterinya yang bernama We Patimah dari Jawa Sunda, ialah La Mappagau. Inilah yang melahirkan La Makkulawu Sulewatang Pallime. Anak selanjutnya bernama Arung Jaling, inilah yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah ; pertama bernama We Manuare , kedua bernama Arase, ketiga bernama La Sitambolo.

Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Mangkau di Bone.

4

61/4 <4+?> Andi Mappanyukki Datu Lolo Suppa, Datu Silaja Mangkau Bone Pahlawan Nasional RI Mangkau Bone Pahlawan Nasional RI [Mangkau Bone Pahlawan Nasional RI]
72/4 <5+?> Abd. Hamid Pagilingi [?]
83/4 <4+?> La Panguriseng Arung Alitta [Arung Alitta]
94/4 <4+?> . I-Mangi-Mangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo [Daeng Matutu Karaeng Bontonompo]
Gelar : I Mangi-Mangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Paduka Sri Sultan Muhammad Tahir Muhib uddin Sultan Gowa

5

101/5 <6+?> Bau Tenriawaru - [-]
112/5 <6+?> We Tenripada Opu Datu Luwu [Opu Datu Luwu]
123/5 <6+?> Bau Tenricella - [-]
134/5 <6+?> Bau Ahmad - [-]
145/5 <6+?> Datu Appo - [-]
156/5 <6+?> Datu Bau Sawah [?]
167/5 <6+?> Andi Pangerang Daeng Rani Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang [Daeng Rani Petta Rani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe ri Panaikang]
178/5 <6+?> Andi Abdullah Letnan Jenderal TRI Bau Massepe [Letnan Jenderal TRI Bau Massepe]
189/5 <6+?> Andi Pasulle Karaeng Bulaeng [Karaeng Bulaeng]
1910/5 <6+?> Andi Rukaya Karaeng Balla Tinggi [Karaeng Balla Tinggi]
2011/5 <6+?> Bau Kebo Petta Ugi [Petta Ugi]
2112/5 <7+?> Andi Pabbenteng Daeng Palawa Arung Macenge Mangkau Bone [Daeng Palawa Arung Macenge Mangkau Bone]
Gelar : Daeng Palawa Arung Macenge Mangkau Bone

La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege menjadi Mangkau’ di Bone yang diangkat oleh NICA (Nederland Indiche Civil Administration), suatu organisasi baru yang dibentuk oleh Belanda dan sekutunya yang bertujuan untuk berkuasa kembali di Indonesia. Padahal Bangsa Indonesia telah memperoklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Dwi Tunggal Sukarno- Hatta. La Pabbenteng adalah anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid Ponggawa Bone yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong. Sedangkan Baso Pagilingi Ponggawa Bone adalah anak dari La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta, Arumpone ke 31. Setelah La Mappanyukki berhenti menjadi Mangkau’ di Bone, maka tidak ada lagi putra mahkota yang dapat menggantikannya kecuali La Pabbenteng Petta Lawa Arung Macege. Oleh karena itu, NICA mengangkatnya menjadi Arumpone atas persetujuan anggota Hadat Tujuh Bone menggantikan La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa. Sebelum diangkat menjadi Mangkau di Bone, La Pabbenteng memang selalu dekat dengan NICA dan selalu bersama-sama apabila NICA bepergian. Oleh karena itu dia diberi pangkat kemiliteran yaitu Kapten Tituler. Setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel Tituler. Pada waktu La Mappanyukki akan diangkat menjadi Mangkau’ di Bone, salah seorang anggota Hadat Tujuh Bone yang menolaknya adalah La Pabbenteng Arung Macege. Karena menurutnya dia lebih berhak untuk menduduki akkarungengE ri Bone sebab dialah yang paling dekat dengan La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Jakarta. Akan tetapi sebelum Perang Dunia II La Pabbenteng memperbuat kesalahan di Bone yaitu membunuh sepupunya yang bernama Daeng Patobo. Oleh karena itu, Gubernur Belanda bersama Hadat Tujuh Bone memutuskan untuk mengasingkan La Pabbenteng. Setelah datang Jepang, barulah La Pabbenteng kembali dari pengasingannya. Ketika ia diasingkan, kedudukannya sebagai Arung Macege digantikan oleh La Pangerang Daeng Rani anak La Mappanyukki Datu Malolo ri Suppa Arumpone ke 32. Kedudukan itu berakhir setelah diasingkan oleh NICA ke Tanah Toraja bersama ayahnya La Mappanyukki karena pernyatannya yang tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat La Pabbenteng menjadi Arumpone ia melengkapi perangkat pemerintahannya dengan mengangkat To Marilaleng La Maddussila Daeng Paraga menjadi MakkedangE Tanah. Selanjutnya La Sulo Lipu Sulewatang Lamuru diangkat menjadi To Marilaleng menggantikan La Maddussila Daeng Paraga. La Pabbenteng kawin di Sidenreng dengan We Dala Uleng Petta Baranti, anak dari We Bunga dengan suaminya yang bernama La Pajung Tellu Latte Sidenreng. Cucu langsung Addatuang Sidenreng dari ibunya dan cucu langsung Arung Rappeng Addatuang Sawitto dari ayahnya. Arumpone La Pabbenteng kemudian diperintahkan oleh NICA untuk mempersatukan arung-arung (raja-raja) di Celebes Selatan untuk membentuk organisasi yang bernama Hadat Tinggi. Organisasi ini diketuai sendiri oleh Arumpone La Pabbenteng dan wakilnya adalah La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang. Hadat Tinggi itulah yang ditempati oleh Gubernur NICA untuk melaksanakan pemerintahannya di Celebes Selatan. Pada masa pemerintahan La Pabbenteng di Bone, NICA mengadakan Komperensi Malino yang diprakarsai oleh Lt.G.Dj.Dr.H.J.van Mook, sekaligus sebagai pimpinan. Komperensi itu dihadiri oleh wakil-wakil dari Celebes, Sunda Kecil dan Maluku yang bertujuan membentuk suatu negara dalam negara Republik Indonesia yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Pada tanggal 12 November 1948, Gubernur NICA di Ujungpandang menyerahkan kepada Arumpone La Pabbenteng untuk menjadi Ketua Hadat Tinggi dan memasukkan sebagai satu bahagian dari Negara Indonesia Timur. Namun bentukan NICA itu tidak berumur panjang, sebab pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Bangsa Indonesia. Selanjutnya terbentuklah Republik Indonesia Serikat dan bubar pulalah Hadat Tinggi bentukan NICA.

Dalam tahun 1950 La Pabbenteng mengundurkan diri sebagai Arumpone, dia berangkat ke Jawa bersama isterinya. Begitu pula anggota Hadat Bone, semua meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Hadat Bone.
2213/5 <9+?> Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Karaeng Lalolang [Karaeng Lalolang]
Gelar : Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Paduka Sri Sultan Muhammad 'Abdu'l Kadir Aiduddin

6

231/6 <11+?> Opu Andi Iwan Alamsyah Bau Jemma Barue Datu Luwu Pajung Luwu [Datu Luwu Pajung Luwu]
242/6 <20+?> Petta Bau Siga [?]
253/6 <22> Haji Andi Maginruru Patta Emba. [?]
264/6 <22> Andi Kumala Karaeng Sila [?]
275/6 <22> . Dr. Haji Andi Maddusila Ijo [?]

7

281/7 <24> Andi Nanna Opu Intang [Opu Intang]